Di pertengahan tahun 2002 perjalanan sekolah saya di Pesantren Persatuan Islam 84 Ciganitri harus mulai saya akhiri. Selain konsentrasi belajar yang sudah semakin kacau balau, kondisi ekonomi yang saya hadapi pun memang sudah tidak memungkinkan lagi. Dari sejak tsanawiyyah orang tua memang sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikan saya untuk sekolah di Pesantren Persis Ciganitri. Itulah mengapa baru menginjak kelas 2 saja saya awalnya harus berhenti sekolah. Namun waktu itu al-Ustadz UA. Saefuddin, yang kebetulan jadi nadhir asrama, dengan sigap mencarikan solusi agar saya tetap bisa bertahan di sana. Berkat bantuan kerja keras beliau lah saya pada akhirnya mendapatkan dana bantuan dari jama'ah pengajian beliau di PLN Bandung, hingga saya bisa menyelesaikan pendidikan jenjang tsanawiyyah di Ciganitri. Beres tsnawiyyah saya melanjutkan ke tingkat Mu'allimin di pesantren yang sama. Saya tidak punya harapan atau pun bayangan lain selain menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas di sana. Namun taqdir berkata lain. Baru satu semester saya menikmati bangku Mu'allimien Ciganitri, dana bantuan berhenti. Saya harus mencari celah lain untuk bisa bertahan sampai kenaikan kelas tiba.
Seperti dikatakan di awal, saya tidak punya bayangan sedikit pun untuk bisa melanjutkan ke sekolah lain. Kondisi ekonomi orang tua yang sudah angkat tangan dari semenjak tsanawiyyah membuat pikiran saya mentok bila harus memikirkan kemana saya harus melanjutkan sekolah. Apa lagi bila nyatanya al-Ustadz UA Saefuddin yang dulu siap membantu saya pun kini mengalami hal serupa. Beban berat bagi saya untuk menghadapi kondisi semacam ini.
Tidak ada orang yang bisa saya ajak sharing waktu itu selain teman dekat. Meski kakak saya masih di Ciganitri, karena melanjutkan kuliahnya di STAIPI, rasanya tidak mungkin untuk membagi beban berat ini dengannya. Melihat beban hidup dia waktu itu yang lebih berat dari saya, tidak mungkin apabila harus ditambah lagi dengan memikirkan beban saya. Maka hanya kepada teman lah pilihan satu-satunya buat saya curahkan beban ini. Teman yang sangat dekat kala itu adalah Angga Hidayat (Hidayat apa Hidayatullah ya, saya lupa lagi nama kepanjangannya..hehe). Di Ciganitri Angga juga memiliki kakak yang sekolahnya hanya beda dua tingkat dengan kami. Angga beserta kaka perempuannya merupakan santri pindahan dari Cibegol, dan masuk ke Ciganitri kelas 1 Mu'allimien.
Pada akhirnya Angga mengajak main ke rumahnya di Soreang. Harapannya semoga saja dengan diobrolkannya beban saya ke orang tuanya bisa ditemukan solusi yang terbaik. Berangkat lah saya mengunjungi keluarganya. Singkat cerita, hasil dari obrolan yang cukup panjang bersama kedua orang tuanya itu, sekolah saya bisa dibantu oleh mereka, dengan syarat saya harus bekerja di rumahnya. Dan syarat lainnya adalah saya harus pindah sekolah ke Pesantren Persatuan Islam no 34 Cibegol. Pertimbangannya sendiri, selain biaya sekolah di Cibegol lebih murah, letak sekolahnya yang lebih dekat dari Soreang Kota akan lebih memungkinkan saya untuk sekolah sambil kerja.
Cibegol...!! Saya tidak punya bayangan bisa sekolah di sana, terlintas dalam pikiran pun sama sekali tidak pernah. Mitos yang beredar di dunia pesantren Persis, minimalnya yang tertanam dalam benak saya kala itu, Cibegol adalah sekolah ketat dengan mutu pendidikan yang tinggi. Hanya orang-orang cerdas yang bisa sekolah di sana. Saya banyak mendengar hal itu dari obrolan bersama banyak alumni Cibegol yang pindah ke Ciganitri. Dengan mempertimbangkan kapasitas kemampuan diri saya sendiri, maka suguhan pilihan untuk pindah ke Cibegol kala itu adalah pilihan berat. Sekolah selama empat tahun di Ciganitri, dengan jumlah santri yang tidak pernah lebih dari 30 orang saja, saya tidak termasuk santri yang berprestasi, gimana nantinya jika di Cibegol coba? Namun apa boleh buat, pada akhirnya memang hanya pilihan itu yang bisa saya ambil untuk menyelamatkan dunia sekolah saya. Meski pada awalnya berat apabila harus berpisah dengan kawan-kawan yang sudah empat tahun hidup bersama, harus pisah juga dengan kekasih hati yang baru beberapa bulan menjalin hubungan, saya harus bisa membulatkan tekat memilih untuk hijrah dengan meninggalkan semua kenangan lama dan beradaptasi dengan lingkungan baru.