Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Kamis, 29 November 2012

Dan Aku Masih Berjiwa MAHASiswa

          No comments   
Pukul empat shubuh aku sudah harus mulai menata tempat kerja, menjajakan beragam barang dagangan kepada para pelanggan yang sudah mulai berdatangan. Dan di kala jam tua yang selalu bersandar di ruang keluarga dengan bandul besar yang senantiasa berayunan di sepanjang waktu itu sudah meneriakan suara dentangan sebanyak tujuh kali, pertanda aku pun harus bersiap diri memulai aktivitas lain, aku harus mulai berangkat kuliah. Sementara bila aktivitas kuliah sudah selesai, aku pun bergegas pulang menuju tempat kerja yang tadi sempat aku tinggalkan. Dua tahun lamanya dua aktivitas itu aku gulirkan. Tanpa ada istilah tongkrongan bersama teman, tanpa ada aksi bersama aktivis-aktivis kampus, dan tanpa ada kamus cinta yang menderetkan segudang kata-kata romansa seperti yang tergambar di film-film atau sinetron. Bagiku kala itu kuliah dan kerja adalah dua prioritas utama yang tidak boleh dilalaikan oleh yang lainnya.

Tak ada beban atau kejenuhan menimpaku. Meski otot dan otak terus kuperas seharian. Meski hangatnya canda dan tawa kebersamaan bersama teman-teman harus kurasakan sebatas cicipan tanpa kenyang. Semua tetap aku nikmati dalam porsi seorang Mahasiswa dan Pekerja. Semua kujalani tanpa diakhiri sesal atau kecewa sebab di waktu dan ruang lain, aku juga masih banyak teman setia yang memberi masukan ilmu dalam lintasan dunia tanpa batas. Buku dan buku adalah teman setia yang menyertaiku di kala toko sepi sedikit pembeli. Dan segudang pemikiran serta wacana keilmun masih bisa kucurahkan pada mereka-mereka yang ingin ikut berbagi indahnya dunia pergulatan keilmuan. Dalam waktu senggang menunggu dosen datang, atau dalam iringan langkah kaki tatkala pergi meninggalkan kampus, adalah waktu-waktu aku berdiskusi hebat mengasah ketajaman pemikiran, juga memantau beragam perkembangan situasi aksi mereka para teman-teman yang juga aktivis.

Waktu pergulatan itu kini sudahlah usai. Perang keilmuan sudah sampai pada samudera wisuda. Mereka para pejuang yang telah mendapat gelar itu sudah kembali pulang. Pulang ke kampung halaman dengan senyum lebar siratkan kebanggaan atas tersematnya gelar. Sementara aku yang cidera di masa pertempuran masih tergeletak sendirian, tertinggal di medan pertempuran oleh teman satu pasukan. Dan aku yang masih bisa menyaksikan medan juang pasca pertempuran itu kini tengah menatap puing-puing sisa pertempuran yang masih berserakan. Menatap sisa-sisa kobaran api semangat yang sudah mulai meredup ditinggal oleh mereka para pemangku gelar. Dunia kampus sudah tidak kulihat lagi dan jiwa MAHAsiswa sudah samar kudengar, sebab dunia MAHAsiswa sudah bukan dunianya mereka lagi.

Aku pulang sendirian dengan langkah berat penuh luka kepiluan. Kulihat mata-mata para penonton iringi langkah beratku dengan pandangan penuh cibiran merendahkan. Sorak sorai hinaan berbulan-bulan meneriakiku sebagai pecundang. Aku kala itu bagai pasukan Muslim yang pertama kali dipimpin Khalid yang meski selamat dari kekalahan tapi penonton menganggapnya kalah bertempur hingga teriakan-teriakan penonton itu membuat mereka malu dan minder keluar rumah.

Bagiku yang belum sempat merasakan kemenangan, aksi perjuangan tentulah belum terasa usai. Semangat menenteng senjata keilmuan masih perlu aku lakukan, dan panji-panji perjuangan masih harus aku kibarkan. Alat perkakas keilmuan masih perlu aku gunakan agar di luar medan pertempuran keilmuan (kampus atau sekolah) ini aku masih bisa memetik segudang nikmat ilmu yang mencerahkan. Aku harus tetap menenteng metodologi keilmuan, Hingga jiwa-jiwa semangatku semasa masih di medan kampus itu tetap ada, dan aku harus masih Berjiwa Mahasiswa yang haus akan ilmu dan belajar tanpa batas luasnya bangku dan ruang kelas yang pengap. Alam raya tempat aku berpijak menjalani hidup ini adalah medan ilmu yang masih menyimpan banyak berserakan ilmu. Dan ilmu yang masih banyak berserakan itu tiada bisa kurengkuh tanpa jiwa-jiwa MAHAsiswa yang bisa belajar tanpa batas teritorial ruang dan waktu.

Semoga dengan jiwa MAHAsiswa itu Aku semakin dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan yang sedang dan akan kujelang....

Maaf Bila Do'aku Sudah Memberatkanmu

          2 comments   
Setelah sekian lama hati ini membeku dalam kehidupan tanpa warna, kucoba tengok suasana sekitar pagi saat awal aku bangkit kembali torehkan makna hidup. Dan tersempat kulihat butiran bening tersapa cahaya tengah memantulkan beragam warna indah berkilauan. Apakah keindahan yang menumbuhkan ketakjuban itu hanya butiran embun sesaat lalu memudar seusai panasnya siang menjatuhkannya, ataukah itu butiran intan yang malah tambah berkilauan disaat cahaya semakin kuat menyapa? Entahlah. Yang kulakukan kala itu hanya diam sambil mengamati perkembangan yang mungkin akan merubah keadaan. Dan aku berucap do'a dalam sujud harapku agar hati ini teranugerahi keindahan warna pelangi yang bukan sekedar biasan kebeningan embun pagi, tapi butiran intan permata yang bisa berkilau sepanjang masa. Kupintakan keindahan cinta yang bisa hidupkan kembali hati ini hingga beragam warna dan kekuatannya bisa ada kembali hiasi hari-hari yang kulewati. Cinta yang bukan hanya sekedar menanamkan birahi dan keindahan duniawi, tapi cinta yang juga mampu menghantarkanku pada samudera iman yang mencurahkan kenikmatannya.

            Waktu terus berlalu di tengah aku diam terpaku dalam usaha mengamati penuh pertimbangan dan penghayatan. Tak terasa sudah setahun lebih aku hanyut dalam suasana pertimbangan itu. Dan sedikit demi sedikit sebutir indah itu bisa kupahami lebih kuat keadaannya bila dibanding daya tahan butiran embun. Zatiyah sosoknya dan ketakjuban yang dipancarkannya malah semakin kuat terbentang dalam suasana hidupnya kembali hatiku. Maka, kenapa tidak jika kutetapkan saja keyakinanku padanya, bahwa ia benar-benar anugerah yang kupintakan.

            Dalam yakin yang telah kuukirkan di atas luasan singgasana tempat iman dan nurani bersemayam, aku mulai coba tanamkan keberanian. Namun sayang, masa silam yang telah menorehkan beragam kisah memalukan akibat kelemahanku menerima tantangan yang dihadapkan untuk membuktikan kekuatanku menghalalkan cinta yang diucapkan kepadanya itu pada akhirnya telah membuat keberanian itu tak kunjung tumbuh berkembang. Ketakutanku akan terulanginya kembali kondisi masa lalu itu layaknya telah menjadi hama-hama paling bahaya bagi hidupannya keberanian.

            Tiada jalan lain yang bisa kuusahakan lagi selain meminta pertolongan kembali pada Zat Yang Maha Menguasai gerak langkahnya hati manusia. Kupanjatkan doa agar semoga Ia berkenan mencurahkan rasa keberanian kepadaku dengan memberikan aku sebuah pekerjaan yang bisa menghasilkan sejumlah materi yang bisa kujadikan pengikat mengkhitbahnya. Dan tanpa kusangka jawaban do'a itu sangat cepat kudapat. Dalam jangka waktu kurang dari seminggu, tawaran kerja datang kepadaku meski aku tidak mencarinya, meski aku memberi syarat mutlak yang tidak bisa diganggu-gugat kepadanya.

            Meski teman dekatku telah mengusulkan agar aku kembali mempertimbangkan tafsir lain akan kejadian yang tengah kualami ini dengan "bisa jadi itu belum tentu benar bila ditafsirkan sebagai jawaban do'aku yang lalu itu" tapi aku hingga kini tidak punya tafsiran lain yang bisa memalingkan tafsirku yang sekarang itu. Hingga kini aku tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa itu adalah bukan jawaban atas do'aku. Maka aku, meski berat juga untuk mengawali dan menjalaninya, pada akhirnya membulatkan tekat dan keberanian untuk mewujudkan niatku mengkhitbahmu, sesuai janjiku kepada_Nya yang terucap dalam doa lalu itu.

            Jika kau selama ini merasa heran denganku yang secara tiba-tiba menyodorkan tekatku mengkhitbahmu, maka alasan utama selain karena adanya rasa cinta aku kepadamu, alasan lain yang menguatkannya adalah adanya ikatan janji aku pada Tuhanku.

Engkau bagiku adalah jawaban dari do'a-do'aku, dan maafkan aku jika pada akhirnya do'a-do'aku itu sudah terasa berat untuk kau terima...!

Sabtu, 11 Februari 2012

Indonesia di Panggung Serakah

          No comments   
oleh: Purnawarman


Beragam hikmah, beragam anugrah, beragam kisah,
bersatu padu dalam luasnya hamparan nuansa namamu, duhai Indonesiaku..!
Harumnya semerbak kisah indahmu, hiasi tiap inci tanah yang berkah itu
Likuan sungainya menjulur bebas menembus setiap lahan pertanian dan pegunungan
Betapa subur negeri itu, duhai Indonesiaku..!!
Seindah sutra cakra buana, hamparan pasir putihmu membentang seujung mata memandang
Dilengkapi bahan tambang yang melebihi kalkulasi harta Qarun zaman Fir’aun
Sungguh aku terpedaya oleh kisah limpah ruahnya alam rayamu
Indonesiaku,
Di sudut desamu aku lahir dibesarkan
Sewaktu kecil itu aku terbiasa melihat indah cerahnya siangmu, menggigil rasakan segarnya cuaca malammu
Aku pun ingat, saat itu bintang jadi saksi akan musim yang kan berganti
Saat itu bulan jadi patokan antara panas dan hujan
Saat itu buah segar bisa kupanen dari tangkai, bisa kucicip dengan lahap penuh nikmat.
Indonesiaku,
Kisah itu, kisah silam masa lalu yang kini pergi dan entah kapan jua kan kembali
Di sudut perantauan kota, pemandangan indah itu sulit jua tuk kujumpa
Limbah-limbah kini hitam pekat mencelup sungai dan sumur
Ilalang gersang jadi penghuni pegunungan, sementara bantaran sungai jadi pemukiman
Dan hujan pun tak lagi jadi simbol kesuburan
Dan, itu adalah engkau kini, Indonesiaku.
Indonesiaku,
Andai saja emas permata, atau bensin dan batu bara itu tak layak untuk kami nikmati,
Lalu dimana buah segar itu?
Sampai kapan kami harus nikmati perasa esen campur pewarna tekstil demi sensasi buah segar itu?
Di mana ikan segar hasil luasnya lautan itu?
Di tengah kisah sejarahmu yang mungkin dulu kelam berabad-abad silam
Tenggelam dalam tragisnya penjajahan dan perpecahan
Amat jelas kulihat teriak kuat sabar mereka bergeliat bangkitkan semangat menerjang lawan, menghantam para penindas, menyongsong kemerdekaan
Indonesiaku,
Di tengah hiasan kemegahan yang kini berganti lantunan kegetiran dan harapan dalam derasnya seribu puisi untukmu, aku ikut bermunajat,
Andai saja kesabaran dan keimanan telah tercerabut dari dada dan mental kami,
Harus dengan apa lagi kami menghadang kengerian masa depan ini?
Indonesiaku, jangan kau tambah parah kesakitan dan penderitaan raga ini dengan terus kau fitnah kami dengan teroris..!
Indonesiaku, harus ke mana lagi kulihat sisi kebesaran kayamu?
Harus ke mana lagi kulihat sisi elok parasmu?