Pukul empat shubuh aku sudah harus mulai menata tempat kerja,
menjajakan beragam barang dagangan kepada para pelanggan yang sudah
mulai berdatangan. Dan di kala jam tua yang selalu bersandar di ruang
keluarga dengan bandul besar yang senantiasa berayunan di sepanjang
waktu itu sudah meneriakan suara dentangan sebanyak tujuh kali, pertanda
aku pun harus bersiap diri memulai aktivitas lain, aku harus mulai
berangkat kuliah. Sementara bila aktivitas kuliah sudah selesai, aku pun
bergegas pulang menuju tempat kerja yang tadi sempat aku tinggalkan.
Dua tahun lamanya dua aktivitas itu aku gulirkan. Tanpa ada istilah
tongkrongan bersama teman, tanpa ada aksi bersama aktivis-aktivis
kampus, dan tanpa ada kamus cinta yang menderetkan segudang kata-kata
romansa seperti yang tergambar di film-film atau sinetron. Bagiku kala
itu kuliah dan kerja adalah dua prioritas utama yang tidak boleh
dilalaikan oleh yang lainnya.
Tak ada beban atau kejenuhan menimpaku. Meski otot dan otak terus kuperas seharian. Meski hangatnya canda dan tawa kebersamaan bersama teman-teman harus kurasakan sebatas cicipan tanpa kenyang. Semua tetap aku nikmati dalam porsi seorang Mahasiswa dan Pekerja. Semua kujalani tanpa diakhiri sesal atau kecewa sebab di waktu dan ruang lain, aku juga masih banyak teman setia yang memberi masukan ilmu dalam lintasan dunia tanpa batas. Buku dan buku adalah teman setia yang menyertaiku di kala toko sepi sedikit pembeli. Dan segudang pemikiran serta wacana keilmun masih bisa kucurahkan pada mereka-mereka yang ingin ikut berbagi indahnya dunia pergulatan keilmuan. Dalam waktu senggang menunggu dosen datang, atau dalam iringan langkah kaki tatkala pergi meninggalkan kampus, adalah waktu-waktu aku berdiskusi hebat mengasah ketajaman pemikiran, juga memantau beragam perkembangan situasi aksi mereka para teman-teman yang juga aktivis.
Waktu pergulatan itu kini sudahlah usai. Perang keilmuan sudah sampai pada samudera wisuda. Mereka para pejuang yang telah mendapat gelar itu sudah kembali pulang. Pulang ke kampung halaman dengan senyum lebar siratkan kebanggaan atas tersematnya gelar. Sementara aku yang cidera di masa pertempuran masih tergeletak sendirian, tertinggal di medan pertempuran oleh teman satu pasukan. Dan aku yang masih bisa menyaksikan medan juang pasca pertempuran itu kini tengah menatap puing-puing sisa pertempuran yang masih berserakan. Menatap sisa-sisa kobaran api semangat yang sudah mulai meredup ditinggal oleh mereka para pemangku gelar. Dunia kampus sudah tidak kulihat lagi dan jiwa MAHAsiswa sudah samar kudengar, sebab dunia MAHAsiswa sudah bukan dunianya mereka lagi.
Aku pulang sendirian dengan langkah berat penuh luka kepiluan. Kulihat mata-mata para penonton iringi langkah beratku dengan pandangan penuh cibiran merendahkan. Sorak sorai hinaan berbulan-bulan meneriakiku sebagai pecundang. Aku kala itu bagai pasukan Muslim yang pertama kali dipimpin Khalid yang meski selamat dari kekalahan tapi penonton menganggapnya kalah bertempur hingga teriakan-teriakan penonton itu membuat mereka malu dan minder keluar rumah.
Bagiku yang belum sempat merasakan kemenangan, aksi perjuangan tentulah belum terasa usai. Semangat menenteng senjata keilmuan masih perlu aku lakukan, dan panji-panji perjuangan masih harus aku kibarkan. Alat perkakas keilmuan masih perlu aku gunakan agar di luar medan pertempuran keilmuan (kampus atau sekolah) ini aku masih bisa memetik segudang nikmat ilmu yang mencerahkan. Aku harus tetap menenteng metodologi keilmuan, Hingga jiwa-jiwa semangatku semasa masih di medan kampus itu tetap ada, dan aku harus masih Berjiwa Mahasiswa yang haus akan ilmu dan belajar tanpa batas luasnya bangku dan ruang kelas yang pengap. Alam raya tempat aku berpijak menjalani hidup ini adalah medan ilmu yang masih menyimpan banyak berserakan ilmu. Dan ilmu yang masih banyak berserakan itu tiada bisa kurengkuh tanpa jiwa-jiwa MAHAsiswa yang bisa belajar tanpa batas teritorial ruang dan waktu.
Semoga dengan jiwa MAHAsiswa itu Aku semakin dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan yang sedang dan akan kujelang....
Tak ada beban atau kejenuhan menimpaku. Meski otot dan otak terus kuperas seharian. Meski hangatnya canda dan tawa kebersamaan bersama teman-teman harus kurasakan sebatas cicipan tanpa kenyang. Semua tetap aku nikmati dalam porsi seorang Mahasiswa dan Pekerja. Semua kujalani tanpa diakhiri sesal atau kecewa sebab di waktu dan ruang lain, aku juga masih banyak teman setia yang memberi masukan ilmu dalam lintasan dunia tanpa batas. Buku dan buku adalah teman setia yang menyertaiku di kala toko sepi sedikit pembeli. Dan segudang pemikiran serta wacana keilmun masih bisa kucurahkan pada mereka-mereka yang ingin ikut berbagi indahnya dunia pergulatan keilmuan. Dalam waktu senggang menunggu dosen datang, atau dalam iringan langkah kaki tatkala pergi meninggalkan kampus, adalah waktu-waktu aku berdiskusi hebat mengasah ketajaman pemikiran, juga memantau beragam perkembangan situasi aksi mereka para teman-teman yang juga aktivis.
Waktu pergulatan itu kini sudahlah usai. Perang keilmuan sudah sampai pada samudera wisuda. Mereka para pejuang yang telah mendapat gelar itu sudah kembali pulang. Pulang ke kampung halaman dengan senyum lebar siratkan kebanggaan atas tersematnya gelar. Sementara aku yang cidera di masa pertempuran masih tergeletak sendirian, tertinggal di medan pertempuran oleh teman satu pasukan. Dan aku yang masih bisa menyaksikan medan juang pasca pertempuran itu kini tengah menatap puing-puing sisa pertempuran yang masih berserakan. Menatap sisa-sisa kobaran api semangat yang sudah mulai meredup ditinggal oleh mereka para pemangku gelar. Dunia kampus sudah tidak kulihat lagi dan jiwa MAHAsiswa sudah samar kudengar, sebab dunia MAHAsiswa sudah bukan dunianya mereka lagi.
Aku pulang sendirian dengan langkah berat penuh luka kepiluan. Kulihat mata-mata para penonton iringi langkah beratku dengan pandangan penuh cibiran merendahkan. Sorak sorai hinaan berbulan-bulan meneriakiku sebagai pecundang. Aku kala itu bagai pasukan Muslim yang pertama kali dipimpin Khalid yang meski selamat dari kekalahan tapi penonton menganggapnya kalah bertempur hingga teriakan-teriakan penonton itu membuat mereka malu dan minder keluar rumah.
Bagiku yang belum sempat merasakan kemenangan, aksi perjuangan tentulah belum terasa usai. Semangat menenteng senjata keilmuan masih perlu aku lakukan, dan panji-panji perjuangan masih harus aku kibarkan. Alat perkakas keilmuan masih perlu aku gunakan agar di luar medan pertempuran keilmuan (kampus atau sekolah) ini aku masih bisa memetik segudang nikmat ilmu yang mencerahkan. Aku harus tetap menenteng metodologi keilmuan, Hingga jiwa-jiwa semangatku semasa masih di medan kampus itu tetap ada, dan aku harus masih Berjiwa Mahasiswa yang haus akan ilmu dan belajar tanpa batas luasnya bangku dan ruang kelas yang pengap. Alam raya tempat aku berpijak menjalani hidup ini adalah medan ilmu yang masih menyimpan banyak berserakan ilmu. Dan ilmu yang masih banyak berserakan itu tiada bisa kurengkuh tanpa jiwa-jiwa MAHAsiswa yang bisa belajar tanpa batas teritorial ruang dan waktu.
Semoga dengan jiwa MAHAsiswa itu Aku semakin dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan yang sedang dan akan kujelang....
0 komentar:
Posting Komentar