Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Senin, 21 Oktober 2013

Keajaiban Daya Kerja Otak Manusia

     ,      No comments   
Seperti yang sering saya katakan dalam postingan-postingan terdahulu, kebiasaan saya dalam mengisi waktu ketika tidak terganggu dengan komunikasi bersama orang lain adalah mengisinya dengan berfikir mengenai hal-hal yang terlintas dalam pikiran dan patut untuk difikirkan lebih jauh. Dalam menjalani kebiasaan itu fikiran serta perasaan saya biasanya meracau saling bersautan. Seakan-akan mereka menjadi beberapa individu yang sedang melakukan dialog interaktif, berdebat, dan berdiskusi. Perasaan dan pikiran saya seakan tengah duduk dalam sebuah forum adu ketajaman analisa dalam mencermati sebuah persoalan. Hal itu akan berlangsung lebih segar lagi apabila saya tengah mandi di kamar mandi. Dan hal itu bukanlah kegiatan yang diagendakan. Semua berjalan begitu repleks, spontan, mengalir dengan sendirinya. Dan saya sendiri tidak tahu apakah hal itu bisa terjadi karena memang sudah menjadi kebiasaan saya semenjak kecil, atau karena memang itu adalah fitrah dasar manusia yang tentunya terjadi pada semua manusia.

Sebetulnya memikirkan tema tentang daya kerja otak manusia ini saya lakukan beberapa bulan yang lalu, bahkan bisa sampai satu tahun yang lalu. Sebagai patokannya, karena hal ini saya pikirkan ketika awal mula saya mulai mengamati kebiasaan yang tejadi di jalan raya, ketika saya mulai banyak menggunakan jalan raya sendirian dengan bersepeda saat pulang pergi ke tempat kerja. Dan pekerjaan itu saya awali di tahun 2012, tepatnya bulan mei awal. Namun tema ini baru bisa saya tuliskan sekarang karena sempat terlupakan dan baru teringat kembali setelah tadi siang saya berbincang dengan seorang teman kerja dan tak sengaja perbincangan tersebut menyinggung kembali tema pemikiran yang sudah lama saya pikirkan itu.

Pengamatan saya tertuju kepada kebiasaan orang-orang ketika mengendarai kendaraannya. Ketakjuban tejadi ketika pengamatan itu saya bandingkan dengan analisa matematika. Dalam ilmu matematika, untuk menghitung kecepatan rata-rata, serta luas sebuah ruangan, tentu membutuhkan rumus yang lumayan rumit dan apabila kita disuguhi soal tentang itu untuk megisinya mmbutuhkan waktu bermenit-menit. Namun apa yang terjadi ketika kita mengendarai kendaraan di jalan raya, yang di sana banyak kendaraan lain, dan kita dituntut untuk cermat mengambil keputusan apakah akan selamat apabila menyiap kendaraan lain di depan kita, atau tidak. Biasanya keputusan itu, apa lagi apabila dalam keadaan sedang ngebut,  bisa kita putuskan dala hitungan detik. Padahal, seperti saya katakan tadi, apabila keputuskan itu harus memakai kerangka berfikir rumus matematika tentu tidak bisa secepat itu.

Dari kondisi semacam itu saya bisa memastikan bahwa pada dasarnya, daya kerja otak kita untuk berfikir dan mencerna suatu persoalan itu sangat cepat kerjanya. Kita bisa memahami sebuah persoalan, kita bisa menganalisa sebuah kasus, serta kita bisa membuat kesimpulan yang tepat itu, bisa dalam waktu hitungan detik saja. Contoh kasusnya seperti tadi. Untuk menghitung jarak antara satu kendaraan dengan kendaraan lain hingga kita bisa memutuskan bahwa kendaraan yang kita bawa itu akan masuk ke sela-sela jarak yang ada, tentu harus pula kita mengukur besar kendaraan kita. Namun dengan kecermatan mata kita dalam melihat, serta kecepatan daya analisa otak kita, hal itu bisa kita kalkulasikan hingga menjadi sebuah kesimpulan yang bisa diambil dalam waktu singkat. Sebuah daya kerja yang sebetulnya belum bisa ditandingi oleh kemajuan teknologi apa pun.

Kesulitan yang kita hadapi selama ini saat mencerna pelajaran, saat mencari solusi, saat menghafal suatu hafalan, bukan disebabkan oleh rendahnya daya kerja otak kita. Tapi lebih dilantarankan oleh faktor kebiasaan kita dalam menggunakan otak kita sendiri, serta perasaan pesimistis yang mempengaruhi faktor kita dalam menperlakukannya.

Lalu apa gunanya langkah menyadarkan diri kita bahwa sebetulnya kita memiliki potensi brilian dalam daya kerja otak kita? Tentu hal ini akan merubah mineset kita dalam menyikapi diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri tentu hal ini akan lebih menumbuhkan rasa optimisme diri bahwa kita dengan potensi itu sebetulnya memiliki peluang besar untuk meningkatkan kualitas daya nalar dan daya intelektual. Sementara penyikapan terhadap orang lain, akan tumbuhnya rasa perlakuan hormat, sebab mereka pada hakikatnya memiliki potensi yang sama seperti kita.

Kita yang selama ini tenggelam dalam perasaan rendah diri, yang larut dalam perasaan pesimisme diri sendiri, sudah saatnya untuk sadar akan potensi yang sesungguhnya dimiliki. Kita bisa bangkit lebih kuat, kita bisa tumbuh lebih besar, dari kondisi sebelumnya. Dengan kita menyadari akan potensi yang kita miliki.
Semoga bermanfaat.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Memilih Hijrah ke Pesantren Cibegol

Di pertengahan tahun 2002 perjalanan sekolah saya di Pesantren Persatuan Islam 84 Ciganitri harus mulai saya akhiri. Selain konsentrasi belajar yang sudah semakin kacau balau, kondisi ekonomi yang saya hadapi pun memang sudah tidak memungkinkan lagi. Dari sejak tsanawiyyah orang tua memang sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikan saya untuk sekolah di Pesantren Persis Ciganitri. Itulah mengapa baru menginjak kelas 2 saja saya awalnya harus berhenti sekolah. Namun waktu itu al-Ustadz UA. Saefuddin, yang kebetulan jadi nadhir asrama, dengan sigap mencarikan solusi agar saya tetap bisa bertahan di sana. Berkat bantuan kerja keras beliau lah saya pada akhirnya mendapatkan dana bantuan dari jama'ah pengajian beliau di PLN Bandung, hingga saya bisa menyelesaikan pendidikan jenjang tsanawiyyah di Ciganitri. Beres tsnawiyyah saya melanjutkan ke tingkat Mu'allimin di pesantren  yang sama. Saya tidak punya harapan atau pun bayangan lain selain menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas di sana. Namun taqdir berkata lain. Baru satu semester saya menikmati bangku Mu'allimien Ciganitri, dana bantuan berhenti. Saya harus mencari celah lain untuk bisa bertahan sampai kenaikan kelas tiba.

Seperti dikatakan di awal, saya tidak punya bayangan sedikit pun untuk bisa melanjutkan ke sekolah lain. Kondisi ekonomi orang tua yang sudah angkat tangan dari semenjak tsanawiyyah membuat pikiran saya mentok bila harus memikirkan kemana saya harus melanjutkan sekolah. Apa lagi bila nyatanya al-Ustadz UA Saefuddin yang dulu siap membantu saya pun kini mengalami hal serupa. Beban berat bagi saya untuk menghadapi kondisi semacam ini.

Tidak ada orang yang bisa saya ajak sharing waktu itu selain teman dekat. Meski kakak saya masih di Ciganitri, karena melanjutkan kuliahnya di STAIPI, rasanya tidak mungkin untuk membagi beban berat ini dengannya. Melihat beban hidup dia waktu itu yang lebih berat dari saya, tidak mungkin apabila harus ditambah lagi dengan memikirkan beban saya. Maka hanya kepada teman lah pilihan satu-satunya buat saya curahkan beban ini. Teman yang sangat dekat kala itu adalah Angga Hidayat (Hidayat apa Hidayatullah ya, saya lupa lagi nama kepanjangannya..hehe). Di Ciganitri Angga juga memiliki kakak yang sekolahnya hanya beda dua tingkat dengan kami. Angga beserta kaka perempuannya merupakan santri pindahan dari Cibegol, dan masuk ke Ciganitri kelas 1 Mu'allimien.

Pada akhirnya Angga mengajak main ke rumahnya di Soreang. Harapannya semoga saja dengan diobrolkannya beban saya ke orang tuanya bisa ditemukan solusi yang terbaik. Berangkat lah saya mengunjungi keluarganya. Singkat cerita, hasil dari obrolan yang cukup panjang bersama kedua orang tuanya itu, sekolah saya bisa dibantu oleh mereka, dengan syarat saya harus bekerja di rumahnya. Dan syarat lainnya adalah saya harus pindah sekolah ke Pesantren Persatuan Islam no 34 Cibegol. Pertimbangannya sendiri, selain biaya sekolah di Cibegol lebih murah, letak sekolahnya yang lebih dekat dari Soreang Kota akan lebih memungkinkan saya untuk sekolah sambil kerja.


Cibegol...!! Saya tidak punya bayangan bisa sekolah di sana, terlintas dalam pikiran pun sama sekali tidak pernah. Mitos yang beredar di dunia pesantren Persis, minimalnya yang tertanam dalam benak saya kala itu, Cibegol adalah sekolah ketat dengan mutu pendidikan yang tinggi. Hanya orang-orang cerdas yang bisa sekolah di sana. Saya banyak mendengar hal itu dari obrolan bersama banyak alumni Cibegol yang pindah ke Ciganitri. Dengan mempertimbangkan kapasitas kemampuan diri saya sendiri, maka suguhan pilihan untuk pindah ke Cibegol kala itu adalah pilihan berat. Sekolah selama empat tahun di Ciganitri, dengan jumlah santri yang tidak pernah lebih dari 30 orang saja,  saya tidak termasuk santri yang berprestasi, gimana nantinya jika di Cibegol coba? Namun apa boleh buat, pada akhirnya memang hanya pilihan itu yang bisa saya ambil untuk menyelamatkan dunia sekolah saya. Meski pada awalnya berat apabila harus berpisah dengan kawan-kawan yang sudah empat tahun hidup bersama, harus pisah juga dengan kekasih hati yang baru beberapa bulan menjalin hubungan, saya harus bisa membulatkan tekat memilih untuk hijrah dengan meninggalkan semua kenangan lama dan beradaptasi dengan lingkungan baru.  

Sabtu, 28 September 2013

Saya Ingin Sekolah (Pase Kesatu)

          No comments   
Ketika mulai belajar bicara, untuk menyebutkannya saja saya sendiri tidak bisa. Nama saya ribet, sulit,dan mungkin juga berat untuk hanya sekedar dilafalkan lidah. Setidaknya begitulah yang saya alami ketika disuruh untuk menyebutkannya pertama kali. Yang bisa diikuti hanya mengulang-ulang kata depannya saja. "Pu...Pung... Pu..Pung.. Pupung.!" hanya kata itu yang bisa saya lantunkan ketika dituntun untuk menyebutkan "Purnawarman". Dan kata Pupung nyatanya lebih populer jadi panggilan saya ketimbang nama Purnawarman. Dari mulai Ua, Emang, Bibi, sepupu, para tetangga, teman-teman sekolah, hingga para guru saya, lebih mengenal saya dengan nama Pupung. Apabila anda menanyakan saya di kampung saya dengan nama Purnawarman, kecil kemungkinan bagi anda untuk menemukan saya. 

Ilustrasi
Saya sendiri sebetulnya tidak familiar dengan nama itu. Pernah suatu hari, pas pertama kali saya masuk sekolah dasar, saya diabsen oleh guru (kalau tidak salah bu Ida namanya) tapi saya tidak ngacung-ngacung. Teman-teman yang lain pun malah saling lirik antar satu dengan lainnya penuh kebingungan. Hingga sempat beberapa kali diteriakkan, baru ngeuh saya mendengarnya kalau ternyata panggilan itu ditujukan ke saya, itu nama saya. Setelah mengacungkan jari telunjuk ke arah langit setinggi-tingginya, teman-teman saya bersorak soray kegirangan. Mereka semua ricuh berteriak cengengesan, "Itu mah si Pupung Bu Guru, bukan Purnawarman" begitu teriak mereka. Memang saya sering kali asing juga dengan nama sendiri, terutama disebabkan jarangnya nama itu saya pakai di kehidupan sehari-hari.

Meski demikian, apa boleh buat, nama saya yang asli pemberian dari orang tua adalah Purnawarman. Hanya Purnawarman. Tidak ada nama depan atau belakanya. Dan lewat nama itu lah saya pertama kali bisa menulis dan membaca huruf latin. Ibu saya mengajarkan cara menulis dan membaca ketika saya berumur empat tahun, ketika saya merengek tiap hari ingin sekolah seperti kakak saya.

Saya dan kakak, berikut kedua saudara sepupu saya (anaknya Ua), dihitan berbarengan. Jika kedua sepupu saya hitanannya dirayakan dengan acara meriah, karena mereka termasuk keluarga cukup berada, maka saya beserta kakak hanya cukup dimeriahkan dengan dibuatkan wajit raksasa yang tidak habis dimakan dalam sebulan. Waktu itu saya juga teramat gembira karena berkesempatan makan beberapa hari dengan daging kerewedan sebagai lauk pauknya. Daging kerewedan itu adalah daging domba tapi serpihan-serpihan paling alot di antara jenis daging yang lainnya. Gigi kita sangat sulit untuk mengunyahnya hingga lembut. Meski jenis daging itu yang jadi santapan istimewa di hari perayaan hitanan kami, hal itu tidak lantas mengurangi rasa bahagia kami. Karena saya sudah paham bahwa memang hanya itu makanan paling istimewa yang bisa orang tua saya berikan.

Ilustrasi
Tidak berapa lama dari kesembuhan hitanan kami, kakak saya ternyata langsung didaftarkan masuk sekolah dasar. Waktu mengetahui hal itu saya juga ingin sekali ikut sekolah. Tiap pagi datang dan kakak saya siap-siap berangkat sekolah, saya selalu nangis ingin ikut sekolah. Sampai akhirnya ayah saya terpaksa mendadak belanja baju seragam SD buat saya.  

Sambil memakai seragam putih merah dengan tas gendong warna merah yang mengkilat, karena terbuat dari bahan plastik, saya di rumah, tepatnya ruang tengah, secara tekun terus berusaha melukis gambar-gambar huruf yang ibu saya contohkan sebelumnya. Saya bisa tekun menghabiskan waktu menuliskan huruf-huruf nama saya karena kata ibu saya baru bisa masuk sekolah kalau sudah bisa membaca dan menulis tulisankan nama saya sendiri. Sementara baju seragam dan tas gendong itu tidak mau saya lepaskan sampai tiba waktunya kakak saya datang pulang dari sekolahnya. Saya sangat gembira apabila melihat kakak saya baru pulang, karena waktu itu adalah waktu paling berharga bagi saya untuk mencari informasi suasana sekolah yang sangat ingin saya ketahui. Saya akan terus bertanya sampai kakak saya bosan menjawabnya, dan saya balik dimarahi olehnya karena teramat jengkelnya mungkin.

Kondisi serupa itu terus berulang setiap harinya hingga saya sendiri tidak tahu kapan akhirnya saya bisa berhenti melakukan itu. Yang jelas pada masa-masa itulah saya menanyakan secara serius tentang latar belakang saya kenapa sampai diberi nama "Purnawarman". Terjadi kira-kira di tahun 1989 akhir.


Meringis Nangis dari Semenjak Bayi Untuk Kuat di Masa Dewasa

          No comments   
Mengenang kembali masa lalu di saat waktu hening, tengah merenung, mencari obat luka bekas goresan-goresan kenyataan yang berat untuk diterima, adalah salah satu bagian dari cara yang saya lalui untuk mempertimbangkan kembali kesimpulan pemaknaan terhadap kenyataan hidup, mau pun untuk mencari langkah yang selayaknya saya putuskan untuk dikerjakan kemudian.  Masa lalu bagi saya adalah coretan-coretan ilmu pasti yang sudah dibuktikan kebenarannya dalam rupa pengalaman. Maka sangatlah wajar apabila masa lalu itu sering kali saya jadikan sebagai salah satu bagian dari referensi untuk bahan pertimbangan.

Ketika rasa pesimis datang menghampiri, pikiran saya biasanya tengah terganggu oleh kenyataan hidup yang pahit. Oleh perbedaan dengan saudara-saudara sekandung saya, oleh perlakuan orang tua yang seringkali membedakan saya dengan mereka, oleh jalan hidup yang terlalu banyak warna melebihi garis kebiasaan hidup mereka, oleh... oleh... dan oleh... banyak hal lainnya yang seringkali tak sengaja datang bercucuran meracuni pikiran saya. Pikiran-pikiran itulah yang apabila tidak dicerna secara bijak, tatkala mengolah kesimpulan, biasanya menjadikan saya prustasi dan banyak menyalahkan orang lain.

Saya memang terlahir dengan kisah yang cukup berbeda bila dibandingkan dengan saudara-saudara kandung saya yang lain. Dari mulai masa detik-detik saya baru dilahirkan, masa ketika kedua orangtua saya harus memberikan keputusan penerapan nama bagi saya, masa perkembangan balita saya, hingga kisah-kisah yang saya lalui dengan penuh ingat dan kesadaran saya di kemudiannya.

Bukan ingin diketahui banyak orang tujuan utama saya menuliskan kisah hidup pribadi saya di blog ini. Saat menuliskan kisah ini saya masih dalam posisi manusia kecil yang kurang begitu memberikan pengaruh besar buat jalan kehidupan masyarakat mau pun keluarga besar saya. Ini hanya lah sebuah ikhtiar saya mendokumentasikan sejarah kehidupan pribadi agar tidak tergerus habis oleh sifat lupa seorang manusia. Andai pun di akhirnya menimbulkan manfaat buat yang membaca tulisan ini, maka tentu itu adalah nilai lebih yang tidak begitu jadi harapan hiperbola dari apa yang saya kerjakan.

Kisah Tentang Waktu Kelahiran dan Masa-masa Balita Saya

Memang saya lahir tidak dalam bentuk prematur, saya lahir dalam kondisi normal dan tanpa cesar. Waktu kelahiran saya, menurut ingatan ibu saya, adalah antara pukul 08-09 pagi. Karena tidak langsung dicatat waktunya maka patokan bagi ingatan ibu saya adalah dengan membandingkan waktu sekolahnya kakak perempuan tertua saya. Katanya saya lahir tidak begitu lama setelah kakak saya itu berangkat sekolah. "Ya kira-kira antara pukul 08 atau setengah sembilan pagi lah" begitu jawaban ibu saya ketika ditanya ketepatan waktu lahirnya saya. Harinya sendiri belum dapat saya pastikan apakah benar hari sabtu atau bukan. Di sini saya belum mencoba mencari kepastian dengan usaha menerapkan metode hisabnya ilmu falak yang mampu memutuskan waktu masa lalu secara pasti. Yang jelas tarikh penanggalannya adalah bertepatan dengan tanggal 01 bulan Januari tahun 1986.

Kisah tragis mulai terjadi beberapa bulan setelah masa kelahiran saya. Kira-kira baru menginjak umur dua atau tiga bulanan, menurut kabar dari ibu saya, tangan kanan saya pernah digigit oleh tikus ketika saya tengah tertidur pulas dan ditinggal keluar kamar olehnya. Tangan saya yang masih mungil dan unyu-unyu itu nyatanya terlihat sudah berlumuran darah ketika ibu saya hendak mengecek kondisi saya yang tidak terdengar apa-apa dalam waktu yang lumayan lama. 

Ibu saya menjerit histeris meminta tolong kepada ayah saya agar cepat menghampirinya dengan teriakan "Kang.. Akang.. cepat kesini... anak kita dipatuk ular...!". Kenapa kesimpulan ibu ketika melihat tangan saya berlumuran darah itu adalah akibat patukan ular? Nyatanya pandangan ibu saya pertama kalinya adalah bukan melihat tikus, melainkan kaget campur takut karena ular tengah diam melingkar di samping tempat saya terbaring tidur. Jenis ular sapi yang lumayan besar, sebesar pergelangan tangan orang dewasa, terlihat tengah melingkarkan tubuhnya dengan kepalanya memandang tajam ke arah tempat ibu saya berdiri. Tersentak kaget lalu timbul rasa keamanan hidupnya tengah terancam lah mungkin yang membuat si ulah itu malah cepat-cepat mengudarkan posisi lingkaran tubuhnya dan pergi ke bawah risbang dan menghilang, bukan tetap diam atau mendekat ke ibu saya.

Baru setelah ular itu dipastikan oleh ayah saya sudah tidak ada, ibu saya kemudian menggendong saya dan membawanya cepat-cepat ke luar kamar. Ayah saya kemudian mengobrak abrik isi kamar untuk memastikan sang ular benar-benar sudah tidak ada di wilayah kamar. Di waktu tengah mengobrak abrikan kamar itu lah ayah saya kemudian menemukan seekor tikus sudah mati dengan darah yang masih segar mengalir dari bagian tubuhnya akibat beberapa bekas cabikan gigi ular.

Hasil pemeriksaan dokter PUSKESMAS menyimpulkan bahwa luka di telapak tangan saya adalah bekas gigitan tikus, bukan ular. Pada akhirnya ternyata ular yang pada awalnya menjadi tersangka penjahat itu nyatanya justru adalah penyelamat saya. 

Meski luka bekas gigitan tikus itu langsung diobati, racunnya mungkin tidak bisa secara total diam di tubuh saya. Berbulan-bulan tubuh saya yang masih bayi itu kemudian sakit-sakitan terkena infeksi. Benjolan-benjolan semisal bisul menjalar di seluruh bagian kepala. Dan itu membuat rasa khawatir berat kian menjadi makanan sehari-hari yang menghantui ibu saya akan keberlangsungan nasib hidup saya.

Mungkin akibat banyak sakit-sakitanlah penyebab saya di kemudian harinya mengalami kelambatan dalam menjalani proses perkembangan hidup masa balita. Di umur dua tahun, yang dalam perkembangan anak-anak normal sudah mulai banyak belajar bicara, saya katanya malah belum melakukan itu sama sekali. Bahkan ibu saya sampai punya kecurigaan bahwa saya mengalami kebisuan.

Sebuah perjalanan hidup yang sangat tidak mudah memang. Namun perkembangan hidup masa bayi bukan hanya peran orang tua yang dominan menentukan. Allah sang Maha Pencipta sangat berperan besar dalam menentukan taqdir kehidupan di masa itu. Bagai mana si anak bisa berjuang untuk bertahan hidup sementara dianya sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melakukannya. Orang tua pun hanya bisa mengira dan menduga apa yang sedang dihadapi anaknya lewat tangisan dan senyum-tawanya saja.

Apa skenario yang akan terjadi di masa depan seorang anak yang dari awal masa hidupnya sudah mengalami kondisi sulit seberat itu? Orang tua tidak tahu menahu akan kepastiannya. Hanya do'a, harapan, dan usaha maksimal lah yang bisa mereka lakukan agar anak yang jadi harapan penerus hidupnya bisa bertahan dan tumbuh besar    ....Bersambung

Rabu, 19 Juni 2013

Antara Do'a dan Mantra (bagian 1)

     ,      No comments   

PENDAHULUAN

Ada cerita sedikit nih kawan-kawan. Suatu hari saya pernah diajak berbincang oleh seseorang yang sudah berumur menginjak tua. Dalam perbincangannya itu dia sedikit bercerita tentang pengalaman hidupnya. Kemudian sampailah ia pada titik dimana puncak emosional orang lanjut usia bermain. Ia memberi sedikit masukan kepada saya bahwasannya apabila saya menghadapi permasalahan hidup, seperti kesulitan jodoh, ekonomi, karir dan yang lainnya, bisalah saya menghubungi dia dan minta tolong padanya. Hal itu lantaran, menurut pengakuannya sendiri, dia adalah orang yang memiliki kelebihan ilmu dalam mengatasi persoalan itu. Gurunya yang sering dia tanyai, lanjutnya, sekarang usianya sudah seratus tahun lebih dan kehidupannya sangat shaleh. Dengan keshalehannya itulah sehingga do'a-doanya terkabul. Orang yang kena guna-guna bisa langsung sembuh, bahkan guna-gunanya bisa menyerang balik pada orang yang mengirimnya, dengan cukup mengambil tanah dari makam lalu diberi do'a oleh gurunya itu. Kelihatannya waktu itu dia habiskan untuk terus berusaha mencoba agar saya menjadi yakin akan kebenaran semua yang dikatakannya, sampai-sampai dia berulang-ulang memastikan saya bahwa ilmu yang dimilikinya itu bukan sihir, dia bukan dukun atau paranormal, sebab bacaan-bacaan yang dipakainya bukanlah jampe-jampe atau mantra melainkan adalah do'a-do'a yang diambil dari Al-Qur'an. Begitu isi singkat penjelasannya.

Setelah terlihat bahwa dia tengah menanti respon dari saya, saya pun kemudian mulai mengajaknya dialog. Sebagai pembukaan, saya mengajukan pertanyaan kepada beliau "Saya masih kurang paham sebenarnya apa yang membedakan antara do'a dan mantra/jampe-jampe pak, apakah bapak bisa menjelaskannya?". Mendapati pertanyaan semacam itu dia malah terlihat bingung. Raut muka dan tatapan matanya seakan melayang sejenak ke tempat lain. Mungkin ia tengah merenung sejenak, mencari cara bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu.

Setelah sedikit menunggu, dia kemudian menjawab: "Kalau masalah seperti itu sih tanyakan saja kepada orang yang sekolah dek, bukan ke saya, saya kan tidak pernah sekolah" jawabnya enteng. Saya kemudian menyusul jawabannya dengan sedikit mengingatkan kembali terhadap apa yang sudah dikatakannya. "Loh kok.. bukannya dari tadi bapak berusaha meyakinkan saya bahwa ilmu yang bapak miliki itu jalurnya adalah islam, bukan jalur setan, dengan alasan bacaan-bacaan yang dipakai bapak adalah do'a bukan mantra? kok bisa ya apa yang sama sekali tidak bapak pahami itu diyakini  dan dipastikan kebenarannya?" Tanggapannya kemudian malah tidak memecahkan permasalahan. Ia malah ngomong ke sana ke mari, ngelantur tak jelas arah. Dengan kelakuannya seperti itu saya menjadi yakin benar bahwa dia benar-benar tidak tahu perbedaan antara mantra dan do'a.

Semenjak dari kejadian itu dia terlihat seakan terus menghindari diri untuk masuk dalam dialog dengan saya, bahkan terlihat marah kepada saya yang sudah mengajukan pertanyaan, yang mungkin dirasanya telah memojokkan dirinya.

Kejadian itu terjadi kira-kira di pertengahan tahun 2012 kemarin. Dan saya menceritakan kembali kejadian itu hanya sebagai upaya penggambaran bahwa sebetulnya di luaran sana masih banyak orang yang belum paham betul perbedaan hakiki dari makna do'a dan mantra, sehingga banyak yang terjebak pada keadaan di mana keyakinannya mengatakan benar, sementara hakikat pastinya dia tengah terjerembab dalam kesalahan. Bahkan hal itu tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi agama islam saja, bahkan posisi jabatannya adalah sebagai dosen, kondisi itu masih menjerat mereka. Di  UIN Bandung, tempat saya dulu sempat belajar, tepatnya di Fakultas Dakwah jurusan Manajemen Dakwah, di sana ada mata kuliah "Epistimologi Do'a" dan jika dikaji secara teliti isi dari materi-materi yang dikupas dalam mata kuliah itu, justru seakan tidak ada perbedaan antara apa itu do'a dan apa itu mantra. Bahkan saya lebih cenderung menilai bahwa mata kuliah itu tidak layak dinamai "Epistimologi Do'a" tapi lebih cocoknya dinamai "Epistimologi Mantra", karena kajian yang diketengahkan selama perkuliahan berlangsung tidak sedikitpun menyentuh pokok-pokok rumusan do'a, malah tidak lebih dari upaya perasionalisasian aktivitas perdukunan semata. Upaya untuk menggali secara mendalam hakikat do'anya sendiri, jika pun tidak dikatan tidak ada, adalah sangat kurang sekali.

Kondisi-kondisi itu bisa terjadi, menurut kacamata pemahaman saya, jelas disebabkan oleh adanya kesimpangsiuran pemahaman yang masih mereka hadapi. Mereka mungkin sudah mengetahui bahwa di dalam ajaran Islam tidak ada mantra, bahkan Islam justru melarang keras penggunaan aktivitas itu. Namun untuk memahami secara benar perbedaan antara hakikat do'a yang diajarkan Islam dengan mantra yang dilarang oleh Islam, sepenuhnya belum bisa mereka pahami betul.

Meski saya insapi bahwa ilmu yang saya miliki untuk menjelaskan persoalan ini sangat jauh untuk dikatakan mapan, sehingga akan terbentur oleh banyaknya keterbatasan, namun melihat kondisi masyarakat semacam itu, saya merasa tertantang untuk mencoba mengetengahkan bahasan ini. Atas modal itulah lewat tulisan ini saya berusaha mengkaji persoalan ini.

Insya Allah bersambung.....

Sabtu, 01 Juni 2013

Ketika Ciri Hidup Adalah Gerakan

     ,      No comments   
Hari membuka matanya kembali
Malam temaram kini pergi perlahan hilang
Dan sepeda tua ini harus jua kukayuh kembali
Menembus putaran waktu
Mengenyam jarak lahan terbentang

Jika hidup ini berciri khas dengan geraknya,
Kinilah saatnya kuawali dan isi hidup itu dengan kehidupan, dengan gerakan
Dan cukupkan Allah Sang Maha Hidup menjadi saksinya
Dan kau, duhai sayangku,
Semoga kau menikmatinya....
 
Salam kehidupan
Salam berjuang...
***
 
Bandung, 23 February 2013

Ketika Cinta Tercitra Memaksa

     ,      No comments   
Adakah fikirmu sudah menyelam sedalam lautan
akan realita yang pernah kita alami
akan kejadian yang sempat kita hadapi
hingga kau temukan kilauan permata kesimpulan yang berharga?

Adakah fikirmu melambung tinggi ke angkasa makna?
tentang Apa sebetulnya yang pernah kulakukan?
Tentang apa yang pernah kuperbuat selain ucap?

Yang kurasa,
tak ada dalam niat dan gerak yang ada
dalam langkah dada dan ragaku
tergores makna wujud buat memaksa

Tapi entahlah apa yang kau lihat dan rasa
hingga kau kembali dan terus kembali menilai sebalinya

Bukan aku ingin mendapat penilaian baik di matamu
bukan pula ingin penilaianmu sama denganku
bukan pula rasaku berkata aku yang paling benar tentang semuanya
tentang asaku, niat dan tekat aku mencinta
tentang janjiku yang kini hanya bersisa setumpuk kotoran dosa yang tak tahu dengan apa kumembasuhnya
hanya kata maaf dan maaf yang baru bisa kubuat

Jika kesimpulan itu buah dari kedalaman logika mencerna
Dan jika pandangan itu buah dari ketinggian engkau melihatnya
Maka...
Maafkanlah aku yang tak bisa menggambarkan rasa cinta ini dengan sebenar-benar adanya
Maafkanlah aku yang selama ini sudah berwujud Sang Pemaksa di matamu
***

Bandung, 10 Januari 2013

Di Panyileukan Aku Tenggelam

          No comments   
Dalam senyapnya waktu yang bergulir di ujung senja
Tengadah mataku membidik luasan angkasa
Memar merah awan di sana
Hitam biru pucuk pegunungan di arah sebrangnya

Kini kusaksikan kembali mentari tenggelam
Sementara aku terdiam
Aku masih duduk termangu
Aku masih diam membatu
Di sini
Di tempat ini

Di Panyileukan aku tenggelam
Menyaksikan berulang-ulang mentari terbit-terbenam
***
Bandung, 2 Maret 2013

MISTERI DI BALIK EKSEKUSI AMROZI CS

          No comments   
Oleh: KH. Shiddiq Amien (Allahu yarham)

Kabar tentang akan dieksekusinya ketiga terpidana mati yang didakwa sebagai pelaku peledakan bom Bali satu , yakni: Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra, setelah cukup lama diberitakan dengan intens oleh banyak media massa, dan menyita perhatian sekaligus mengundang sejumlah tanya dalam benak masyarakat, terkait dengan lamanya proses eksekusi tersebut, dengan pengamanan yang super ketat, akhirnya terjawab sudah .  Ketiganya telah dieksekusi dengan cara ditembak oleh tim regu tembak dari Brimob Polri pada hari Sabtu (9/11-08) pukul 00.15 WIB  disaksikan oleh Jaksa, ulama dan tim dokter. Sebuah proses eksekusi yang terkesan kuat sengaja didramatisir untuk tujuan-tujuan politis.

Seperti sebelum proses eksekusi, pasca eksekusipun kasus ini telah memunculkan pro kontra di tengah masyarakat, di antaranya menyangkut status ketiganya. Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika –Muhammad Nuh-  melalui berbagai media menghimbau agar masyarakat tidak menyebut Amrozi Cs sebagai mujahid. Sementara KH. Kholil Ridwan, salah seorang Ketua MUI yang juga ketua BKSPP, punya  penilaian yang berbeda dengan petinggi MUI lainnya. Ia menilai bahwa Amrozi Cs adalah mujahid, sebab mereka berjuang melawan  regim  George Bush yang mengesahkan penjajahan terhadap Irak dan Afganistan, mereka bukan melawan pemerintah RI. Mereka akan mendapatkan pahala syahid, sedang teroris sejati adalah Bush. Demikian juga pandangan Dr. Joserizal Jurnalis yang sering terjun langsung ke medan jihad. Amrozi dkk adalah mujahid, sebab track record mereka adalah mujahid. Mereka telah berjuang di Afganistan, Ambon dan Poso. Merekalah orang-orang pertama yang membela kaum muslimin di Ambon ketika posisi kaum muslimin sedang terjepit. Begitu kata petinggi Mer-C tersebut.

Penilaian terhadap peristiwa Bom Bali I juga beragam di tengan masyarakat. Banyak pihak menilai itu sebagai aksi terror, bukan jihad. Sementara menurut Sekjen FUI,  KH. M. Al-Khaththath,  seperti dikutip situs swaramuslim.com (13/11) memandang persoalan ini sebagai khilafiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan dalam penentuan hukum antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya. Sebab dalam Islam ada dua jenis perang, yakni perang ofensif (hujumiyyah) dan defensive (difa’iyah). Ofensif berdasarkan perintah Imam/AmirulMukminin/Khalifah. Sedangkan defensive tidak menunggu adanya perintah amir. Dalam perang ofensif, wilayah perang dan sasaran jihad ditentukan oleh Amirul Jihad, sedangkan dalam perang defensive sasaran sesuai dengan keberadaan musuh yang menyerang (aggressor). Oleh karena itu, penilaian hukum ulama yang satu tidak menegasikan (meniadakan) penilaian hukum ulama yang lain. Konsekwensinya adalah tidak bisa dilarang kalau ada ulama/kaum muslimin yang menganggap ketiganya sebagai mujahid, apalagi ketiganya pernah secara riil berjihad membela kaum muslimin dalam jihad di Afganistan, Ambon dan Poso.

Sudah menjadi berita yang akrab di mata dan telinga dunia, Barat (terutama Inggris dan Amerika) mempelpori perang terhadap terorisme. Perang terhadap terorisme menjadi ''megaproyek'' luar negeri keduanya. Keduanya menjadi negara garda depan yang paling rajin menyapu bersih apa saja yang berbau aksi terorisme. Serangan terhadap Afghanistan disusul Irak adalah dalam kerangka perang melawan terorisme. Konyolnya, aksi perang terhadap terorisme yang telah melumatkan banyak nyawa dan merusak berbagai kawasan, ternyata belum memiliki definisi yang disepakati secara universal: jelas dan objektif. Jelas, berarti dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat dunia. Objektif, berarti dipahami secara relatif sama oleh masyarakat dunia. Istilah terorisme sampai saat ini belum didefinisikan secara baku menjadi definisi yang dikamuskan secara yudisial. Ironisnya, usaha membuat satu kesepakatan definisi terorisme yang bisa menjadi salah satu butir deklarasi sidang umum PBB 14-15 September 2005 begitu alot. Para diplomat yang tergabung dalam tim perumus isu terorisme tetap kesulitan menentukan definisi. Belum adanya definisi terorisme yang disepakati, menjadikan terorisme sebagai kata yang sangat terbuka untuk dimaknai atas dasar kepentingan siapa yang memberi makna. Meskipun tindakan menyebut, mengutuk, dan memerangi terorisme sudah begitu jauh dan lama berlangsung.

Jurgensmeyer dalam bukunya  "Terror in the Mind of God, The Global Rise of Religious Violence" menjelaskan bahwa batas antara teroris dengan bukan teroris sangatlah tipis, tergantung siapa yang memberikan penilaian. Seseorang atau sekelompok orang oleh penguasa dianggap sebagai teroris, tapi oleh masyarakat dan pendukungnya dianggap sebagai mujahid, pejuang dan pahlawan.  AS selalu menuduh bahwa Al-Qaeda, Hammas, Pejuang Irak, dsb sebagai teroris. Tapi kalau kita tanya  rakyat Palestina  siapakah teroris itu ? Pasti jawabannya: Israel.  Jika kita tanya rakyat Irak dan Afganistan, siapakah teroris itu ? Jawabannya: pasti AS dan Sekutunya. Tapi karena media massa terkemuka baik nasional maupun internasional mayoritas dikuasai Yahudi dan Kristen, maka sekarang ini stigma atau tuduhan Teroris itu sepertinya identik dengan Islam. Bahkan bisa dikatakan dewasa ini sedang terjadi perang menggempur Islam dengan selubung dan dalih terorisme.

Seperti dikatakan oleh Prof. Richard Bulliet dari University of Columbia: “We at some point are going to reach a threshold where people no longer need evidence to believe in a generic terrorist threat, from religious muslim fanatics“. (Orang AS suatu ketika akan percaya dan meyakini tanpa perlu bukti apapun, bahwa ancaman teroris selalu datang dari orang muslim fanatik.). Apa yang dikatakan oleh Prof. Richard tersebut sekarang sudah jadi kenyataan, ketika terjadi aksi teror, telunjuk orang selalu dialamatkan kepada Islam atau gerakan Islam.

Pasca peristiwa 11 September 2001, stigma teroris berbalik 180 derajat, War Against Terrorism bergeser menjadi War Against Islam. Selain Afganistan dan Irak, Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim juga dibidik sebagai sarang teroris, sarangnya Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyyah (JI). Bantahan yang dikemukakan oleh banyak pihak, bahwa Indonesia bukanlah sarang teroris seakan dijawab  dengan  rentetan Bom di Indonesia mulai dari Bom Bali I (12 Oktober 2002), Bom Marriott (5 Agustus 2003), Bom Kedubes Australia (9 September 2004) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005. Diakui atau tidak, sebagian pelakunya adalah aktifis masjid, guru ngaji, alumni pesantren, dengan argumen dalam rangka  jihad. Sehingga kata “Jihad” kemudian banyak digugat, bahkan banyak yang kemudian menjadi  alergi menyebut dan mendengarnya. Buku-buku tentang jihad-pun diteliti ulang. Bahkan ada petinggi BIN yang waktu itu mengusulkan agar buku-buku karya: Sayyid Qutub, Muhammad Qutub, Hassan Al-Banna, dsb supaya dilarang.  Usulan agar manhaj pesantren dirubah juga cukup kencang. Santri pun mau disidik jari. Departemen Agama pun membentuk “Tim Penanggulangan Teroris“ yang bertugas menasehati para teroris, atau calon teroris.

Dalam beberapa kasus terror bom di Indonesia, sebenarnya sampai saat ini masih menyisakan misteri, khususnya menyangkut dalang atau Grand Master Mind-nya. Dalam kasus Bom Bali I misalnya, yang dalam 5 mikro detik telah menewaskan 200 orang lebih, 300-an luka-luka, menghancurkan 47 bangunan, puluhan mobil dan motor hangus, dengan getaran terasa sampai jarak 12 km, menurut Joe Vialls, investigator bom independent dan analis inteligen Australia dalam situsnya www.thetruthseeker.co.uk dalam tiga artikel berjudul : Bali Micro Nuke Burried By Western Media; Bali Micro Nuke-Lack of Radiation Confuses Expert; dan Micro Nuke Used in Bali “Terrorist” lookalike Attack, menegaskan  bahwa Bom Bali I bukanlah bom NTN apalagi Potasium Klorat (karbit), melainkan Micro Nuklir SADM (Special Atomic Demolition Munition). Di dunia ini yang punya bom seperti itu baru : AS, Inggris, Prancis, Rusia dan Zionis Israel. Sehingga wajar jika banyak pihak yang menduga, bahwa rencana Amrozi Cs itu sudah “dikawal” pihak tertentu, sehingga pada saat bom karbit mereka meledak, ada bom nuklir yang diledakkan dalam waktu dan tempat yang bersamaan, dan kesalahan ditimpakan semuanya kepada mereka.  Wajar pula jika sejak lama banyak pihak yang mengusulkan agar pihak kepolisian membuktikan kemampuan Amrozi Cs dalam merakit bom bahsyat itu dengan melakukan rekontruksi di sebuah pulau kosong. Jika terbukti bom rakitan mereka sama dahsyat dengan bom Bali I, berarti benarlah mereka sebagai pelakunya. Sayang usulan tersebut menghilang bak ditelan bumi. Bahkan pernah ada yang mengusulkan, meski usulan ini terkesan lucu, bahwa jika memang Amrozi Cs memiliki kemampuan merakit bom dahsyat seperti Bom Bali I dan Bom Kuningan, bagusnya sebelum mereka dieksekusi, mereka dijadikan sebagai asisten pelatih di pabrik senjata Pindad Bandung, agar Republik ini menjadi negara yang disegani, karena memiliki kemampuan membuat bom dahsyat tersebut. Kini, semua usulan tersebut telah terkubur, bersamaan dengan telah dikuburkannya mereka.  Wallahu’alam bis-showwab.

================
Tulisan ini saya copy dari : Blog Referensi Persis

Semoga bermanfaat..!

Jumat, 31 Mei 2013

Ada Apa dengan Manusia?

          No comments   
Ketika malam menepati janjinya
akan datang dikala mentari terbenam
akan pergi di tiap kali fajar kembali

Ketika air menepati janjinya
akan mendidih dikala panas menerpa
akan beku di saat dingin merayu syahdu

Di saat aku bersama mereka
Ketika hidupku dikelilingi mereka
Ujaran janjinya
semua menjadi nyata
semua menjadi pasti
semua ujarannya terbukti

Di saat manusia bersama mereka,
Tak henti-hentinya mereka menebar sifat pasti
Hingga manusia menjadi pintar ilmu astronomi, 

pintar ilmu matematika, fisika, kimia, dan ilmu pasti lainnya

Namun Entah Mengapa..

Ketika manusia bergaul dengan manusia lainnya,
Ilmu yang lahir bukanlah ilmu pasti
yang banyak lahir adalah ilmu Apologi
yang lahir adalah ilmu retorika dusta,


Yang berkembang dari pergaulan bersama mereka adalah hasrat kekuasaan,
Seakan kebohongan adalah magnet kesucian
yang ujung positif untuk berjaga diri

dan ujung negatif buat mengelabui

Ada apa dengan manusia??

Kurindukan Ashabul Kahfi

          No comments   
Kuingin masuki goa dan bermalam dalam naungan suci para Ashabul Kahfi
Biar di sana kutemukan ketenangan, keteduhan, keteguhan.
Kuingin kelilingi tepian pantai dalam jabatan tangan Hidir sang mu'alim,
Biar kuraba teka-teki dunia dalam penuh tanda tanya,
Biar kusapa mereka dengan suka cita para pengembara

Di goa sana...
Biar kulabuhkan pandangan, curahkan renungan, serap hikmah penghayatan.
Dindingnya berlumut basah kuyup, lembab, sejuk.
Baunya khas kemurnian alami batu, tanah, pasir dan kerikil.
Bersama kelelawar hitam aku berbincang.
Bersama semut-semut kecil bersemangat besar kita berujar perjuangan.

Duhai kawan..
Andai saja goa itu telah penuh sesak oleh kawan-kawan lainnya,
Biar saja lawang pintu itu jadi tempat buat aku duduk  bersandar
Biar saja kujadi anjing penjaga setia kalian semua
Tak mengapa...
Asalkan aku bersama kalian
Karena aku tak kuasa menahan gelora rindu dekap persahabatanmu

Di Pantai, Kurunuti Musa dan Khidir

          No comments   
Di ujung mata memandang
Dari pantai tempat berdiriku bersemedi
Kala mentari menyengat keringat, menyangrai pasir pesisir
Langit tampak menyatu bersama bumi
Garis lintang cakra buana tak kujumpa di sana
air laut, awan gemawan, semua biru tak berdebu.

Sayang, sapa itu membuyarkan
Teriak sang teman itu memecah ombak berarak
Mengajak aku bercengkrama dalam buliran pasir yang terbasahkan ombak lelah menumpah

Di tempat seperti ini kudengar kabar menakjubkan
Tentang sejarah perjalanan para pencari kebenaran
Tentang dua sosok manusia pembesar agama.

Akankah telapak kaki yang tengah mengukir pasir ini akan seperti kisah mereka?
Kutanyakan itu pada asa yang tersisa
Kutanyakan itu pada hati yang merasa
Kutanyakan itu pada langkah yang melangkah

Renungan Bimbang

          No comments   
Kerap kubertanya pada kenangan yang sempat kulukiskan
Kerap kubertanya pada asa yang melintas dalam bayang-bayang masa depan

Tentang eksistensi diri yang sedikit punya arti
Tentang waktu yang tak jua kuisi dengan makna yang berguna
Akankah lebih baik aku diam bisu tak berkata?
Akankah lebih baik aku diam kaku tak bergerak?
Ataukah aku berteriak saja bersama halilintar dan petir?
Ataukah aku berlari saja bersama derasan angin yang mendorong hujan?
 
Dalam sela waktu sepi menanti jawaban pasti,
Dari semak belukar pertanyaan,
masa silam itu kini bersaksi, berujar:
Aku adalah sejarah yang berguna bila kau ambil hikmahnya
Aku hanyalah masa lalu yang memberatkan jika kau hiasi ratapan
Sudahlah... tak usah kau berglimang duka kala menatapnya
sudahlah... tak usah tatapku penuh pesona seperti itu
Aku padamu penuh coretan hitam, putih, dan warna-warna cerah lainnya
Biarkan aku menampung bekas jejak langkahmu dalam ceruk-ceruk sejarah baru
Berangkatlah, bergeraklah, berkaryalah...
Suguhi aku kisah berwarna bolu rainbow dan kopi susu sekhas karyamu...
 
 
Dari samudera asa dan logika
Bandung, 19 Mei 2013 

Resah

          No comments   
Di dunia maya aku berdiam menunggu kabar
Tentang hidupmu hari ini
Tentang pemikiran, perasaan, dan obrolan
Tentang senyuman yang selalu kau taburkan

Berkali-kali dalam sehari
Bertubi-tubi aku hampiri
Hanya sekedar ingin kuobati rasa penasaran ini
Biar rasa kerinduan bisa kuuraikan

Nyatanya...
Alamatmu hanya menyisakan dinding-dinding kosong
Kotak suratmu seakan mulai berkarat tanpa isi, tanpa pesan
Rumah mayamu seakan tak bertuan..

" Sayang, harus ke mana kucari kabar...??"


Dalam senyap kota Bandung, 19 Mei 2013

Biarkan Cintamu Mengudara

          No comments   
Cinta bukanlah sekedar rasa dan perasaan yang disandang oleh segumpal hati kecil dalam rongga tubuh manusia. Dalam cinta tersimpan kekuatan yang tak terkira besarnya. Ia mampu merubah manusia lemah menjadi kuat. Ia mampu merubah manusia putus asa kembali punya harapan dan bergairah menjalani kehidupan. Ia mampu merubah manusia keras menjadi lunak dan penyayang. Ia mampu merubah manusia tertutup menjadi terbuka dan berbagi. Ia mampu merubah si pemalas menjadi rajin, si penakut menjadi pemberani, si pendiam menjadi bawel, si pesimis menjadi optimis. Bahkan lebih dari itu semua, cinta mampu menggerakan manusia hingga melampaui ambang batas kekuatan manusia pada biasanya. Hingga sesuatu yang dipandangnya tidak mungkin, hanya dengan cinta, manusia mampu bergerak mencoba dan berusaha keras mewujudkannya.

Manusia yang cinta akan keselamatan jiwanya, ia mampu berlari kencang untuk menghindari serangan hewan buas, meski awalnya dia bukanlah atlit lari cepat. Manusia yang memiliki rasa cinta akan sanggup membulatkan keberaniannya hingga nyawanya sekali pun akan sanggup ia korbankan demi menjaga yang dicintainya, meski pada awalnya dia bukanlah sang pemberani. Dengan dorongan cinta, Syah Jehan mampu membangun gedung indah TAJMAHAL sebagai prasasti cinta pada istrinya (Mumtaz Mahal). Dengan cinta akan harta dan kedudukan, seorang Fir'aun berani membangun piramida untuk menjaga harta dan jasadnya, dan berani membunuh siapapun yang akan menggulingkan tahtanya.

Dengan besaran kekuatan yang dimilikinya, tak mungkin seorang manusia yang tubuhnya tersusun atas rongga-rongga yang lemah itu mampu menahan cinta untuk terus terdiam di dalam hati saja. Sangatlah berat bila hati seorang diri saja yang menopang kekuatan besar dari eksistensi The Fower of Love itu. Dan tidak bisa disangsikan lagi, manusia akan lemah tak berdaya, manusia akan hancur lebur dalam ketidak-berartian di kala mereka memendam rasa cinta cukup dalam hatinya.

Cinta akan mewujudkan kebesarannya dan menguatkan si pemiliknya di kala ia terbang bebas mengudara menghinggapi setiap pori kehidupan ini, menyapa setiap elemen kehidupan ini, dan menabur bebas laksana butiran embun membasahi setiap makhluk yang ada di sekitarnya. Biarkanlah cintamu bebas lepas menyapa sahabat dekatmu, istri dan anakmu, pasangan hidupmu, hewan peliharaanmu, tumbuhan pertanianmu, pekerjaan sehari-harimu. Biarkan cintamu mengalir warnai dunia ini hingga alam di sekelilingmu berubah menjadi begitu elok dan penuh keindahan. Biarkan cintamu kembali membentuk guratan senyuman yang melaburi bibir manis mereka semua.

Kamis, 30 Mei 2013

JEJAK (Melihat Kebutuhan Administrasi dari Sudut Realita dan Agama) Bagian II


Ketika mulai berkiprah di dunia kerja dan masuk ke sebuah perusahaan yang di dalamnya terdapat banyak pekerja, sementara situasi manajemen perusahaannya sendiri masih belum tertata rapi, pada awalnya kebingungan itu menyeruak, kekesalan demi kekesalan banyak kuderita, dan putus asa pun kian menerpa, terlebih apabila usaha demi usaha yang kita coba masih belum bisa untuk mengatasinya. Namun ternyata di balik semua itu saya mulai menemukan secercah cahaya yang menerobos bebas lewat celah-celah kecil menuju ruang gelap yang kurang tersapa sinar. Di sana saya menemukan cahaya mutiara ilmu yang tak ternilai harganya. 


Ilmu manajemen untuk kita kaji di bangku perguruan tinggi saja mungkin mudah, apalagi bila kajiannya terbatas pata teori-teori yang ada semata. Namun untuk menerapkannya dilapangan sungguhlah membutuhkan ketajaman analisa dan kesabaran dalam mencoba. Lapangan pekerjaan yang satu dengan lapangan lainnya kita insafi benar membutuhkan manajemen untuk menatanya. Namun pola manajemen apa dan cara penerapannya bagaimana, tentu hal itu mesti disesuaikan dengan lapangan yang tengah kita kelola. Sebab suatu metode manajemen yang cocok diterapkan di suatu tempat bisa jadi malah tidak cocok bila diterapkan pada situasi dan tempat yang lainnya. Di sanalah manajemen membutuhkan ahli seni yang mampu pleksibel dan bermain cantik dalam mempergunakannya. 

Suatu hari saya terkena tamparan yang sangat menyakitkan, berupa tuduhan menyalahkan yang sebetulnya tidak ada kaitannya langsung dengan pekerjaan pokok yang saya pegang. Berulang kali saya kaji kembali hal-hal apa yang telah saya lakukan selama mengerjakan pekerjaan itu, hasilnya selalu saya rasa tidak ada kekeliruan di sana. Namun posisi saya tetap saja jadi terdakwa. 

Pada perjalanan berikutnya tentu bukan langkah balas dendam yang harus saya lakukan, sebab langkah semisal itu hanyalah langkah sia-sia yang tidak ada faidahnya sama sekali buat masa depan karir dan keilmuan. Langkah yang harus saya tempuh berikutnya adalah bagaimana menemukan akar pokok permasalahan yang menyebabkan kejadian semacam itu bisa terjadi, sehingga di kemudian hari persoalan semacam itu tidak akan terulang kembali. 

Nyatanya, selidik punya selidik, ada sebuah kondisi yang menimpa atasan saya. Dia dimarahi bos besar lantaran terjadi kerugian yang tak terkira besarnya. Maklum kondisi manajemen dan administrasi perusahannya belum tertata rapi, untuk mengkaji sebab-sebab permasalah itu bisa terjadi tentulah sangat sulit. Jangankan untuk menelusuri kesalahan yang telah dilakukan seminggu yang lalu, mencari data kualitas kinerja kerja para pegawai hari kemarin saja pasti akan mengalami kesulitan, jika kondisi perusahanannya itu sendiri tidak menerapkan sistem hirarki kerja yang rapi dan sistem administrasi yang bisa dijalankan dengan mudah oleh setiap lini perusahaan. 

Wal hasil, jika situasi perusahaan tidak memiliki rekam jejak mengenai perjalanan kerja yang telah berlangsung dari waktu kewaktu maka tentu dia tidak memiliki jejak data buat dipelajari, tidak memiliki bahan yang bisa dijadikan bahan kajian, baik untuk kontrol kualitas kemajuan maupun kemunduran yang dialaminya. Pada akhirnya, situasi semacam itu tidak menutup kemungkinan, jika suatu hari terjadi kemerosotan, siapapun bisa ikut disalahkan, termasuk orang yang tidak punya salah sekali pun. 

Agar kita bisa menelusuri dan mengkaji masa lalu yang mebuahkan sebuah hasil seperti sekarang ini, maka tahapan demi tahapan yang dilalui haruslah kita rekam, kita abadikan, sebab dengan cara itulah data pada masa pemrosesan itu bisa ada dan bisa kita jadikan bahan kajian di masa berikutnya. 

Dari kejadian sederhana itulah saya mengambil hikmah besar kenapa Allah tidak mempergunakan kekuasaan "kun fayakun"-Nya dalam menciptakan alam semesta ini, tapi lebih memilih untuk melewati proses-proses yang bertahap. Tentu mengambil langkah itu bukan untuk dijadikan jejak proses itu sebagai bahan analisa buat diri-Nya di kemudian hari, tapi lebih kepada bentuk refleksi dari sifat ke-Maha Rahman dan Rahieman-Nya Dia kepada manusia, agar mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi makhluk yang mampu mengambil ilmu dari proses-proses itu dan mempergunakannya saat mereka menjadi pemimpin (Khalifah) di kehidupan dunia ini. 

Maka dari sini saya meyimpulkan antara pertanyaan saya sewaktu kecil dengan jawaban dari ayah saya itu cukup tersirat dalam kata "JEJAK"... hehe

Wallahu a'lam bish-shawab

JEJAK (Melihat Kebutuhan Administrasi dari Sudut Realita dan Agama) Bagian I

     , ,      No comments   
Anak kecil seorang manusia berbeda dengan hewan kecil peliharaan kita. Anak manusia adalah manusia itu sendiri. Mereka, meski tubuhnya mungil dan lemah, meski wawasan bahasa dan pengalamannya pun masih terbatas, dalam dirinya terdapat potensi, terdapat modal kekuatan, untuk menjadi manusia besar yang potensi itu sebetulnya sudah bekerja sejak dini. Akal pemikirannya sudah banyak mempertanyakan persoalan-persoalan besar tentang kehidupan ini, tentang alam raya ini, bahkan tentang sosok pembuat semua yang ada di dunia ini. Bahkan mungkin saja mereka suka mempertanyakan hal-hal besar yang oleh manusia dewasa sudah dikesampingkan dan dipandang tidak perlu lagi dicari jawabannya. 

Setidaknya itulah buah pengalaman sendiri, yang saya alami sendiri, di masa kecil dulu. Walau pun banyak pertanyaan yang terlintas itu harus berhenti dalam batas-batas simbol tanda tanya yang tidak terurai jawaban pastinya, pertanyaan demi pertanyaan seakan tak bosan-bosannya muncul dalam perputaran pikiran dunia kecilku. Terlebih di kala ilmu bacaku mulai aku gunakan, meski terbata-bata, buat mencerna sederet tulisan-tulisan dalam buku maupun kitab suci. Pertanyaan besar kian datang banyak bermunculan, namun sedikit sekali yang mampu memberi jawaban yang memuaskan, hingga mau tidak mau pertanyaan-pertanyaan itu harus aku alihkan ke tempat persinggahan diamnya dalam kondisi masih utuh segar terbungkus simbol tanda tanya... 

Contoh kecilnya saja adalah pertanyaan "Kalau Allah itu maha kuasa hingga cukup dengan mengatakan 'jadilah..!!' sesuatu yang dikehendaki-Nya pun langsung jadi, lalu kenapa Ia pada kenyataannya membuat bumi dan alam raya ini membutuhkan waktu hingga 6 hari?". Begitulah kira-kira isi pertanyaan membingungkan di masa kecilku itu. Dan jawaban yang ditemukan dari orang tua dan guru-guru, selaku sumber pokok referensiku kala itu, seringkali sulit buat aku cerna. Perkataan dan pernyataan mereka sering kali memakai istilah yang abstrak buat difahami oleh aku kecil yang wawasan pemahaman terhadap bahasa manusia dewasa semisal mereka masih sangatlah terbatas. Bagai mana tidak, untuk mencerna dan memahami sebaris jawaban yang diberikan oleh ayahku saja aku butuh puluhan, atau bahkan belasan tahun untuk hidup dulu di muka bumi ini. 

Untuk menjawab pertanyaan dariku, ayahku bilang "itu adalah bentuk kecil dari sifat ke-maha rahman dan rahiem-an Allah". Dan untuk memahami sebaris jawaban itu aku butuh waktu hidup belasan tahun kemudian. 
 
Namun jawaban dari ayahku itu sebetulnya masih mendingan bila dibanding dengan jawaban yang aku berikan kepada anak didikku sekarang. Sebab buah pemahaman dari hasilku berfikir dan mencari penjelasan berpuluh-puluh tahun lamanya itu salah-satunya aku coba bungkus dalam satu kata saja, yakni kata "JEJAK". Anda bisa bayangkan bagaimana bingungnya anak didikku waktu ini untuk memahami kaitannya pertanyaan itu dengan kata "jejak" yang aku jadikan sebagai jawabannya. Tentu saja ini bukan dilandasi oleh sikap luapan balas dendam. Sebab di sisi lain saya sudah mencoba memberikan penjabaran semampu yang saya bisa dan saya anggap bisa menjadi jembatan buat mereka melangkah untuk memahaminya lebih lanjut. 

Dan dibalik itu semua sebetulnya tersimpan harapan besar. Harapan semoga mereka terus menyimpan rasa penasaran besar hingga dewasa nanti mereka tetap menjadi manusia yang seterusnya suka berfikir, bertanya, dan mencari jawabannya. BERSAMBUNG....

Rabu, 29 Mei 2013

Langkah Nur Falah

          No comments   
Di pagi itu... 
Bersama rintik hujan kau tetap berjalan
Di sela liku-liku pematang persawahan 

Dengan tanah yang basah kau tetap melangkah 
Bersama tas gendong warna hitam 
Dengan sepatu sport yang mulai usang 

 Semangatmu tak pernah pudar 
Meski alam seakan merintang 
Meski lelah kian menjalar 

Hari-harimu adalah perjuangan torehkan garis-garis pembuktian 
Tentang asa dan cita yang kau ukir hingga menjadi realita 

Langkahmu pagi ini adalah seberkas harapan yang terbentang 
Dan aku, waktu, beserta detak jantungmu, kini menjadi saksi 
Akan kesabaran engkau berikhtiar 
Akan kebesaran engkau punya harapan 
Akan kekuatan tekat yang engkau genggam 

Selamat jalan sayang... 
Insya Allah do'aku kan selalu terujar

#Bandung, 12 Juli 2012

Jumat, 01 Februari 2013

Kaku

     No comments   
Kini aku semaki kaku menghadapimu, bukan karena groggy atau nervous, tapi lebih pada pertimbangan layak atau tidaknya, boleh atau tidak bolehnya aku bertindak sesuatu hal terhadapmu. Ketetapanmu membatasi diri untuk berkomunikasi denganku lewat sms ataupun chating, telah menjadi pertimbangan besarku untuk ya atau tidaknya melakukan komunikasi di saat kita berjuma. Serba salah kini aku rasakan setiap kali bertemu denganmu. Padahal hati ini meronta, ingin sekali rasanya aku bertegur sapa denganmu. Ingin sekali rasanya aku berbagi rasa, berbagi pengalaman dan berbagi persoalan-persoalan yang kita hadapi di kehdupan dunia kita seharian tadi yang pastinya berbeda. Aku inginnya kau menjadi teman dekat yang bisa mendengar dan berbagi bersama. Teman hidup yang bisa saling memberi motivasi dan nasihat kesabaran dan keteduhan. Namun entah kapan hal itu bisa terwujudkan. Perasaan itu mungkin harus bisa kudiamkan saja dalam hati sepanjang memang hal itu tak bisa kulabuhkan sepenuhnya padamu yang kini tengah membatasiku.

Dalam keyakinanku akan kau yang terbaik bagiku, aku kini hanya bisa berharap kau bisa memahami akan hal apa yang sedang kuderita.

Maaf bila tadi malam aku tidak menyapamu, tidak berkata apa-apa dihadapmu!

Bandung 28 januari 2013 22:16

IBN KHALDUN: Hukum dan Pendidikan Bisa Melemahkan Kekuatan Jiwa Keagamaan Seseorang

  • Saya sangat terkejut tatkala membaca sebuah tema pembahasan yang diangkat dalam bukunya Ibn Khaldun terkait orang-orang Badui (Bab Kedua), terutama di bagian poin bahasan yang ke-6. Dalam poin pembahasan itu Ibn Khaldun memberi tema pembahasannya dengan judul "Kepercayaan Penduduk Tetap Terhadap Hukum Merusak Keteguhan Jiwa dan Kemampuan Mengadakan Perlawanan yang Ada pada Diri Mereka". Berikut kutipan langsung dari isi pembahasan poin tersebut:

    "Tak seorang pun menguasai urusan-urusan pribadinya. Para pemimpin dan amir yang menguasai urusan manusia sedikit dibandingkan dengan yang lain-lainnya. Biasanya, dan bahkan seharusnya, manusia itu berada di bawah kekuasaan lainnya. Apabila kekuasaan itu ramah-tamah dan adil, dan orang-orang yang ada di bawahnya tidak merasa tertekan oleh hukum dan pembatasan, mereka akan terpimpin oleh keberanian yang ada dalam diri mereka. Mereka puas dengan tidak adanya kekuatan apa pun yang membatasi. Kepercayaan dri, menjadi suatu sifat bagi mereka. Mereka tidak kenal yang lain-lainnya."

    "Dan apabila kekuasaan dengan hukum-hukumnya merupakan suatu kekuatan yang dipaksakan dan intimidasi, maka kekuasaan itu akan merusak kepecayaan dan menghilangkan kemampuan bertahan yang ada dalam diri sebagai akibat dari kemalasan yang ada dalam jiwa yang tertekan, seperti yang telah kita terangkan. Hal seperti ini pernah dialami Zuhrah dalam perang Qadisyah. Ketika itu Umar melarang Sa'ad --Semoga Allah meridhai mereka-- untuk bertindak keras. Zuhrah waktu itu mengambil harta rampasan yang harganya tujuh puluh lima ribu dinar emas, dari Galinus, setelah sebelumnya ia kerja dan dia bunuh dalam Perang Qadisiyah. Sa'ad mengambil harta rampasan itu dari tangan Zuhrah, seraya berkata: 'Kau tidak menunggu komando dariku?' Langsung setelah itu dia menulis surat kepada Umar, meminta izin untuk mengambil rampasan tersebut. Dari Umar dia menerima surat: 'Engkau juga bertindak seperti Zuhrah. Dia mendapat tindakan keras. Kini tinggallah perang yang masih berkecamuk, sedangkan kau hancurkan hikmahnya dan kau rusak hatinya.' Dan ,Umar pun memberikan rampasan tersebut kepada Zuhrah."

    "Dan apabila hukum-hukum itu dipaksakan bersama penyiksaan-penyiksaan, maka ia akan menghapus keteguhan jiwa itu sama sekali. Sebab penyiksaan yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak dapat empertahankan diri, dia akan merasa dihina, dan tak dapat diragukan lagi keteguhan jiwanya akan hancur."

    "Dan apabila hukum tu dilaksanakan menurut tujuan pendidikan dan pengajaran, dan diterapkan sejak kecil, lambat laun akan timbul beberapa effek yang sama, sebab orang itu tumbuh dan berkembang dalam ketakutan, tunduk dan patuh, dan tentu dia tidak akan percaya kepada keteguhan jiwanya."

    "Oleh karena itulah, kita dapatkan orang Badui Arab liar lebih teguh jiwanya dibandingkan dengan orang yang diatur oleh hukum-hukum. Dan kita dapatkan pula orang yang patuh kepada hukum dan kekuasaannya dari setiap permulaan pendidikan dan pengajaran, di dalam masalah keahlian, ilmu pengetahuan dan agama, keteguhan jiwanya banyak yang rusak. Mereka pun hampir tidak berusaha mempertahankan diri dari segala tindakan yang menantang, dengan cara apa pun. Demikian pula ihwal para pelajar yang menggatungkan diri kepada para syeihk (guru) dan pemuka agama, dalam hal membaca dan memperoleh ilmu, dan yang secara terus-menerus memperoleh pendidikan dan pengajaran di dalam pertemuan-pertemuan yang anggun dan berwibawa. Situasi dan kenyataan ini merusak kemampuan mempertahankan diri dan keteguhan jiwa, yang perlu mereka ketahui."

    "Ini bukan alasan untuk menolaknya, yaitu bahwa para shahabat yang menerapkan hukum-hukum agama dan syari'at, tapi sedikit pun keteguhan jiwa mereka tidak berkurang, dan bahkan bertambah kokoh.Kenyataan ini tidak dapat dijadikan alasan menolak pernyataan di atas, sebab ketika kaum muslimin menerima agama dan nabi Muhammad --semoga shalawat tercurah kepadanya--, kesadaran tumbuh dari dalam diri mereka sendiri. Kesadaran itu tumbuh bukan sebagai hasil dari pendidikan yang sengaja diadakan atau dari pengajaran ilmiah. Tapi itulah hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang mereka terima secara lisan, dan dengan akidah-akidah keimanan serta pengakuan akan kebenaran yang tertancap dalam diri mereka, menyebabkan mereka mau mengadakan observasi. Keteguhan jiwa yang ada dalam diri mereka tetap kokoh seperti semula dan belum dirusak oleh cakar-cakar pengajaran dan kekuasaan. 'Umar berkata: 'Barang siapa belum merasa diatur oleh syari'at agama, maka dia tidak mendapat pengajaran dari Allah.' 'Umar mengingnkan agar dalam diri tiap orang terdapat kesadaran, dan meyakini bahwa Muhammad lebih mengetahui apa yang baik bagi manusia"

    "Dan ketika kesadaran beragama menurun di kalangan manusia, dan mereka mempergunakan hukum-hukum yang menjadi penengah, kemudian syariat agama menjadi cabang dari ilmu dan keahlian, maka agama pun diperoleh melalui pendidikan dan pengajaran. Orang-orang kembali hidup terikat pada suatu tempat dan sifat tunduk patuh kembali pada hukum. Hal ini mengakibatkan keteguhan jiwa mereka berkurang."

    "Dengan demikian, jelas bahwa hukum-hukum pemerintahan dan pendidikan merusak keteguhan jiwa, sebab kesadaran merupakan sesuatu yang datang dari luar. Lain dari agama, tidak merusak keteguhan jiwa, sebab kesadaran untuk itu tumbuh dari sesautu yang inherent. Itulah sebabnya, hukum-hukum pemerintahan dan pendidikan berengaruh dikalangan orang-orang kota(penduduk tetap), dalam kelemahan jiwa dan berkuragnya stamina mereka, karena mereka membiarkan keduanya sebagai anak dan orang tua." (Ibn Khaldun [2011]. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta, hlm. 147-149)

    Ini merupakan pemikiran buah dari pengkajian Ibn Khaldun terhadap sejarah-sejarah yang telah terjai di masanya yang tentu saja patut kita kaji dan fikirkan kembali Sehingga tidak sampai terjadi sebuah institusi pendidikan melahirkan generasi-generasi yang memiliki jiwa yang lemah sehingga lembaga pendidikan menjadi tidak perlu dan tidak boleh berlaku lagi...