Sadar ataupun tidak, acuh maupun tak acuh, masih senang ataupun sudah muak, memandangnya seriuas ataupun sepele, Apa mau dikata, persoalan-persoalan ibadah pada akhirnya tetap menjadi persoalan yang jadi bahan perbincangan dan pengkajian. Meskipun banyak dari kalangan awam yang penulis temui dan mengutarakan kegerahannya apabila dilihatnya antar sesama Muslim bersilang pendapat dipersoalan-persoalan furu'iyah dan mereka berambisi untuk menghindari silang pendapat tersebut, pada akhirnya mereka tetap akan menemukan juga orang-orang yang membahasnya. Hal ini disebabkan oleh beragamnya sudut pandang, orientasi, pemaknaan dan penghayatan yang dimiliki oleh manusia secara umum. Bagi orang yang menganggap persoalan-persoalan furu'iyah sebagai persoalan sepele, mungkin memperbincangkan persoalan tersebut memuakkan atau dipandang tidak banyak manfaatnya. Namun lain halnya dengan orang-orang yang mendudukan persoalan ibadah sebagai persoalan penting, meskipun orang katakan itu adalah persoalan-persoalan furuiyah (cabang), kalau hal itu termasuk pada persoalan ibadah maka tentu saja persoalan itu dibenak mereka akan menempati persoalan penting. Oleh sebab itu, dalam koridor pemaknaan seperti ini, sepanjang manusia memiliki sudut pandang, pemaknaan, penghayatan dan penempatan yang berbeda, penulis lebih meyakini bahwa sampai kapanpun persoalan-persoalan silang pendapat dan pengkajian terhadap persoalan-persoalan furu'iyah ini akan selalu ada dalam wacana pengkajian ummat Islam. Secara otomatis, memandang bahwa langkah menghindar dari pengkajian dan penyamaan persepsi (dalam bentuk diskusi, dlsb) terhadap persoalan-persoalan yang ada bukanlah metode jitu menyelesaikan persoalan. Sebab yang namanya menghindari bukanlah menyelesaikan, tapi membiarkan persoalan itu tetap mengambang dan hidup tanpa terselesaikan.
Berangkat dari landasan berfikir seperti itulah tulisan ini kami awali, dengan harapan semoga dengan kita sama-sama menyamakan sudut pandang dan persepsi di antara kita, persolan-persoalan yang tumbuh ditengah kita menemui titik temu dan difahami secara benar.
Salah satu persoalan yang di satu pihak selalu dihindari pembahasannya, dan di pihak lain suka dibahas duduk persoalannya adalah masalah talafudz niyyat (melafalkan bacaan niyat).
Awal mula polemik masalah niyat dibaca atau pun cukup dalam hati adalah berangkat dari hadits shahih "innamal -a'malu bin-niyyaat wa innama likullim-ri'in maa nawaa... alhadits". Para ulama dalam memahami hadits ini sepakat bahwa hadits ini menunjukkan kedudukan niyyat itu penting dan menjadi landasan pokok setiap persoalan yang kita lakukan. Dan terjadinya silang pendapat mengenai harus bagaimana kita berniyat muncul akibat dari tidak adanya nash yang menjelaskan secara terperinci. Dalam bidang ini para ulama masuk dalam ranah ijtihad. Ijtihad itu boleh, dan boleh jadi hukumnya wajib, di saat kita menghadapi persoalan yang butuh diputuskan sementara persolan yang diputuskan itu belum atau tidak ada tuntunannya. Dalam persoalan ijtihad, keputusan akhir yang diputuskannya tidak ada yang bisa dipersalahkan atau dibenarkan. Kita semua hanya bisa memilih dan menilai hasil mana yang lebih mendekati kebenaran, dan mana hasil yang bila melihat argumen-argumen dan landasannya lemah sehingga mendekati kekeliruan. Dengan demikian, dalam koridor ijtihad tidak ada hasil akhir yang merujuk pada benar atau salah, melainkan baik atau buruk.
Persoalan kenapa kemudian banyak ulama kontemporer yang membid'ahkan (menyalahkan atau menyesatkan) masalah talafudz biniyat adalah dikarenakan talafudz biniyah yang asalnya ada dalam ranah ijtihadi itu kemudian bergeser menjadi persoalan ibadah mahdhah (ibadah ritual yang tatacara dan waktu atau tempatnya terikat, hanya bisa ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya), padahal tidak ada satupun nash yang menerangkan bahwa waktu talafudz biniyat itu harus seperti yang sekarang dilakukan. Bacaan niyatnya pun tidak ada satupun dalil yang memerintahkan harus seperti demikian. sementara yang terjadi sekarang antara waktu atau tempanya dan bacaan dan tatacaranya ditetapkan seolah-olah, dan mau tidak mau harus dikatakan, sebagai ibadah mahdhah yang sudah ditetapkan dan tidak bisa dilanggar.
Dengan demikian, jika kita jeli membandingkan antara realita sejarah dengan realita sekarang, persoalan masuknya talafudz biniyyat kepada ranah bid'ah sebetulnya bukan murni lantaran talafudz biniyatnya tapi dikarenakan talafudz biniyatnya itu sendiri sudah keluar dari koridor ijtihad menuju persoalan ibadah mahdhah yang baru (bid'ah), sementara ibadah mahdah sudah ditetapkan dan kita tidak boleh mengurangi atau melebihkannya (haram dilakukan).
Semoga usaha saya memahami persoalan kekusutan yang terjadi ditubuh ummah dan mencoba mengurainya melalui tulisan ini bisa bermanfaat, dan sampai pada apa yang saya niyatkan.
Allahu ya'khudzu bi aidinaa ilaa maa fiehi khairun lil islam wal muslimien...!!
0 komentar:
Posting Komentar