Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Tampilkan postingan dengan label Dunia Sekolahku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Sekolahku. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Oktober 2013

Memilih Hijrah ke Pesantren Cibegol

Di pertengahan tahun 2002 perjalanan sekolah saya di Pesantren Persatuan Islam 84 Ciganitri harus mulai saya akhiri. Selain konsentrasi belajar yang sudah semakin kacau balau, kondisi ekonomi yang saya hadapi pun memang sudah tidak memungkinkan lagi. Dari sejak tsanawiyyah orang tua memang sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikan saya untuk sekolah di Pesantren Persis Ciganitri. Itulah mengapa baru menginjak kelas 2 saja saya awalnya harus berhenti sekolah. Namun waktu itu al-Ustadz UA. Saefuddin, yang kebetulan jadi nadhir asrama, dengan sigap mencarikan solusi agar saya tetap bisa bertahan di sana. Berkat bantuan kerja keras beliau lah saya pada akhirnya mendapatkan dana bantuan dari jama'ah pengajian beliau di PLN Bandung, hingga saya bisa menyelesaikan pendidikan jenjang tsanawiyyah di Ciganitri. Beres tsnawiyyah saya melanjutkan ke tingkat Mu'allimin di pesantren  yang sama. Saya tidak punya harapan atau pun bayangan lain selain menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas di sana. Namun taqdir berkata lain. Baru satu semester saya menikmati bangku Mu'allimien Ciganitri, dana bantuan berhenti. Saya harus mencari celah lain untuk bisa bertahan sampai kenaikan kelas tiba.

Seperti dikatakan di awal, saya tidak punya bayangan sedikit pun untuk bisa melanjutkan ke sekolah lain. Kondisi ekonomi orang tua yang sudah angkat tangan dari semenjak tsanawiyyah membuat pikiran saya mentok bila harus memikirkan kemana saya harus melanjutkan sekolah. Apa lagi bila nyatanya al-Ustadz UA Saefuddin yang dulu siap membantu saya pun kini mengalami hal serupa. Beban berat bagi saya untuk menghadapi kondisi semacam ini.

Tidak ada orang yang bisa saya ajak sharing waktu itu selain teman dekat. Meski kakak saya masih di Ciganitri, karena melanjutkan kuliahnya di STAIPI, rasanya tidak mungkin untuk membagi beban berat ini dengannya. Melihat beban hidup dia waktu itu yang lebih berat dari saya, tidak mungkin apabila harus ditambah lagi dengan memikirkan beban saya. Maka hanya kepada teman lah pilihan satu-satunya buat saya curahkan beban ini. Teman yang sangat dekat kala itu adalah Angga Hidayat (Hidayat apa Hidayatullah ya, saya lupa lagi nama kepanjangannya..hehe). Di Ciganitri Angga juga memiliki kakak yang sekolahnya hanya beda dua tingkat dengan kami. Angga beserta kaka perempuannya merupakan santri pindahan dari Cibegol, dan masuk ke Ciganitri kelas 1 Mu'allimien.

Pada akhirnya Angga mengajak main ke rumahnya di Soreang. Harapannya semoga saja dengan diobrolkannya beban saya ke orang tuanya bisa ditemukan solusi yang terbaik. Berangkat lah saya mengunjungi keluarganya. Singkat cerita, hasil dari obrolan yang cukup panjang bersama kedua orang tuanya itu, sekolah saya bisa dibantu oleh mereka, dengan syarat saya harus bekerja di rumahnya. Dan syarat lainnya adalah saya harus pindah sekolah ke Pesantren Persatuan Islam no 34 Cibegol. Pertimbangannya sendiri, selain biaya sekolah di Cibegol lebih murah, letak sekolahnya yang lebih dekat dari Soreang Kota akan lebih memungkinkan saya untuk sekolah sambil kerja.


Cibegol...!! Saya tidak punya bayangan bisa sekolah di sana, terlintas dalam pikiran pun sama sekali tidak pernah. Mitos yang beredar di dunia pesantren Persis, minimalnya yang tertanam dalam benak saya kala itu, Cibegol adalah sekolah ketat dengan mutu pendidikan yang tinggi. Hanya orang-orang cerdas yang bisa sekolah di sana. Saya banyak mendengar hal itu dari obrolan bersama banyak alumni Cibegol yang pindah ke Ciganitri. Dengan mempertimbangkan kapasitas kemampuan diri saya sendiri, maka suguhan pilihan untuk pindah ke Cibegol kala itu adalah pilihan berat. Sekolah selama empat tahun di Ciganitri, dengan jumlah santri yang tidak pernah lebih dari 30 orang saja,  saya tidak termasuk santri yang berprestasi, gimana nantinya jika di Cibegol coba? Namun apa boleh buat, pada akhirnya memang hanya pilihan itu yang bisa saya ambil untuk menyelamatkan dunia sekolah saya. Meski pada awalnya berat apabila harus berpisah dengan kawan-kawan yang sudah empat tahun hidup bersama, harus pisah juga dengan kekasih hati yang baru beberapa bulan menjalin hubungan, saya harus bisa membulatkan tekat memilih untuk hijrah dengan meninggalkan semua kenangan lama dan beradaptasi dengan lingkungan baru.  

Senin, 21 Januari 2013

Cerita Kecil Bersama AVA #1

Ketika pertama kali aku harus pisah jauh dari kehidupannya, di pojok kota kecil Cimahi Utara, air mataku selalu saja menetes deras tatkala kenangan indah akan kasih-sayang yang dicurahkannya sewaktu hidup bersama terlintas kembali dalam bayang-bayang ingatan menghiasi waktu-waktu menjelang tidur malamku. Isak tangis biasanya tak henti-hentinya aku lalui hingga kesadaranku hilang dan masuk dalam dunia mimpi. Masa-masa itulah yang telah menyadarkanku akan besarnya jasa Ava, tentang dalamnya kasih dan sayangnya. Pengorbanan dan perjuangannya untuk sebisa mungkin memberikan sesuatu yang terbaik buatku tidaklah bisa kuurai dengan mudah lewat ungkapan ucap lisanku ini.

Kenyamanan diam dalam gendongan hangatnya saat aku sakit hngga mulai sembuh, kecupan sayang yang selalu diberikan berkali-kali di kala aku mulai terbaring dan memjamkan mata di setiap malam, tangan kekarnya yang memberikan rasa aman ketika memapah jalanku menyebrangi keramaian jalan raya atau pun jembatan sungai yang curam penuh bahaya, beserta kenangan-kenangan indah lainnya, itulah yang kuingat dan membuat aku semakin merindukan kehadirnnya. Aku yang kala itu baru merasakan namanya dilecehkan orang, aku yang kala itu baru merasakan bagaimana pedihnya perjuangan hidup yang harus ditempuh oleh seorang makhluk yang bernama MANUSIA dalam hidupnya, dan aku yang waktu itu baru mengalami secara  nyata bagaimana rasanya bila hidup terpisah jauh darinya, sungguh kenangan indah bersamanya membuat aku semakin ingin meratap tangis, menjerit histeris, teriak keras memintanya datang dan menjemputku kembali pulang ke pangkuannya.

Di masa kecilku, Ava hanyalah seorang pekerja buruh kasar yang sepenuhnya mengandalkan kekuatan otot demi mendapatkan sekeping upah yang hanya cukup buat memenuhi kebutuhan pokok hidup kami sehari-hari. Namun anehnya, di setiap kali pulang dari tempat kerjanya, Ava selalu membawakan oleh-oleh roti buatku. Oleh-oleh yang amat istimewa buatku kala itu. Oleh-oleh yang menumbuhkan rasa bangga dalam diriku akan sosoknya. 

Di kampungku, roti waktu itu merupakan makanan elit orang-orang kaya yang cukup mahal harganya, dan tidak mungkin terbeli oleh anak dari keluarga miskin seperti kami. Namun makanan itu selalu Ava jadikan oleh-oleh kebahagiaanku. Sebab dengan itu temanku menghargaiku. Dengan oleh-oleh itu, teman-temanku yang tidak tahu pekerjaan Ava yang sebenarnya, memandang Avaku sebagai pekerja sukses. Dan aku hidup serasa anak kaya dikala oleh-oleh itu ada digenggamanku. Sayangnya, hingga keberangkatanku ke Cimahi, aku belum pernah memikirkan dari mana Ava mendapatkan ROTI yang istimewa itu.

Oktober 1998 aku pulang dari Cimahi. Bisa sekolah di Cimahi secara geratis adalah usaha keras Ava juga dalam memenuhi permintaanku yang merengek terus-terusan ingin melanjukan sekolah. Namun nyatanya aku menyia-nyiakan usaha beratnya itu. Setelah empat bulan lamanya sekolah di sana, aku menyerah dan mengakhirinya. Aku keluar dari sekolah itu. 

Selang beberapa saat dari kepulanganku, sebagai hukuman dari sikap aku yang telah menyia-nyiakan kesempatan emas bersekolah secara geratis itu, Ava mengharuskanku membatu pekerjaannya. Tidak disangka-sangka, ternyata momen kebersamaan itu nyatanya telah membuka mata sadarku untuk lebih menengok perjuangan kerasnya. Dari momen itulah aku kini mengetahui bahwa roti yang selalu jadi oleh-oleh kebanggaanku, roti yang jadi makanan istimewa yang bisa kucicipi itu, nyatanya adalah jatah dia yang diberikan oleh bosnya diwaktu istirahat kerja. Ternyata selama kerja ia tidak suka memakan jatah roti itu. Ia mengumpulkan jatah makannya itu untuk dijadikannya oleh-oleh kebanggaan anak-anaknya. Dan aku kala melihat kenyataan itu hanya menumpahkan rasa haru yang menyesak di dada dengan tetesan air mata juga. Aku kala itu bebenar-benar merasakan penyesalan teramat dalam telah menyia-nyiakan pengorbanan dan perjuangan besarnya.

Ava adalah panggilanku terhadap ayah yang mendidik, membesarkan, dan menjaga aku dari mulai aku lahir ke dunia hingga dewasa ini. Dia adalah salah satu cerminan dari sikap para orang tua yang senantiasa berusaha semaksimal mungkin mampu memberikan sesuatu yang terbaik buat anak-anaknya. Dan tentu ini adalah secuil kecil dari potret kerja keras sosok ayah yang sudah seharusnya tidak kita pandang rendah dan sia-siakan.

Semoga Aku dan saudara-saudara sekalian yang memang telah merasakan banyaknya curahan kasih dan cnta dari para orang tua kita, bisa tumbuh dan besar melanjutkan cita-cita mereka, membanggakan dan membahagiakan hidup mereka di sisa usia senjanya kini...... 

Ava.... semoga do'a-do'amu yang berisikan permohonan aku tumbuh menjadi anak shaleh secepatnya terkabulakan... Amiin

Salam rindu dari manusia yang selalu menerima limpahan kasih cintamu
Dari aku, Anakmu....!