Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Sabtu, 10 September 2011

FRANCIS BACON (1561-1626)

          No comments   
Francis Bacon (lahir 22 Januari 1561 dan meninggal pada 9 April 1626) adalah tokoh terkemuka dalam filsafat alam dan metodologi ilmiah dalam periode transisi antara periode Renaissance menuju era awal modern. Beliau juga Sebagai seorang ahli hukum, anggota Parlemen dan Penasehat Ratu Elizabet. Terkait profesinya itu, Bacon menulis banyak pertanyaan dalam bidang hukum, kenegaraan dan agama sebagaimana dalam politik kontemporer, tetapi ia juga mempublikasikan teks-teks yang dispekulasi sebagai konsep-konsep kemasyarakatan yang mungkin terjadi, dan ia merenungkan pertanyaan-pertanyaan tentang etika (buku Essays) meskipun bidangnya adalah filsafat alam (The Advancement of Learning).

Setelah studinya di Trinity College, Cambridge and Gray’s Inn, London selesai, Bacon tidak melanjutkan studinya ke pasca sarjana, melainkan memulai karir di bidang politik. Meskipun usahanya tidak dianugerahi keberhasilan selama pemerintahan Ratu Elizabeth, di bawah James I ia menanjak ke jenjang politik tertinggi, sebagai Lord Chancellor. Bacon termasyur secara internasional dan berpengaruh luas pada masa-masa akhirnya, saat ia mampu memfokuskan energinya pada bidang filsafat, dan bahkan setelah kematiannya, ketika ilmuwan Inggris Boyle (Invisible College) mengambil idenya tentang lembaga riset koperatif dalam rencana dan persiapan-persiapan mereka untuk memapankan Masyarakat Kerajaan.

Sampai saat ini Bacon sangat dikenal akan teorinya tentang filsafat alam empiris (The Advancement of Learning, Novum Organum Scientiarum) dan atas doktrinnya tentang permasalahan idola-idola, yang dikemukakan di bagian awal dari tulisannya, sebagaimana gagasan tentang sebuah lembaga riset modern yang dijelaskan dalam Nova Atlantis.




Biografi selengkapnya bisa saudara baca di alamat sumber asal yang saya tulisankan di bawah ini.


Sumber:
  • http://filsafat.kompasiana.com/2010/12/28/biografi-dan-pemikiran-filsafat-francis-bacon-1561-1626/
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Francis_Bacon
  • Selasa, 06 September 2011

    Antara 'Ashabiyyah dan Ilahiyyah, Meluruskan Polemik Panjang Sejarah Indonesia

    Bagi saudara-saudara yang suka membaca sejarah masa-masa awal kemerdekaan, tentu tidak asing lagi dengan peristiwa besar, perdebatan sengit, antara Soekarno yang mengusung nilai cinta kebangsaan ('ashabiyyah) sebagai asas perjuangan, dengan Natsir yang mempertahankan ideologi ilahiyyah sebagai landasan utama perjuangannya. Polemik ini sempat menyita perhatian nasional dan internasional diakibatkan oleh kedua-duanya melakukan polemik tersebut dengan cara-cara yang sangat mempesonakan. Argumentasi dan filosofi berfikir mereka ditunjang oleh cara-cara berdiskusi yang terampil dan sarat dengan nilai-nilai akademis.

    Meskipun demikian, baik secara langsung maupun tidak, pada dasarnya polemik mereka tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan latar belakang pendidikan, kultur sosial tempat mereka dibesarkan dan alur pemikiran yang berbeda, sehingga sedikit banyaknya mempengaruhi kesuksesan ataupun kemandegan dialog antar mereka.

    Sayangnya, ujung dari dialogis itu harus berakhir dengan situasi yang tidak sarat dengan metodologi dialogis itu sendiri. Keputusan yang diambil sebagai penutup dari polemik tersebut berujung pada pemutusan sepihak, sehingga secara nilai dialognya, polemik tersebut boleh dikatakan mengambang tak terselesaikan. Apa yang diusulkan Natsir begitu juga yang diusung Soekarno tidak mencapai keputusan mufakat. Majlis yang menjadi tempat mereka bahas dan persoalan 'ashabiyyah dan ilahiyyah dibubarkan secara paksa, sementara pemerintah memutuskan secara sepihak untuk kembali pada Undang-undang 1945.
    Penulis di sini tidak ada maksud untuk memaparkan pakta-pakta sejarah mengenai polemik tersebut. Mengenai persoalan pakta sejarah itu semua bisa saudara sekalian temukan di berbagai litelatur yang sudah dijual bebas (seperti dalam bukunya Deliar Noer, Ahmad Suhelmi, Capita Selecta M.Natsir, maupun di buku barunya M. Dzulfikriddin). Penulis di sini hanya ngin mengupas persoalan tersebut dari sisi akar persoalan yang menjadi dasar tumbuhya polemik tersebut. Tujuan utamanya, semoga dengan usaha penulis ini sidang pembaca bisa memahami secara jelas akar pokok persoalannya sehingga bisa memutuskan yang seharusnya diputuskan.

    ilahiyah sebagai landasan perjuangan dan kenegaraan.

    (Belum beres, MASIH ADA LANJUTANNYA)

    Apa Itu Ibadah? (Memo Ringan untuk mengetahui dan memahami arti dan makna Ibadah)

              No comments   
    Apabila kita menyisihkan waktu sejenak untuk merenungkan apa yang jadi phenomena dewasa ini di lingkungan sekitar, kemudian membandingkannya dengan phenomena yang diabadikan dalam buku-buku sejarah masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tentu kita akan menemukan beragam keganjilan dan pertanyaan. Ada kesenjangan. Ada ketidak beresan. Ada jurang lebar yang memisahkan antar kedua masa itu.

    Persoalan kesenjangan dan ketidak beresan itu bukan dalam kondisi fisik berupa materi dan aksesoris duniawi, karena persoalan itu akan terus berkembang dan berubah akibat dari nilai esensial manusia yang memiliki potensi daya cipta, daya kreasi (human creation), melainkan persoalan ibadah ritus (mahdhah) di satu sisi dengan ibadah goir mahdhah di sisi lainnya. Dalam metodologi pengkajian Islam, persoalan pehenomena sosial kemasyarakatan ummat Islam, berupa kegiatan yang dilakukan selama hidupnya dan adab sopan santun di kehidupan sehari-harinya, dengan persoalan ubudiyah dan uluhiyyah yang ajarannya terkonsep secara original dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, mestilah kita bedakan jika kita menghendaki adanya pemahaman utuh mengenai apa itu Islam. Lahirnya metodologi pengkajian Islam seperti ini, salah satunya, disebabkan sudah banyaknya phenomena sosial kemasyarakatan ummah Islam yang sudah tidak mencerminkan agama Islam yang dianutnya.

    Kita menyaksikan di satu waktu banyak dari kalangan yang sadar, butuh dan haus akan siraman rohani, secara semangat membabi buta mereka melakukan apapun yang dipandang bermuka ibadah, meski pada hakikatnya perlakuan-perlakuan tersebut jauh dari makna --yang hakiki-- ibadah yang disyari'atkan itu sendiri. Sementara di lain waktu kita juga menyaksikan wajah kontradiksi yang memilukan, yang jauh dari sentuhan ibadah karena "di lain waktu itu" yang mereka lakukan adalah kemaksiatan, kebobrokan moral dan kejahiliyahan.

    Kontradiksi-kontradiksi ini menimbulkan reaksi bagi sebagian kalangan untuk memponis bahwa ibadah ritual, seperti shalat, zakat, shaum, dan lain sebagainya, itu tidak perlu.  Karena menurut mereka, tujuan dari perilaku ibadah ritual itu sudah tidak terlihat lagi ada pada sosok-sosok mereka yang suka menjalankannya. Tumbuhnya pemikiran semisal ini, dalam pemahaman penulis, bukan hanya diakibatkan oleh reaksi kekontradiktifat dari phenomena yang ada, tapi juga diakibatkan oleh ketidak fahaman dari makna dan arti "IBADAH" itu sendiri. Setidaknya, tulisan ini mulai penulis susun atas dasar niatan agar di satu sisi semoga kesenjangan dan kekontradiktifan yang terjadi itu bisa kita benahi, dan di sisi lain tidak ada tumbuh lagi pemahaman yang keliru terkait pemaknaan ibadah itu sendiri.
    Dalam Artikel di yahoo group alFikrah ( Klik di sini untuk membaca secara lengkap artikel tersebut), ditulis secara mendetil persoalan arti secara bahasa maupun istilah syar'i terkait apa itu ibadah. Dalam artikel tersebut dituliskan sebagai berikut. 

    Ibadah Secara Bahasa


    Secara bahasa, ‘ibâdah berasal dari kata ‘abada – ya’budu – ‘ibâdah / ‘ubûdiyyah yang artinya beribadah atau menyembah. Menurut Abdul Qadir ar-Razi, dalam "Mukhtâr as-Shihâh" (1/172), arti asal ‘ubûdiyyah adalah al-khudhû’ (ketundukan) dan ad-dzullu (kerendahan), Ibadah juga ber-arti inqiyâdz, yakni kepatuhan (Al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi, 4/235).

    Dengan demikian, secara bahasa ibadah dapat diartikan sebagai bentuk kerendahan, ketundukan, dan kepatuhan kepada al-Ma’bûd (yang disembah).

    Ibadah Secara Istilah Syariat


    Seorang hamba (al-‘abd, kata jamaknya: al-‘abîd, al-‘ibâd, al-‘ubbâd) adalah orang yang rendah, tunduk, dan pasrah. Al-Jauhari berkata, ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kepasrahan, yang hanya layak ditujukan kepada Allah. Ibadah adalah ketundukan kepada-Nya dan tidak ada ketundukan yang lebih tinggi selain kepada-Nya. Al-‘Abd (hamba) disebut hamba karena kerendahan dan ketundukannya kepada tuannya (Abu Abdullah al-Ba’li, al-Muthalli, juz1 hlm.93).

    Sedangkan Imam at-Thabari mengartikan ibadah sebagai ketundukan kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan merendahkan diri kepada-Nya dengan kepasrahan (Tafsîr at-Thabari, 1/160).
    Dengan membaca kembali pemahaman dan penafsiran yang mendalam dari para ulama besar lewat pendefinisian secara mendasar barusan, kita sekarang faham bahwa makna pokok ibadah adalah ketundukan sikap kita kepada aturan Allah subhanaHu wa Ta'ala dan keta'atan kita kepada apapun yang diperintah dan dilarangnya.

    Makna ibadah yang diidentikkan juga dengan kata 'ABDUN yang suka disandarkan kepada panggilan para "Hamba Sahaya" menjadi sebuah tolak ukur bahwa kita sebagai hamba Allah ('ABDULLAH), harus berlaku kepada Allah layaknya seorang "hamba sahaya" berlaku kepada tuannya.


    Taatnya seorang hamba sahaya kepada tuannya adalah murni ketaatan. Mereka bekerja tidak mengharapkan imbalan atau gaji karena posisi mereka bukan pekerja melainkan seorang hamba. Hamba sahaya adalah prototife manusia yang menjadi milik tuannya. Dan sikap seperti itulah yang harus kita miliki selagi menjalankan kehidupan ini dalam posisi 'abdullah (hamba Allah) yang mengabdi kepada setiap titah dan perintah-Nya.

    DI sisi lain kita juga harus bisa menerima secara lapang dada dan bisa menempatkan diri secara arif dan bijaksana bahwa yang namanya hamba yang harus ibadah itu akan menjadi benar-benar menjadi hamba yang beribadah secara hakiki, jika dalam menjalankan ibadahnya itu sendiri didasarkan pada ketaatan, bukan atas dasar hawa nafsu dan keinginan pribadi.

    Dalam kerangka pemahaman inilah hingga al-Jurjani mendefinisikan 'ibadah secara istilah dengan Perbuatan seorang mukallaf (yakni orang yang dibebani hukum) menyalahi keinginan hawa nafsunya sebagai pengagungan kepada Tuhannya (al-Jurjani, at-Ta’rifât, 1/189). Al-Manawi menambahkan, bahawa ibadah adalah mengagungkan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Ibadah juga bererti perbuatan-perbuatan yang menunjukkan batas paling akhir dari kerendahan dan ketundukan (at-Ta’ârif, 1/498).

    Selanjutnya mari kita simak tulisan terkait ibadah yang ditulis oleh grup al-Fikrah selanjutnya, berikut ini.

    Ibadah Umum Dan Ibadah Khusus


    Allah menciptakan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

    Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Qs. ad-Dzariyat [51]: 56).

    Ibnu Abbas berkata, maksudnya adalah, “agar mereka menetapi ibadah kepada-Ku.” Mufasir lain mengatakan, maksudnya adalah “agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku.” (Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, 8/43).

    Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada mereka (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, 3/80). Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti dan patuh, diambil dari al-‘ubûdiyyah; seseorang hanya menyembah Zat yang ia patuhi dan yang dia ikuti perintah (ketetapan)-Nya (Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/90). Kerana itu, orang yang menyalahi ketetapan aturan-aturan Allah dan menaati aturan-aturan selain-Nya, dia hakikatnya bukan hamba Allah, dan pada saat yang sama ia telah menyekutukan Allah dengan yang lain. Ibadah secara umum ini hanya boleh dilaksanakan sempurna jika kita menjadikan Allah saja sebagai Pembuat hukum/aturan yang wajib ditaati.

    Walhasil, secara umum segala bentuk ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah merupakan ibadah. Hanya saja, kata ibadah kemudian digunakan untuk menyebut bentuk ketaatan yang lebih khusus. Para ulama menyebutnya sebagai ibadah mahdhah, dan disebut “ibadah” saja. Ibadah mahdhah ini, seperti yang dikatakan oleh an-Nawawi, adalah ibadah yang murni, di dalamnya tidak terdapat campuran selainnya (al-Majmû’, 1/373).
    Ibadah merupakan bentuk landasan hubungan seorang hamba (manusia) dengan Allah selain hubungan dalam bentuk aqidah. Dikatakan ibadah mahdhah jika di dalamnya hanya terdapat bentuk hubungan ini dan tidak terdapat bentuk hubungan yang lain, yaitu tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni masalah makanan, minuman, pakaian, dan akhlak; dan tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan manusia yang lain yakni masalah muamalat dan ‘uqûbat. Contoh ibadah mahdhah ini adalah shalat, puasa, zakat, haji, doa, zikir, membaca al-Qur’an, kurban Idul Adha, dan sebagainya.

    Berbeda dengan jual-beli, kontrak kerja, perwakilan, pemerintahan, hubungan sosial, dan lain-lainnya; di dalamnya ada hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga tidak disebut ibadah mahdhah.
    Al-Mawardi, dalam al-Hâwi, memberikan batasan ibadah mahdhah, yaitu apa saja yang dinyatakan untuk beribadah dengannya sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut Imam al-Haramayn (al-Juwayni), ibadah (mahdhah) merupakan kerendahan dan ketundukan dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada yang disembah, al-Ma’bûd, yakni Allah SWT, melalui perbuatan yang diperintahkan oleh-Nya (al-Majmû’, 1/373).

    Ibadah mahdhah itu bersifat tawqîfiyah, artinya ditentukan oleh Allah dan diambil apa adanya, tidak ada penambahan dan pengurangan, bahkan wajib kembali pada ketetapan nash dan dalil syariat.

    Ada sebahagian orang yang mengotak-atik ibadah mahdhah dan mengembangluaskan ketetapan ibadah tersebut (seperti zakat) dengan alasan menyesuaikan zaman dan demi ke-afdhal-annya. Ini artinya mengubah tatacara dan ketetapan ibadah mahdhah yang hakikatnya sudah ditentukan Allah. Ini tentu saja tidak boleh disebut dengan ibadah.

    Agar ibadah menjadi sah dan berpahala, maka pelaksanaannya harus memenuhi tiga ketetapan pokok :

    (1) harus dilandasi iman;
    (2) harus ikhlas semata-mata kerana Allah, tidak boleh dilakukan demi selain Allah;
    (3) harus dilakukan menurut tatacara dan ketetapan ibadah yang telah ditentukan Allah dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, tidak boleh ada tambahan atau pengurangan.

    Hudzaifah r.a. pernah berkata, “Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah, janganlah engkau beribadah dengannya.

    Imam Malik juga pernah berkata, “Apa yang hari itu (masa Nabi SAW) tidak termasuk dalam ketetapan agama, maka pada saat ini (masa Imam Malik) juga tidak termasuk dalam ketetapan agama. Beribadah kepada Allah SWT hanya dilakukan dengan apa yang Dia syariatkan.”

    Tanpa itu semua aktivitas ibadah tidak akan diterima dan tidak mendekatkan dirinya kepada Allah. Yang ada bukan ta’abbud ilâ Allâh (beribadah kepada Allah), tetapi taba’ud ‘an Allâh (menjauh diri dari Allah).

    Dinukil dari Samrah: "Betapa banyak tukang ibadah yang bodoh dan betapa banyak orang berilmu yang jahat. Kerana itu, berhati-hatilah kalian terhadap orang-orang bodoh dari kalangan tukang ahli ibadah dan terhadap orang-orang jahat dari kalangan ulama. Sesungguhnya keburukan mereka terhadap agama lebih besar daripada keburukan syaitan. (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, demikian dikatakan oleh al-Manawi, dalam Faydh al-Qadîr, 4/17).

    Wallâhu a‘lam bi as-shawâb.

    Demikianlah pemaparan yang penuh ilmu ini saya tulis ulang, dan beberapa bagain dari aspek penulisan saya edit ulang dengan maksud agar bahasa melayu yang digunakan oleh grup al-Fikrah ini sesuai dengan bahasa Indonesia yang saya gunakan.

    Mohon maaf apabila saya tidak mencantumkan nama penulisnya, dikarenakan  saya tidak menemukan itu di grup bersangkutan. Meskipun demikian, ini adalah ilmu yang dijamin kebenarannya, hingga kita tidak ada alasan untuk menolaknya.

    Semoga tulisan ini sampai pada niat yang saya landaskan.

    "Allahu ya'khudzu biaidinaa ilaa maa fiehi khairun lin islam wal muslimin"

    Senin, 05 September 2011

    Memahami Kembali Talafudz biNiyat (melafalkan Niyat) Hingga Dibilang Bid'ah

         ,      No comments   
    Sadar ataupun tidak, acuh maupun tak acuh, masih senang ataupun sudah muak, memandangnya seriuas ataupun sepele, Apa mau dikata, persoalan-persoalan ibadah pada akhirnya tetap menjadi persoalan yang jadi bahan perbincangan dan pengkajian. Meskipun banyak dari kalangan awam yang penulis temui dan mengutarakan kegerahannya apabila dilihatnya antar sesama Muslim bersilang pendapat dipersoalan-persoalan furu'iyah dan mereka berambisi untuk menghindari silang pendapat tersebut, pada akhirnya mereka tetap akan menemukan juga orang-orang yang membahasnya. Hal ini disebabkan oleh beragamnya sudut pandang, orientasi, pemaknaan dan penghayatan yang dimiliki oleh manusia secara umum. Bagi orang yang menganggap persoalan-persoalan furu'iyah sebagai persoalan sepele, mungkin memperbincangkan persoalan tersebut memuakkan atau dipandang tidak banyak manfaatnya. Namun lain halnya dengan orang-orang yang mendudukan persoalan ibadah sebagai persoalan penting, meskipun orang katakan itu adalah persoalan-persoalan furuiyah (cabang), kalau hal itu termasuk pada persoalan ibadah maka tentu saja persoalan itu dibenak mereka akan menempati persoalan penting. Oleh sebab itu, dalam koridor pemaknaan seperti ini, sepanjang manusia memiliki sudut pandang, pemaknaan, penghayatan dan penempatan yang berbeda, penulis lebih meyakini bahwa sampai kapanpun persoalan-persoalan silang pendapat dan pengkajian terhadap persoalan-persoalan furu'iyah ini akan selalu ada dalam wacana pengkajian ummat Islam. Secara otomatis, memandang bahwa langkah menghindar dari pengkajian dan penyamaan persepsi (dalam bentuk diskusi, dlsb) terhadap persoalan-persoalan yang ada bukanlah metode jitu menyelesaikan persoalan. Sebab yang namanya menghindari bukanlah menyelesaikan, tapi membiarkan persoalan itu tetap mengambang dan hidup tanpa terselesaikan.
    Berangkat dari landasan berfikir seperti itulah tulisan ini kami awali, dengan harapan semoga dengan kita sama-sama menyamakan sudut pandang dan persepsi di antara kita, persolan-persoalan yang tumbuh ditengah kita menemui titik temu dan difahami secara benar.
    Salah satu persoalan yang di satu pihak selalu dihindari pembahasannya, dan di pihak lain suka dibahas duduk persoalannya adalah masalah talafudz niyyat (melafalkan bacaan niyat).

    Awal mula polemik masalah niyat dibaca atau pun cukup dalam hati adalah berangkat dari hadits shahih "innamal -a'malu bin-niyyaat wa innama likullim-ri'in maa nawaa... alhadits". Para ulama dalam memahami hadits ini sepakat bahwa hadits ini menunjukkan kedudukan niyyat itu penting dan menjadi landasan pokok setiap persoalan yang kita lakukan. Dan terjadinya silang pendapat mengenai harus bagaimana kita berniyat muncul akibat dari tidak adanya nash yang menjelaskan secara terperinci. Dalam bidang ini para ulama masuk dalam ranah ijtihad. Ijtihad itu boleh, dan boleh jadi hukumnya wajib, di saat kita menghadapi persoalan yang butuh diputuskan sementara persolan yang diputuskan itu belum atau tidak ada tuntunannya. Dalam persoalan ijtihad, keputusan akhir yang diputuskannya tidak ada yang bisa dipersalahkan atau dibenarkan. Kita semua hanya bisa memilih dan menilai hasil mana yang lebih mendekati kebenaran, dan mana hasil yang bila melihat argumen-argumen dan landasannya lemah sehingga mendekati kekeliruan. Dengan demikian, dalam koridor ijtihad tidak ada hasil akhir yang merujuk pada benar atau salah, melainkan baik atau buruk.

    Persoalan kenapa kemudian banyak ulama kontemporer yang membid'ahkan (menyalahkan atau menyesatkan) masalah talafudz biniyat adalah dikarenakan talafudz biniyah yang asalnya ada dalam ranah ijtihadi itu kemudian bergeser menjadi persoalan ibadah mahdhah (ibadah ritual yang tatacara dan waktu atau tempatnya terikat, hanya bisa ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya), padahal tidak ada satupun nash yang menerangkan bahwa waktu talafudz biniyat itu harus seperti yang sekarang dilakukan. Bacaan niyatnya pun tidak ada satupun dalil yang memerintahkan harus seperti demikian. sementara yang terjadi sekarang antara waktu atau tempanya dan bacaan dan tatacaranya ditetapkan seolah-olah, dan mau tidak mau harus dikatakan, sebagai ibadah mahdhah yang sudah ditetapkan dan tidak bisa dilanggar.

    Dengan demikian, jika kita jeli membandingkan antara realita sejarah dengan realita sekarang, persoalan masuknya talafudz biniyyat kepada ranah bid'ah sebetulnya bukan murni lantaran talafudz biniyatnya tapi dikarenakan talafudz biniyatnya itu sendiri sudah keluar dari koridor ijtihad menuju persoalan ibadah mahdhah yang baru (bid'ah), sementara ibadah mahdah sudah ditetapkan dan kita tidak boleh mengurangi atau melebihkannya (haram dilakukan).

    Semoga usaha saya memahami persoalan kekusutan yang terjadi ditubuh ummah dan mencoba mengurainya melalui tulisan ini bisa bermanfaat, dan sampai pada apa yang saya niyatkan.
    Allahu ya'khudzu bi aidinaa ilaa maa fiehi khairun lil islam wal muslimien...!!

    Kamis, 01 September 2011

    Memaknai Hari Raya Iedul Fitri

              No comments   

    Banyak para publik figur yang mengartikan bahwa hari raya 'Iedul Fitri sebagai hari raya ummah Islam yang di dalamnya dikatakan bisa menjamin kembalinya mereka kepada kondisi kefitrahan, suci seperti bayi, tanpa dosa sedikitpun. Benarkah pemahaman seperti ini benar-benar terkandung dalam makna 'Iedul fitri yang diinformasikan al-Qur'an atau Hadits Nabi Shallallahu 'alai wa sallam?

    Jika kita menelusuri beragam ayat dan hadits shahih, bisa jadi ini keterbatasan penulis hingga, penulis belum menemukan adanya jaminan dari Allah maupun Rasul-Nya  terkait kita bisa bersih tanpa dosa dikala hari raya 'Iedul Fitri ini berlangsung.

    Bahkan Rasulullah dalam haditsnya mengatakan secara tekstual bahwa 'Iedul Fitri adalah hari raya dimana ummat Islam kembali berbuka (tidak melakukan shaum). (tobe continue.....)