Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Tampilkan postingan dengan label Dunia Kecilku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Kecilku. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 September 2013

Saya Ingin Sekolah (Pase Kesatu)

          No comments   
Ketika mulai belajar bicara, untuk menyebutkannya saja saya sendiri tidak bisa. Nama saya ribet, sulit,dan mungkin juga berat untuk hanya sekedar dilafalkan lidah. Setidaknya begitulah yang saya alami ketika disuruh untuk menyebutkannya pertama kali. Yang bisa diikuti hanya mengulang-ulang kata depannya saja. "Pu...Pung... Pu..Pung.. Pupung.!" hanya kata itu yang bisa saya lantunkan ketika dituntun untuk menyebutkan "Purnawarman". Dan kata Pupung nyatanya lebih populer jadi panggilan saya ketimbang nama Purnawarman. Dari mulai Ua, Emang, Bibi, sepupu, para tetangga, teman-teman sekolah, hingga para guru saya, lebih mengenal saya dengan nama Pupung. Apabila anda menanyakan saya di kampung saya dengan nama Purnawarman, kecil kemungkinan bagi anda untuk menemukan saya. 

Ilustrasi
Saya sendiri sebetulnya tidak familiar dengan nama itu. Pernah suatu hari, pas pertama kali saya masuk sekolah dasar, saya diabsen oleh guru (kalau tidak salah bu Ida namanya) tapi saya tidak ngacung-ngacung. Teman-teman yang lain pun malah saling lirik antar satu dengan lainnya penuh kebingungan. Hingga sempat beberapa kali diteriakkan, baru ngeuh saya mendengarnya kalau ternyata panggilan itu ditujukan ke saya, itu nama saya. Setelah mengacungkan jari telunjuk ke arah langit setinggi-tingginya, teman-teman saya bersorak soray kegirangan. Mereka semua ricuh berteriak cengengesan, "Itu mah si Pupung Bu Guru, bukan Purnawarman" begitu teriak mereka. Memang saya sering kali asing juga dengan nama sendiri, terutama disebabkan jarangnya nama itu saya pakai di kehidupan sehari-hari.

Meski demikian, apa boleh buat, nama saya yang asli pemberian dari orang tua adalah Purnawarman. Hanya Purnawarman. Tidak ada nama depan atau belakanya. Dan lewat nama itu lah saya pertama kali bisa menulis dan membaca huruf latin. Ibu saya mengajarkan cara menulis dan membaca ketika saya berumur empat tahun, ketika saya merengek tiap hari ingin sekolah seperti kakak saya.

Saya dan kakak, berikut kedua saudara sepupu saya (anaknya Ua), dihitan berbarengan. Jika kedua sepupu saya hitanannya dirayakan dengan acara meriah, karena mereka termasuk keluarga cukup berada, maka saya beserta kakak hanya cukup dimeriahkan dengan dibuatkan wajit raksasa yang tidak habis dimakan dalam sebulan. Waktu itu saya juga teramat gembira karena berkesempatan makan beberapa hari dengan daging kerewedan sebagai lauk pauknya. Daging kerewedan itu adalah daging domba tapi serpihan-serpihan paling alot di antara jenis daging yang lainnya. Gigi kita sangat sulit untuk mengunyahnya hingga lembut. Meski jenis daging itu yang jadi santapan istimewa di hari perayaan hitanan kami, hal itu tidak lantas mengurangi rasa bahagia kami. Karena saya sudah paham bahwa memang hanya itu makanan paling istimewa yang bisa orang tua saya berikan.

Ilustrasi
Tidak berapa lama dari kesembuhan hitanan kami, kakak saya ternyata langsung didaftarkan masuk sekolah dasar. Waktu mengetahui hal itu saya juga ingin sekali ikut sekolah. Tiap pagi datang dan kakak saya siap-siap berangkat sekolah, saya selalu nangis ingin ikut sekolah. Sampai akhirnya ayah saya terpaksa mendadak belanja baju seragam SD buat saya.  

Sambil memakai seragam putih merah dengan tas gendong warna merah yang mengkilat, karena terbuat dari bahan plastik, saya di rumah, tepatnya ruang tengah, secara tekun terus berusaha melukis gambar-gambar huruf yang ibu saya contohkan sebelumnya. Saya bisa tekun menghabiskan waktu menuliskan huruf-huruf nama saya karena kata ibu saya baru bisa masuk sekolah kalau sudah bisa membaca dan menulis tulisankan nama saya sendiri. Sementara baju seragam dan tas gendong itu tidak mau saya lepaskan sampai tiba waktunya kakak saya datang pulang dari sekolahnya. Saya sangat gembira apabila melihat kakak saya baru pulang, karena waktu itu adalah waktu paling berharga bagi saya untuk mencari informasi suasana sekolah yang sangat ingin saya ketahui. Saya akan terus bertanya sampai kakak saya bosan menjawabnya, dan saya balik dimarahi olehnya karena teramat jengkelnya mungkin.

Kondisi serupa itu terus berulang setiap harinya hingga saya sendiri tidak tahu kapan akhirnya saya bisa berhenti melakukan itu. Yang jelas pada masa-masa itulah saya menanyakan secara serius tentang latar belakang saya kenapa sampai diberi nama "Purnawarman". Terjadi kira-kira di tahun 1989 akhir.


Meringis Nangis dari Semenjak Bayi Untuk Kuat di Masa Dewasa

          No comments   
Mengenang kembali masa lalu di saat waktu hening, tengah merenung, mencari obat luka bekas goresan-goresan kenyataan yang berat untuk diterima, adalah salah satu bagian dari cara yang saya lalui untuk mempertimbangkan kembali kesimpulan pemaknaan terhadap kenyataan hidup, mau pun untuk mencari langkah yang selayaknya saya putuskan untuk dikerjakan kemudian.  Masa lalu bagi saya adalah coretan-coretan ilmu pasti yang sudah dibuktikan kebenarannya dalam rupa pengalaman. Maka sangatlah wajar apabila masa lalu itu sering kali saya jadikan sebagai salah satu bagian dari referensi untuk bahan pertimbangan.

Ketika rasa pesimis datang menghampiri, pikiran saya biasanya tengah terganggu oleh kenyataan hidup yang pahit. Oleh perbedaan dengan saudara-saudara sekandung saya, oleh perlakuan orang tua yang seringkali membedakan saya dengan mereka, oleh jalan hidup yang terlalu banyak warna melebihi garis kebiasaan hidup mereka, oleh... oleh... dan oleh... banyak hal lainnya yang seringkali tak sengaja datang bercucuran meracuni pikiran saya. Pikiran-pikiran itulah yang apabila tidak dicerna secara bijak, tatkala mengolah kesimpulan, biasanya menjadikan saya prustasi dan banyak menyalahkan orang lain.

Saya memang terlahir dengan kisah yang cukup berbeda bila dibandingkan dengan saudara-saudara kandung saya yang lain. Dari mulai masa detik-detik saya baru dilahirkan, masa ketika kedua orangtua saya harus memberikan keputusan penerapan nama bagi saya, masa perkembangan balita saya, hingga kisah-kisah yang saya lalui dengan penuh ingat dan kesadaran saya di kemudiannya.

Bukan ingin diketahui banyak orang tujuan utama saya menuliskan kisah hidup pribadi saya di blog ini. Saat menuliskan kisah ini saya masih dalam posisi manusia kecil yang kurang begitu memberikan pengaruh besar buat jalan kehidupan masyarakat mau pun keluarga besar saya. Ini hanya lah sebuah ikhtiar saya mendokumentasikan sejarah kehidupan pribadi agar tidak tergerus habis oleh sifat lupa seorang manusia. Andai pun di akhirnya menimbulkan manfaat buat yang membaca tulisan ini, maka tentu itu adalah nilai lebih yang tidak begitu jadi harapan hiperbola dari apa yang saya kerjakan.

Kisah Tentang Waktu Kelahiran dan Masa-masa Balita Saya

Memang saya lahir tidak dalam bentuk prematur, saya lahir dalam kondisi normal dan tanpa cesar. Waktu kelahiran saya, menurut ingatan ibu saya, adalah antara pukul 08-09 pagi. Karena tidak langsung dicatat waktunya maka patokan bagi ingatan ibu saya adalah dengan membandingkan waktu sekolahnya kakak perempuan tertua saya. Katanya saya lahir tidak begitu lama setelah kakak saya itu berangkat sekolah. "Ya kira-kira antara pukul 08 atau setengah sembilan pagi lah" begitu jawaban ibu saya ketika ditanya ketepatan waktu lahirnya saya. Harinya sendiri belum dapat saya pastikan apakah benar hari sabtu atau bukan. Di sini saya belum mencoba mencari kepastian dengan usaha menerapkan metode hisabnya ilmu falak yang mampu memutuskan waktu masa lalu secara pasti. Yang jelas tarikh penanggalannya adalah bertepatan dengan tanggal 01 bulan Januari tahun 1986.

Kisah tragis mulai terjadi beberapa bulan setelah masa kelahiran saya. Kira-kira baru menginjak umur dua atau tiga bulanan, menurut kabar dari ibu saya, tangan kanan saya pernah digigit oleh tikus ketika saya tengah tertidur pulas dan ditinggal keluar kamar olehnya. Tangan saya yang masih mungil dan unyu-unyu itu nyatanya terlihat sudah berlumuran darah ketika ibu saya hendak mengecek kondisi saya yang tidak terdengar apa-apa dalam waktu yang lumayan lama. 

Ibu saya menjerit histeris meminta tolong kepada ayah saya agar cepat menghampirinya dengan teriakan "Kang.. Akang.. cepat kesini... anak kita dipatuk ular...!". Kenapa kesimpulan ibu ketika melihat tangan saya berlumuran darah itu adalah akibat patukan ular? Nyatanya pandangan ibu saya pertama kalinya adalah bukan melihat tikus, melainkan kaget campur takut karena ular tengah diam melingkar di samping tempat saya terbaring tidur. Jenis ular sapi yang lumayan besar, sebesar pergelangan tangan orang dewasa, terlihat tengah melingkarkan tubuhnya dengan kepalanya memandang tajam ke arah tempat ibu saya berdiri. Tersentak kaget lalu timbul rasa keamanan hidupnya tengah terancam lah mungkin yang membuat si ulah itu malah cepat-cepat mengudarkan posisi lingkaran tubuhnya dan pergi ke bawah risbang dan menghilang, bukan tetap diam atau mendekat ke ibu saya.

Baru setelah ular itu dipastikan oleh ayah saya sudah tidak ada, ibu saya kemudian menggendong saya dan membawanya cepat-cepat ke luar kamar. Ayah saya kemudian mengobrak abrik isi kamar untuk memastikan sang ular benar-benar sudah tidak ada di wilayah kamar. Di waktu tengah mengobrak abrikan kamar itu lah ayah saya kemudian menemukan seekor tikus sudah mati dengan darah yang masih segar mengalir dari bagian tubuhnya akibat beberapa bekas cabikan gigi ular.

Hasil pemeriksaan dokter PUSKESMAS menyimpulkan bahwa luka di telapak tangan saya adalah bekas gigitan tikus, bukan ular. Pada akhirnya ternyata ular yang pada awalnya menjadi tersangka penjahat itu nyatanya justru adalah penyelamat saya. 

Meski luka bekas gigitan tikus itu langsung diobati, racunnya mungkin tidak bisa secara total diam di tubuh saya. Berbulan-bulan tubuh saya yang masih bayi itu kemudian sakit-sakitan terkena infeksi. Benjolan-benjolan semisal bisul menjalar di seluruh bagian kepala. Dan itu membuat rasa khawatir berat kian menjadi makanan sehari-hari yang menghantui ibu saya akan keberlangsungan nasib hidup saya.

Mungkin akibat banyak sakit-sakitanlah penyebab saya di kemudian harinya mengalami kelambatan dalam menjalani proses perkembangan hidup masa balita. Di umur dua tahun, yang dalam perkembangan anak-anak normal sudah mulai banyak belajar bicara, saya katanya malah belum melakukan itu sama sekali. Bahkan ibu saya sampai punya kecurigaan bahwa saya mengalami kebisuan.

Sebuah perjalanan hidup yang sangat tidak mudah memang. Namun perkembangan hidup masa bayi bukan hanya peran orang tua yang dominan menentukan. Allah sang Maha Pencipta sangat berperan besar dalam menentukan taqdir kehidupan di masa itu. Bagai mana si anak bisa berjuang untuk bertahan hidup sementara dianya sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melakukannya. Orang tua pun hanya bisa mengira dan menduga apa yang sedang dihadapi anaknya lewat tangisan dan senyum-tawanya saja.

Apa skenario yang akan terjadi di masa depan seorang anak yang dari awal masa hidupnya sudah mengalami kondisi sulit seberat itu? Orang tua tidak tahu menahu akan kepastiannya. Hanya do'a, harapan, dan usaha maksimal lah yang bisa mereka lakukan agar anak yang jadi harapan penerus hidupnya bisa bertahan dan tumbuh besar    ....Bersambung