Apabila kita menyisihkan waktu sejenak untuk merenungkan apa yang jadi phenomena dewasa ini di lingkungan sekitar, kemudian membandingkannya dengan phenomena yang diabadikan dalam buku-buku sejarah masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tentu kita akan menemukan beragam keganjilan dan pertanyaan. Ada kesenjangan. Ada ketidak beresan. Ada jurang lebar yang memisahkan antar kedua masa itu.
Persoalan kesenjangan dan ketidak beresan itu bukan dalam kondisi fisik berupa materi dan aksesoris duniawi, karena persoalan itu akan terus berkembang dan berubah akibat dari nilai esensial manusia yang memiliki potensi daya cipta, daya kreasi (human creation), melainkan persoalan ibadah ritus (mahdhah) di satu sisi dengan ibadah goir mahdhah di sisi lainnya. Dalam metodologi pengkajian Islam, persoalan pehenomena sosial kemasyarakatan ummat Islam, berupa kegiatan yang dilakukan selama hidupnya dan adab sopan santun di kehidupan sehari-harinya, dengan persoalan ubudiyah dan uluhiyyah yang ajarannya terkonsep secara original dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, mestilah kita bedakan jika kita menghendaki adanya pemahaman utuh mengenai apa itu Islam. Lahirnya metodologi pengkajian Islam seperti ini, salah satunya, disebabkan sudah banyaknya phenomena sosial kemasyarakatan ummah Islam yang sudah tidak mencerminkan agama Islam yang dianutnya.
Kita menyaksikan di satu waktu banyak dari kalangan yang sadar, butuh dan haus akan siraman rohani, secara semangat membabi buta mereka melakukan apapun yang dipandang bermuka ibadah, meski pada hakikatnya perlakuan-perlakuan tersebut jauh dari makna --yang hakiki-- ibadah yang disyari'atkan itu sendiri. Sementara di lain waktu kita juga menyaksikan wajah kontradiksi yang memilukan, yang jauh dari sentuhan ibadah karena "di lain waktu itu" yang mereka lakukan adalah kemaksiatan, kebobrokan moral dan kejahiliyahan.
Kontradiksi-kontradiksi ini menimbulkan reaksi bagi sebagian kalangan untuk memponis bahwa ibadah ritual, seperti shalat, zakat, shaum, dan lain sebagainya, itu tidak perlu. Karena menurut mereka, tujuan dari perilaku ibadah ritual itu sudah tidak terlihat lagi ada pada sosok-sosok mereka yang suka menjalankannya. Tumbuhnya pemikiran semisal ini, dalam pemahaman penulis, bukan hanya diakibatkan oleh reaksi kekontradiktifat dari phenomena yang ada, tapi juga diakibatkan oleh ketidak fahaman dari makna dan arti "IBADAH" itu sendiri. Setidaknya, tulisan ini mulai penulis susun atas dasar niatan agar di satu sisi semoga kesenjangan dan kekontradiktifan yang terjadi itu bisa kita benahi, dan di sisi lain tidak ada tumbuh lagi pemahaman yang keliru terkait pemaknaan ibadah itu sendiri.
Dalam Artikel di yahoo group alFikrah ( Klik di sini untuk membaca secara lengkap artikel tersebut), ditulis secara mendetil persoalan arti secara bahasa maupun istilah syar'i terkait apa itu ibadah. Dalam artikel tersebut dituliskan sebagai berikut.
Ibadah Secara Bahasa
Secara bahasa, ‘ibâdah berasal dari kata ‘abada – ya’budu – ‘ibâdah / ‘ubûdiyyah yang artinya beribadah atau menyembah. Menurut Abdul Qadir ar-Razi, dalam "Mukhtâr as-Shihâh" (1/172), arti asal ‘ubûdiyyah adalah al-khudhû’ (ketundukan) dan ad-dzullu (kerendahan), Ibadah juga ber-arti inqiyâdz, yakni kepatuhan (Al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi, 4/235).
Dengan demikian, secara bahasa ibadah dapat diartikan sebagai bentuk kerendahan, ketundukan, dan kepatuhan kepada al-Ma’bûd (yang disembah).
Ibadah Secara Istilah Syariat
Seorang hamba (al-‘abd, kata jamaknya: al-‘abîd, al-‘ibâd, al-‘ubbâd) adalah orang yang rendah, tunduk, dan pasrah. Al-Jauhari berkata, ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kepasrahan, yang hanya layak ditujukan kepada Allah. Ibadah adalah ketundukan kepada-Nya dan tidak ada ketundukan yang lebih tinggi selain kepada-Nya. Al-‘Abd (hamba) disebut hamba karena kerendahan dan ketundukannya kepada tuannya (Abu Abdullah al-Ba’li, al-Muthalli, juz1 hlm.93).
Sedangkan Imam at-Thabari mengartikan ibadah sebagai ketundukan kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan merendahkan diri kepada-Nya dengan kepasrahan (Tafsîr at-Thabari, 1/160).Dengan membaca kembali pemahaman dan penafsiran yang mendalam dari para ulama besar lewat pendefinisian secara mendasar barusan, kita sekarang faham bahwa makna pokok ibadah adalah ketundukan sikap kita kepada aturan Allah subhanaHu wa Ta'ala dan keta'atan kita kepada apapun yang diperintah dan dilarangnya.
Makna ibadah yang diidentikkan juga dengan kata 'ABDUN yang suka disandarkan kepada panggilan para "Hamba Sahaya" menjadi sebuah tolak ukur bahwa kita sebagai hamba Allah ('ABDULLAH), harus berlaku kepada Allah layaknya seorang "hamba sahaya" berlaku kepada tuannya.
Taatnya seorang hamba sahaya kepada tuannya adalah murni ketaatan. Mereka bekerja tidak mengharapkan imbalan atau gaji karena posisi mereka bukan pekerja melainkan seorang hamba. Hamba sahaya adalah prototife manusia yang menjadi milik tuannya. Dan sikap seperti itulah yang harus kita miliki selagi menjalankan kehidupan ini dalam posisi 'abdullah (hamba Allah) yang mengabdi kepada setiap titah dan perintah-Nya.
DI sisi lain kita juga harus bisa menerima secara lapang dada dan bisa menempatkan diri secara arif dan bijaksana bahwa yang namanya hamba yang harus ibadah itu akan menjadi benar-benar menjadi hamba yang beribadah secara hakiki, jika dalam menjalankan ibadahnya itu sendiri didasarkan pada ketaatan, bukan atas dasar hawa nafsu dan keinginan pribadi.
Dalam kerangka pemahaman inilah hingga al-Jurjani mendefinisikan 'ibadah secara istilah dengan Perbuatan seorang mukallaf (yakni orang yang dibebani hukum) menyalahi keinginan hawa nafsunya sebagai pengagungan kepada Tuhannya (al-Jurjani, at-Ta’rifât, 1/189). Al-Manawi menambahkan, bahawa ibadah adalah mengagungkan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Ibadah juga bererti perbuatan-perbuatan yang menunjukkan batas paling akhir dari kerendahan dan ketundukan (at-Ta’ârif, 1/498).
Selanjutnya mari kita simak tulisan terkait ibadah yang ditulis oleh grup al-Fikrah selanjutnya, berikut ini.
Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada mereka (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, 3/80). Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti dan patuh, diambil dari al-‘ubûdiyyah; seseorang hanya menyembah Zat yang ia patuhi dan yang dia ikuti perintah (ketetapan)-Nya (Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/90). Kerana itu, orang yang menyalahi ketetapan aturan-aturan Allah dan menaati aturan-aturan selain-Nya, dia hakikatnya bukan hamba Allah, dan pada saat yang sama ia telah menyekutukan Allah dengan yang lain. Ibadah secara umum ini hanya boleh dilaksanakan sempurna jika kita menjadikan Allah saja sebagai Pembuat hukum/aturan yang wajib ditaati.
Ada sebahagian orang yang mengotak-atik ibadah mahdhah dan mengembangluaskan ketetapan ibadah tersebut (seperti zakat) dengan alasan menyesuaikan zaman dan demi ke-afdhal-annya. Ini artinya mengubah tatacara dan ketetapan ibadah mahdhah yang hakikatnya sudah ditentukan Allah. Ini tentu saja tidak boleh disebut dengan ibadah.
Demikianlah pemaparan yang penuh ilmu ini saya tulis ulang, dan beberapa bagain dari aspek penulisan saya edit ulang dengan maksud agar bahasa melayu yang digunakan oleh grup al-Fikrah ini sesuai dengan bahasa Indonesia yang saya gunakan.
Mohon maaf apabila saya tidak mencantumkan nama penulisnya, dikarenakan saya tidak menemukan itu di grup bersangkutan. Meskipun demikian, ini adalah ilmu yang dijamin kebenarannya, hingga kita tidak ada alasan untuk menolaknya.
Semoga tulisan ini sampai pada niat yang saya landaskan.
"Allahu ya'khudzu biaidinaa ilaa maa fiehi khairun lin islam wal muslimin"
DI sisi lain kita juga harus bisa menerima secara lapang dada dan bisa menempatkan diri secara arif dan bijaksana bahwa yang namanya hamba yang harus ibadah itu akan menjadi benar-benar menjadi hamba yang beribadah secara hakiki, jika dalam menjalankan ibadahnya itu sendiri didasarkan pada ketaatan, bukan atas dasar hawa nafsu dan keinginan pribadi.
Dalam kerangka pemahaman inilah hingga al-Jurjani mendefinisikan 'ibadah secara istilah dengan Perbuatan seorang mukallaf (yakni orang yang dibebani hukum) menyalahi keinginan hawa nafsunya sebagai pengagungan kepada Tuhannya (al-Jurjani, at-Ta’rifât, 1/189). Al-Manawi menambahkan, bahawa ibadah adalah mengagungkan Allah dan menaati perintah-perintah-Nya. Ibadah juga bererti perbuatan-perbuatan yang menunjukkan batas paling akhir dari kerendahan dan ketundukan (at-Ta’ârif, 1/498).
Selanjutnya mari kita simak tulisan terkait ibadah yang ditulis oleh grup al-Fikrah selanjutnya, berikut ini.
Ibadah Umum Dan Ibadah Khusus
Allah menciptakan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Qs. ad-Dzariyat [51]: 56).
Ibnu Abbas berkata, maksudnya adalah, “agar mereka menetapi ibadah kepada-Ku.” Mufasir lain mengatakan, maksudnya adalah “agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku.” (Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, 8/43).
Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada mereka (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, 3/80). Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti dan patuh, diambil dari al-‘ubûdiyyah; seseorang hanya menyembah Zat yang ia patuhi dan yang dia ikuti perintah (ketetapan)-Nya (Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/90). Kerana itu, orang yang menyalahi ketetapan aturan-aturan Allah dan menaati aturan-aturan selain-Nya, dia hakikatnya bukan hamba Allah, dan pada saat yang sama ia telah menyekutukan Allah dengan yang lain. Ibadah secara umum ini hanya boleh dilaksanakan sempurna jika kita menjadikan Allah saja sebagai Pembuat hukum/aturan yang wajib ditaati.
Walhasil, secara umum segala bentuk ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah merupakan ibadah. Hanya saja, kata ibadah kemudian digunakan untuk menyebut bentuk ketaatan yang lebih khusus. Para ulama menyebutnya sebagai ibadah mahdhah, dan disebut “ibadah” saja. Ibadah mahdhah ini, seperti yang dikatakan oleh an-Nawawi, adalah ibadah yang murni, di dalamnya tidak terdapat campuran selainnya (al-Majmû’, 1/373).
Ibadah merupakan bentuk landasan hubungan seorang hamba (manusia) dengan Allah selain hubungan dalam bentuk aqidah. Dikatakan ibadah mahdhah jika di dalamnya hanya terdapat bentuk hubungan ini dan tidak terdapat bentuk hubungan yang lain, yaitu tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni masalah makanan, minuman, pakaian, dan akhlak; dan tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan manusia yang lain yakni masalah muamalat dan ‘uqûbat. Contoh ibadah mahdhah ini adalah shalat, puasa, zakat, haji, doa, zikir, membaca al-Qur’an, kurban Idul Adha, dan sebagainya.
Berbeda dengan jual-beli, kontrak kerja, perwakilan, pemerintahan, hubungan sosial, dan lain-lainnya; di dalamnya ada hubungan manusia dengan manusia lainnya sehingga tidak disebut ibadah mahdhah.
Al-Mawardi, dalam al-Hâwi, memberikan batasan ibadah mahdhah, yaitu apa saja yang dinyatakan untuk beribadah dengannya sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut Imam al-Haramayn (al-Juwayni), ibadah (mahdhah) merupakan kerendahan dan ketundukan dengan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada yang disembah, al-Ma’bûd, yakni Allah SWT, melalui perbuatan yang diperintahkan oleh-Nya (al-Majmû’, 1/373).
Ibadah mahdhah itu bersifat tawqîfiyah, artinya ditentukan oleh Allah dan diambil apa adanya, tidak ada penambahan dan pengurangan, bahkan wajib kembali pada ketetapan nash dan dalil syariat.
Ada sebahagian orang yang mengotak-atik ibadah mahdhah dan mengembangluaskan ketetapan ibadah tersebut (seperti zakat) dengan alasan menyesuaikan zaman dan demi ke-afdhal-annya. Ini artinya mengubah tatacara dan ketetapan ibadah mahdhah yang hakikatnya sudah ditentukan Allah. Ini tentu saja tidak boleh disebut dengan ibadah.
Agar ibadah menjadi sah dan berpahala, maka pelaksanaannya harus memenuhi tiga ketetapan pokok :
(1) harus dilandasi iman;
(2) harus ikhlas semata-mata kerana Allah, tidak boleh dilakukan demi selain Allah;
(3) harus dilakukan menurut tatacara dan ketetapan ibadah yang telah ditentukan Allah dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, tidak boleh ada tambahan atau pengurangan.
Hudzaifah r.a. pernah berkata, “Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah, janganlah engkau beribadah dengannya.”
Imam Malik juga pernah berkata, “Apa yang hari itu (masa Nabi SAW) tidak termasuk dalam ketetapan agama, maka pada saat ini (masa Imam Malik) juga tidak termasuk dalam ketetapan agama. Beribadah kepada Allah SWT hanya dilakukan dengan apa yang Dia syariatkan.”
Tanpa itu semua aktivitas ibadah tidak akan diterima dan tidak mendekatkan dirinya kepada Allah. Yang ada bukan ta’abbud ilâ Allâh (beribadah kepada Allah), tetapi taba’ud ‘an Allâh (menjauh diri dari Allah).
Dinukil dari Samrah: "Betapa banyak tukang ibadah yang bodoh dan betapa banyak orang berilmu yang jahat. Kerana itu, berhati-hatilah kalian terhadap orang-orang bodoh dari kalangan tukang ahli ibadah dan terhadap orang-orang jahat dari kalangan ulama. Sesungguhnya keburukan mereka terhadap agama lebih besar daripada keburukan syaitan. (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, demikian dikatakan oleh al-Manawi, dalam Faydh al-Qadîr, 4/17).
Wallâhu a‘lam bi as-shawâb.
Demikianlah pemaparan yang penuh ilmu ini saya tulis ulang, dan beberapa bagain dari aspek penulisan saya edit ulang dengan maksud agar bahasa melayu yang digunakan oleh grup al-Fikrah ini sesuai dengan bahasa Indonesia yang saya gunakan.
Mohon maaf apabila saya tidak mencantumkan nama penulisnya, dikarenakan saya tidak menemukan itu di grup bersangkutan. Meskipun demikian, ini adalah ilmu yang dijamin kebenarannya, hingga kita tidak ada alasan untuk menolaknya.
Semoga tulisan ini sampai pada niat yang saya landaskan.
"Allahu ya'khudzu biaidinaa ilaa maa fiehi khairun lin islam wal muslimin"