Oleh: KH. Shiddiq Amien (Allahu yarham)
Kabar tentang akan dieksekusinya
ketiga terpidana mati yang didakwa sebagai pelaku peledakan bom Bali satu ,
yakni: Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra, setelah cukup lama diberitakan dengan
intens oleh banyak media massa,
dan menyita perhatian sekaligus mengundang sejumlah tanya dalam benak
masyarakat, terkait dengan lamanya proses eksekusi tersebut, dengan pengamanan
yang super ketat, akhirnya terjawab sudah . Ketiganya telah dieksekusi dengan cara ditembak
oleh tim regu tembak dari Brimob Polri pada hari Sabtu (9/11-08) pukul 00.15
WIB disaksikan oleh Jaksa, ulama dan tim
dokter. Sebuah proses eksekusi yang terkesan kuat sengaja didramatisir untuk
tujuan-tujuan politis.
Seperti sebelum proses eksekusi,
pasca eksekusipun kasus ini telah memunculkan pro kontra di tengah masyarakat,
di antaranya menyangkut status ketiganya. Pemerintah melalui Menteri Komunikasi
dan Informatika –Muhammad Nuh- melalui
berbagai media menghimbau agar masyarakat tidak menyebut Amrozi Cs sebagai
mujahid. Sementara KH. Kholil Ridwan, salah seorang Ketua MUI yang juga ketua
BKSPP, punya penilaian yang berbeda
dengan petinggi MUI lainnya. Ia menilai bahwa Amrozi Cs adalah mujahid, sebab
mereka berjuang melawan regim George Bush yang mengesahkan penjajahan
terhadap Irak dan Afganistan, mereka bukan melawan pemerintah RI. Mereka akan
mendapatkan pahala syahid, sedang teroris sejati adalah Bush. Demikian juga
pandangan Dr. Joserizal Jurnalis yang sering terjun langsung ke medan jihad. Amrozi dkk
adalah mujahid, sebab track record mereka adalah mujahid. Mereka telah berjuang
di Afganistan, Ambon dan Poso. Merekalah
orang-orang pertama yang membela kaum muslimin di Ambon
ketika posisi kaum muslimin sedang terjepit. Begitu kata petinggi Mer-C
tersebut.
Penilaian terhadap peristiwa Bom Bali I juga beragam di tengan masyarakat. Banyak pihak
menilai itu sebagai aksi terror, bukan jihad. Sementara menurut Sekjen FUI, KH. M. Al-Khaththath, seperti dikutip situs swaramuslim.com
(13/11) memandang persoalan ini sebagai khilafiyah yang memungkinkan terjadinya
perbedaan dalam penentuan hukum antara ulama yang satu dengan ulama yang
lainnya. Sebab dalam Islam ada dua jenis perang, yakni perang ofensif
(hujumiyyah) dan defensive (difa’iyah). Ofensif berdasarkan perintah
Imam/AmirulMukminin/Khalifah. Sedangkan defensive tidak menunggu adanya
perintah amir. Dalam perang ofensif, wilayah perang dan sasaran jihad
ditentukan oleh Amirul Jihad, sedangkan dalam perang defensive sasaran sesuai
dengan keberadaan musuh yang menyerang (aggressor). Oleh karena itu, penilaian hukum
ulama yang satu tidak menegasikan (meniadakan) penilaian hukum ulama yang lain.
Konsekwensinya adalah tidak bisa dilarang kalau ada ulama/kaum muslimin yang
menganggap ketiganya sebagai mujahid, apalagi ketiganya pernah secara riil
berjihad membela kaum muslimin dalam jihad di Afganistan, Ambon
dan Poso.
Sudah menjadi berita yang akrab di mata dan telinga dunia,
Barat (terutama Inggris dan Amerika) mempelpori perang terhadap terorisme.
Perang terhadap terorisme menjadi ''megaproyek'' luar negeri keduanya. Keduanya
menjadi negara garda depan yang paling rajin menyapu bersih apa saja yang
berbau aksi terorisme. Serangan terhadap Afghanistan disusul Irak adalah
dalam kerangka perang melawan terorisme. Konyolnya, aksi perang terhadap
terorisme yang telah melumatkan banyak nyawa dan merusak berbagai kawasan,
ternyata belum memiliki definisi yang disepakati secara universal: jelas dan
objektif. Jelas, berarti dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat dunia.
Objektif, berarti dipahami secara relatif sama oleh masyarakat dunia. Istilah
terorisme sampai saat ini belum didefinisikan secara baku menjadi definisi yang dikamuskan secara
yudisial. Ironisnya, usaha membuat satu kesepakatan definisi terorisme yang
bisa menjadi salah satu butir deklarasi sidang umum PBB 14-15 September 2005
begitu alot. Para diplomat yang tergabung
dalam tim perumus isu terorisme tetap kesulitan menentukan definisi. Belum adanya
definisi terorisme yang disepakati, menjadikan terorisme sebagai kata yang
sangat terbuka untuk dimaknai atas dasar kepentingan siapa yang memberi makna.
Meskipun tindakan menyebut, mengutuk, dan memerangi terorisme sudah begitu jauh
dan lama berlangsung.
Jurgensmeyer dalam bukunya "Terror in the Mind of God, The
Global Rise of Religious Violence" menjelaskan bahwa batas antara
teroris dengan bukan teroris sangatlah tipis, tergantung siapa yang
memberikan
penilaian. Seseorang atau sekelompok orang oleh penguasa dianggap
sebagai
teroris, tapi oleh masyarakat dan pendukungnya dianggap sebagai mujahid,
pejuang
dan pahlawan. AS selalu menuduh bahwa
Al-Qaeda, Hammas, Pejuang Irak, dsb sebagai teroris. Tapi kalau kita
tanya rakyat Palestina siapakah teroris itu ? Pasti jawabannya: Israel. Jika kita tanya rakyat Irak dan Afganistan,
siapakah teroris itu ? Jawabannya: pasti AS dan Sekutunya. Tapi karena media massa terkemuka baik
nasional maupun internasional mayoritas dikuasai Yahudi dan Kristen, maka
sekarang ini stigma atau tuduhan Teroris
itu sepertinya identik dengan Islam. Bahkan bisa dikatakan dewasa ini sedang
terjadi perang menggempur Islam dengan selubung dan dalih terorisme.
Seperti dikatakan oleh Prof.
Richard Bulliet dari University of Columbia: “We at some point are going
to reach a threshold where people no longer need evidence to believe in a
generic terrorist threat, from religious muslim fanatics“. (Orang AS
suatu ketika akan percaya dan meyakini tanpa perlu bukti apapun, bahwa ancaman
teroris selalu datang dari orang muslim fanatik.). Apa yang dikatakan oleh
Prof. Richard tersebut sekarang sudah jadi kenyataan, ketika terjadi aksi
teror, telunjuk orang selalu dialamatkan kepada Islam atau gerakan Islam.
Pasca peristiwa 11 September
2001, stigma teroris berbalik 180 derajat, War Against Terrorism
bergeser menjadi War Against Islam. Selain Afganistan dan Irak, Indonesia
yang penduduknya mayoritas muslim juga dibidik sebagai sarang teroris,
sarangnya Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyyah (JI). Bantahan yang dikemukakan oleh
banyak pihak, bahwa Indonesia bukanlah sarang teroris seakan dijawab dengan
rentetan Bom di Indonesia mulai dari Bom Bali I (12 Oktober 2002),
Bom Marriott (5 Agustus 2003), Bom Kedubes Australia (9 September 2004) dan
Bom Bali II (1 Oktober 2005. Diakui atau tidak, sebagian pelakunya adalah aktifis masjid, guru
ngaji, alumni pesantren, dengan argumen dalam rangka jihad. Sehingga kata “Jihad” kemudian banyak
digugat, bahkan banyak yang kemudian menjadi alergi menyebut dan mendengarnya. Buku-buku
tentang jihad-pun diteliti ulang. Bahkan ada petinggi BIN yang waktu itu
mengusulkan agar buku-buku karya: Sayyid Qutub, Muhammad Qutub, Hassan
Al-Banna, dsb supaya dilarang. Usulan
agar manhaj pesantren dirubah juga cukup kencang. Santri pun mau disidik jari. Departemen
Agama pun membentuk “Tim Penanggulangan Teroris“ yang bertugas menasehati para
teroris, atau calon teroris.
Dalam beberapa kasus terror bom
di Indonesia,
sebenarnya sampai saat ini masih menyisakan misteri, khususnya menyangkut
dalang atau Grand Master Mind-nya. Dalam
kasus Bom Bali I misalnya, yang dalam 5 mikro detik telah menewaskan 200 orang
lebih, 300-an luka-luka, menghancurkan 47 bangunan, puluhan mobil dan motor
hangus, dengan getaran terasa sampai jarak 12 km, menurut Joe Vialls, investigator
bom independent dan analis inteligen Australia dalam situsnya
www.thetruthseeker.co.uk
dalam tiga artikel berjudul :
Bali Micro Nuke Burried By Western Media; Bali
Micro Nuke-Lack of Radiation Confuses Expert; dan Micro Nuke Used in Bali
“Terrorist” lookalike Attack, menegaskan
bahwa Bom Bali I bukanlah bom NTN apalagi Potasium Klorat (karbit),
melainkan Micro Nuklir SADM
(Special Atomic Demolition Munition). Di dunia ini yang punya bom seperti
itu baru : AS, Inggris, Prancis, Rusia dan Zionis Israel. Sehingga wajar jika banyak
pihak yang menduga, bahwa rencana Amrozi Cs itu sudah “dikawal” pihak tertentu,
sehingga pada saat bom karbit mereka meledak, ada bom nuklir yang diledakkan
dalam waktu dan tempat yang bersamaan, dan kesalahan ditimpakan semuanya kepada
mereka. Wajar pula jika sejak lama
banyak pihak yang mengusulkan agar pihak kepolisian membuktikan kemampuan
Amrozi Cs dalam merakit bom bahsyat itu dengan melakukan rekontruksi di sebuah
pulau kosong. Jika terbukti bom rakitan mereka sama dahsyat dengan bom Bali I, berarti benarlah mereka sebagai pelakunya. Sayang usulan tersebut menghilang bak ditelan
bumi. Bahkan pernah ada yang mengusulkan, meski usulan ini terkesan lucu, bahwa
jika memang Amrozi Cs memiliki kemampuan merakit bom dahsyat seperti Bom Bali I
dan Bom Kuningan, bagusnya sebelum mereka dieksekusi, mereka dijadikan sebagai
asisten pelatih di pabrik senjata Pindad Bandung, agar Republik ini menjadi negara
yang disegani, karena memiliki kemampuan membuat bom dahsyat tersebut. Kini,
semua usulan tersebut telah terkubur, bersamaan dengan telah dikuburkannya mereka.
Wallahu’alam bis-showwab.
================
Semoga bermanfaat..!