Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Tampilkan postingan dengan label My Life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label My Life. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Juni 2013

Ketika Ciri Hidup Adalah Gerakan

     ,      No comments   
Hari membuka matanya kembali
Malam temaram kini pergi perlahan hilang
Dan sepeda tua ini harus jua kukayuh kembali
Menembus putaran waktu
Mengenyam jarak lahan terbentang

Jika hidup ini berciri khas dengan geraknya,
Kinilah saatnya kuawali dan isi hidup itu dengan kehidupan, dengan gerakan
Dan cukupkan Allah Sang Maha Hidup menjadi saksinya
Dan kau, duhai sayangku,
Semoga kau menikmatinya....
 
Salam kehidupan
Salam berjuang...
***
 
Bandung, 23 February 2013

Ketika Cinta Tercitra Memaksa

     ,      No comments   
Adakah fikirmu sudah menyelam sedalam lautan
akan realita yang pernah kita alami
akan kejadian yang sempat kita hadapi
hingga kau temukan kilauan permata kesimpulan yang berharga?

Adakah fikirmu melambung tinggi ke angkasa makna?
tentang Apa sebetulnya yang pernah kulakukan?
Tentang apa yang pernah kuperbuat selain ucap?

Yang kurasa,
tak ada dalam niat dan gerak yang ada
dalam langkah dada dan ragaku
tergores makna wujud buat memaksa

Tapi entahlah apa yang kau lihat dan rasa
hingga kau kembali dan terus kembali menilai sebalinya

Bukan aku ingin mendapat penilaian baik di matamu
bukan pula ingin penilaianmu sama denganku
bukan pula rasaku berkata aku yang paling benar tentang semuanya
tentang asaku, niat dan tekat aku mencinta
tentang janjiku yang kini hanya bersisa setumpuk kotoran dosa yang tak tahu dengan apa kumembasuhnya
hanya kata maaf dan maaf yang baru bisa kubuat

Jika kesimpulan itu buah dari kedalaman logika mencerna
Dan jika pandangan itu buah dari ketinggian engkau melihatnya
Maka...
Maafkanlah aku yang tak bisa menggambarkan rasa cinta ini dengan sebenar-benar adanya
Maafkanlah aku yang selama ini sudah berwujud Sang Pemaksa di matamu
***

Bandung, 10 Januari 2013

Kamis, 30 Mei 2013

JEJAK (Melihat Kebutuhan Administrasi dari Sudut Realita dan Agama) Bagian II


Ketika mulai berkiprah di dunia kerja dan masuk ke sebuah perusahaan yang di dalamnya terdapat banyak pekerja, sementara situasi manajemen perusahaannya sendiri masih belum tertata rapi, pada awalnya kebingungan itu menyeruak, kekesalan demi kekesalan banyak kuderita, dan putus asa pun kian menerpa, terlebih apabila usaha demi usaha yang kita coba masih belum bisa untuk mengatasinya. Namun ternyata di balik semua itu saya mulai menemukan secercah cahaya yang menerobos bebas lewat celah-celah kecil menuju ruang gelap yang kurang tersapa sinar. Di sana saya menemukan cahaya mutiara ilmu yang tak ternilai harganya. 


Ilmu manajemen untuk kita kaji di bangku perguruan tinggi saja mungkin mudah, apalagi bila kajiannya terbatas pata teori-teori yang ada semata. Namun untuk menerapkannya dilapangan sungguhlah membutuhkan ketajaman analisa dan kesabaran dalam mencoba. Lapangan pekerjaan yang satu dengan lapangan lainnya kita insafi benar membutuhkan manajemen untuk menatanya. Namun pola manajemen apa dan cara penerapannya bagaimana, tentu hal itu mesti disesuaikan dengan lapangan yang tengah kita kelola. Sebab suatu metode manajemen yang cocok diterapkan di suatu tempat bisa jadi malah tidak cocok bila diterapkan pada situasi dan tempat yang lainnya. Di sanalah manajemen membutuhkan ahli seni yang mampu pleksibel dan bermain cantik dalam mempergunakannya. 

Suatu hari saya terkena tamparan yang sangat menyakitkan, berupa tuduhan menyalahkan yang sebetulnya tidak ada kaitannya langsung dengan pekerjaan pokok yang saya pegang. Berulang kali saya kaji kembali hal-hal apa yang telah saya lakukan selama mengerjakan pekerjaan itu, hasilnya selalu saya rasa tidak ada kekeliruan di sana. Namun posisi saya tetap saja jadi terdakwa. 

Pada perjalanan berikutnya tentu bukan langkah balas dendam yang harus saya lakukan, sebab langkah semisal itu hanyalah langkah sia-sia yang tidak ada faidahnya sama sekali buat masa depan karir dan keilmuan. Langkah yang harus saya tempuh berikutnya adalah bagaimana menemukan akar pokok permasalahan yang menyebabkan kejadian semacam itu bisa terjadi, sehingga di kemudian hari persoalan semacam itu tidak akan terulang kembali. 

Nyatanya, selidik punya selidik, ada sebuah kondisi yang menimpa atasan saya. Dia dimarahi bos besar lantaran terjadi kerugian yang tak terkira besarnya. Maklum kondisi manajemen dan administrasi perusahannya belum tertata rapi, untuk mengkaji sebab-sebab permasalah itu bisa terjadi tentulah sangat sulit. Jangankan untuk menelusuri kesalahan yang telah dilakukan seminggu yang lalu, mencari data kualitas kinerja kerja para pegawai hari kemarin saja pasti akan mengalami kesulitan, jika kondisi perusahanannya itu sendiri tidak menerapkan sistem hirarki kerja yang rapi dan sistem administrasi yang bisa dijalankan dengan mudah oleh setiap lini perusahaan. 

Wal hasil, jika situasi perusahaan tidak memiliki rekam jejak mengenai perjalanan kerja yang telah berlangsung dari waktu kewaktu maka tentu dia tidak memiliki jejak data buat dipelajari, tidak memiliki bahan yang bisa dijadikan bahan kajian, baik untuk kontrol kualitas kemajuan maupun kemunduran yang dialaminya. Pada akhirnya, situasi semacam itu tidak menutup kemungkinan, jika suatu hari terjadi kemerosotan, siapapun bisa ikut disalahkan, termasuk orang yang tidak punya salah sekali pun. 

Agar kita bisa menelusuri dan mengkaji masa lalu yang mebuahkan sebuah hasil seperti sekarang ini, maka tahapan demi tahapan yang dilalui haruslah kita rekam, kita abadikan, sebab dengan cara itulah data pada masa pemrosesan itu bisa ada dan bisa kita jadikan bahan kajian di masa berikutnya. 

Dari kejadian sederhana itulah saya mengambil hikmah besar kenapa Allah tidak mempergunakan kekuasaan "kun fayakun"-Nya dalam menciptakan alam semesta ini, tapi lebih memilih untuk melewati proses-proses yang bertahap. Tentu mengambil langkah itu bukan untuk dijadikan jejak proses itu sebagai bahan analisa buat diri-Nya di kemudian hari, tapi lebih kepada bentuk refleksi dari sifat ke-Maha Rahman dan Rahieman-Nya Dia kepada manusia, agar mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi makhluk yang mampu mengambil ilmu dari proses-proses itu dan mempergunakannya saat mereka menjadi pemimpin (Khalifah) di kehidupan dunia ini. 

Maka dari sini saya meyimpulkan antara pertanyaan saya sewaktu kecil dengan jawaban dari ayah saya itu cukup tersirat dalam kata "JEJAK"... hehe

Wallahu a'lam bish-shawab

JEJAK (Melihat Kebutuhan Administrasi dari Sudut Realita dan Agama) Bagian I

     , ,      No comments   
Anak kecil seorang manusia berbeda dengan hewan kecil peliharaan kita. Anak manusia adalah manusia itu sendiri. Mereka, meski tubuhnya mungil dan lemah, meski wawasan bahasa dan pengalamannya pun masih terbatas, dalam dirinya terdapat potensi, terdapat modal kekuatan, untuk menjadi manusia besar yang potensi itu sebetulnya sudah bekerja sejak dini. Akal pemikirannya sudah banyak mempertanyakan persoalan-persoalan besar tentang kehidupan ini, tentang alam raya ini, bahkan tentang sosok pembuat semua yang ada di dunia ini. Bahkan mungkin saja mereka suka mempertanyakan hal-hal besar yang oleh manusia dewasa sudah dikesampingkan dan dipandang tidak perlu lagi dicari jawabannya. 

Setidaknya itulah buah pengalaman sendiri, yang saya alami sendiri, di masa kecil dulu. Walau pun banyak pertanyaan yang terlintas itu harus berhenti dalam batas-batas simbol tanda tanya yang tidak terurai jawaban pastinya, pertanyaan demi pertanyaan seakan tak bosan-bosannya muncul dalam perputaran pikiran dunia kecilku. Terlebih di kala ilmu bacaku mulai aku gunakan, meski terbata-bata, buat mencerna sederet tulisan-tulisan dalam buku maupun kitab suci. Pertanyaan besar kian datang banyak bermunculan, namun sedikit sekali yang mampu memberi jawaban yang memuaskan, hingga mau tidak mau pertanyaan-pertanyaan itu harus aku alihkan ke tempat persinggahan diamnya dalam kondisi masih utuh segar terbungkus simbol tanda tanya... 

Contoh kecilnya saja adalah pertanyaan "Kalau Allah itu maha kuasa hingga cukup dengan mengatakan 'jadilah..!!' sesuatu yang dikehendaki-Nya pun langsung jadi, lalu kenapa Ia pada kenyataannya membuat bumi dan alam raya ini membutuhkan waktu hingga 6 hari?". Begitulah kira-kira isi pertanyaan membingungkan di masa kecilku itu. Dan jawaban yang ditemukan dari orang tua dan guru-guru, selaku sumber pokok referensiku kala itu, seringkali sulit buat aku cerna. Perkataan dan pernyataan mereka sering kali memakai istilah yang abstrak buat difahami oleh aku kecil yang wawasan pemahaman terhadap bahasa manusia dewasa semisal mereka masih sangatlah terbatas. Bagai mana tidak, untuk mencerna dan memahami sebaris jawaban yang diberikan oleh ayahku saja aku butuh puluhan, atau bahkan belasan tahun untuk hidup dulu di muka bumi ini. 

Untuk menjawab pertanyaan dariku, ayahku bilang "itu adalah bentuk kecil dari sifat ke-maha rahman dan rahiem-an Allah". Dan untuk memahami sebaris jawaban itu aku butuh waktu hidup belasan tahun kemudian. 
 
Namun jawaban dari ayahku itu sebetulnya masih mendingan bila dibanding dengan jawaban yang aku berikan kepada anak didikku sekarang. Sebab buah pemahaman dari hasilku berfikir dan mencari penjelasan berpuluh-puluh tahun lamanya itu salah-satunya aku coba bungkus dalam satu kata saja, yakni kata "JEJAK". Anda bisa bayangkan bagaimana bingungnya anak didikku waktu ini untuk memahami kaitannya pertanyaan itu dengan kata "jejak" yang aku jadikan sebagai jawabannya. Tentu saja ini bukan dilandasi oleh sikap luapan balas dendam. Sebab di sisi lain saya sudah mencoba memberikan penjabaran semampu yang saya bisa dan saya anggap bisa menjadi jembatan buat mereka melangkah untuk memahaminya lebih lanjut. 

Dan dibalik itu semua sebetulnya tersimpan harapan besar. Harapan semoga mereka terus menyimpan rasa penasaran besar hingga dewasa nanti mereka tetap menjadi manusia yang seterusnya suka berfikir, bertanya, dan mencari jawabannya. BERSAMBUNG....

Senin, 21 Januari 2013

Cerita Kecil Bersama AVA #1

Ketika pertama kali aku harus pisah jauh dari kehidupannya, di pojok kota kecil Cimahi Utara, air mataku selalu saja menetes deras tatkala kenangan indah akan kasih-sayang yang dicurahkannya sewaktu hidup bersama terlintas kembali dalam bayang-bayang ingatan menghiasi waktu-waktu menjelang tidur malamku. Isak tangis biasanya tak henti-hentinya aku lalui hingga kesadaranku hilang dan masuk dalam dunia mimpi. Masa-masa itulah yang telah menyadarkanku akan besarnya jasa Ava, tentang dalamnya kasih dan sayangnya. Pengorbanan dan perjuangannya untuk sebisa mungkin memberikan sesuatu yang terbaik buatku tidaklah bisa kuurai dengan mudah lewat ungkapan ucap lisanku ini.

Kenyamanan diam dalam gendongan hangatnya saat aku sakit hngga mulai sembuh, kecupan sayang yang selalu diberikan berkali-kali di kala aku mulai terbaring dan memjamkan mata di setiap malam, tangan kekarnya yang memberikan rasa aman ketika memapah jalanku menyebrangi keramaian jalan raya atau pun jembatan sungai yang curam penuh bahaya, beserta kenangan-kenangan indah lainnya, itulah yang kuingat dan membuat aku semakin merindukan kehadirnnya. Aku yang kala itu baru merasakan namanya dilecehkan orang, aku yang kala itu baru merasakan bagaimana pedihnya perjuangan hidup yang harus ditempuh oleh seorang makhluk yang bernama MANUSIA dalam hidupnya, dan aku yang waktu itu baru mengalami secara  nyata bagaimana rasanya bila hidup terpisah jauh darinya, sungguh kenangan indah bersamanya membuat aku semakin ingin meratap tangis, menjerit histeris, teriak keras memintanya datang dan menjemputku kembali pulang ke pangkuannya.

Di masa kecilku, Ava hanyalah seorang pekerja buruh kasar yang sepenuhnya mengandalkan kekuatan otot demi mendapatkan sekeping upah yang hanya cukup buat memenuhi kebutuhan pokok hidup kami sehari-hari. Namun anehnya, di setiap kali pulang dari tempat kerjanya, Ava selalu membawakan oleh-oleh roti buatku. Oleh-oleh yang amat istimewa buatku kala itu. Oleh-oleh yang menumbuhkan rasa bangga dalam diriku akan sosoknya. 

Di kampungku, roti waktu itu merupakan makanan elit orang-orang kaya yang cukup mahal harganya, dan tidak mungkin terbeli oleh anak dari keluarga miskin seperti kami. Namun makanan itu selalu Ava jadikan oleh-oleh kebahagiaanku. Sebab dengan itu temanku menghargaiku. Dengan oleh-oleh itu, teman-temanku yang tidak tahu pekerjaan Ava yang sebenarnya, memandang Avaku sebagai pekerja sukses. Dan aku hidup serasa anak kaya dikala oleh-oleh itu ada digenggamanku. Sayangnya, hingga keberangkatanku ke Cimahi, aku belum pernah memikirkan dari mana Ava mendapatkan ROTI yang istimewa itu.

Oktober 1998 aku pulang dari Cimahi. Bisa sekolah di Cimahi secara geratis adalah usaha keras Ava juga dalam memenuhi permintaanku yang merengek terus-terusan ingin melanjukan sekolah. Namun nyatanya aku menyia-nyiakan usaha beratnya itu. Setelah empat bulan lamanya sekolah di sana, aku menyerah dan mengakhirinya. Aku keluar dari sekolah itu. 

Selang beberapa saat dari kepulanganku, sebagai hukuman dari sikap aku yang telah menyia-nyiakan kesempatan emas bersekolah secara geratis itu, Ava mengharuskanku membatu pekerjaannya. Tidak disangka-sangka, ternyata momen kebersamaan itu nyatanya telah membuka mata sadarku untuk lebih menengok perjuangan kerasnya. Dari momen itulah aku kini mengetahui bahwa roti yang selalu jadi oleh-oleh kebanggaanku, roti yang jadi makanan istimewa yang bisa kucicipi itu, nyatanya adalah jatah dia yang diberikan oleh bosnya diwaktu istirahat kerja. Ternyata selama kerja ia tidak suka memakan jatah roti itu. Ia mengumpulkan jatah makannya itu untuk dijadikannya oleh-oleh kebanggaan anak-anaknya. Dan aku kala melihat kenyataan itu hanya menumpahkan rasa haru yang menyesak di dada dengan tetesan air mata juga. Aku kala itu bebenar-benar merasakan penyesalan teramat dalam telah menyia-nyiakan pengorbanan dan perjuangan besarnya.

Ava adalah panggilanku terhadap ayah yang mendidik, membesarkan, dan menjaga aku dari mulai aku lahir ke dunia hingga dewasa ini. Dia adalah salah satu cerminan dari sikap para orang tua yang senantiasa berusaha semaksimal mungkin mampu memberikan sesuatu yang terbaik buat anak-anaknya. Dan tentu ini adalah secuil kecil dari potret kerja keras sosok ayah yang sudah seharusnya tidak kita pandang rendah dan sia-siakan.

Semoga Aku dan saudara-saudara sekalian yang memang telah merasakan banyaknya curahan kasih dan cnta dari para orang tua kita, bisa tumbuh dan besar melanjutkan cita-cita mereka, membanggakan dan membahagiakan hidup mereka di sisa usia senjanya kini...... 

Ava.... semoga do'a-do'amu yang berisikan permohonan aku tumbuh menjadi anak shaleh secepatnya terkabulakan... Amiin

Salam rindu dari manusia yang selalu menerima limpahan kasih cintamu
Dari aku, Anakmu....!

Kamis, 29 November 2012

Dan Aku Masih Berjiwa MAHASiswa

          No comments   
Pukul empat shubuh aku sudah harus mulai menata tempat kerja, menjajakan beragam barang dagangan kepada para pelanggan yang sudah mulai berdatangan. Dan di kala jam tua yang selalu bersandar di ruang keluarga dengan bandul besar yang senantiasa berayunan di sepanjang waktu itu sudah meneriakan suara dentangan sebanyak tujuh kali, pertanda aku pun harus bersiap diri memulai aktivitas lain, aku harus mulai berangkat kuliah. Sementara bila aktivitas kuliah sudah selesai, aku pun bergegas pulang menuju tempat kerja yang tadi sempat aku tinggalkan. Dua tahun lamanya dua aktivitas itu aku gulirkan. Tanpa ada istilah tongkrongan bersama teman, tanpa ada aksi bersama aktivis-aktivis kampus, dan tanpa ada kamus cinta yang menderetkan segudang kata-kata romansa seperti yang tergambar di film-film atau sinetron. Bagiku kala itu kuliah dan kerja adalah dua prioritas utama yang tidak boleh dilalaikan oleh yang lainnya.

Tak ada beban atau kejenuhan menimpaku. Meski otot dan otak terus kuperas seharian. Meski hangatnya canda dan tawa kebersamaan bersama teman-teman harus kurasakan sebatas cicipan tanpa kenyang. Semua tetap aku nikmati dalam porsi seorang Mahasiswa dan Pekerja. Semua kujalani tanpa diakhiri sesal atau kecewa sebab di waktu dan ruang lain, aku juga masih banyak teman setia yang memberi masukan ilmu dalam lintasan dunia tanpa batas. Buku dan buku adalah teman setia yang menyertaiku di kala toko sepi sedikit pembeli. Dan segudang pemikiran serta wacana keilmun masih bisa kucurahkan pada mereka-mereka yang ingin ikut berbagi indahnya dunia pergulatan keilmuan. Dalam waktu senggang menunggu dosen datang, atau dalam iringan langkah kaki tatkala pergi meninggalkan kampus, adalah waktu-waktu aku berdiskusi hebat mengasah ketajaman pemikiran, juga memantau beragam perkembangan situasi aksi mereka para teman-teman yang juga aktivis.

Waktu pergulatan itu kini sudahlah usai. Perang keilmuan sudah sampai pada samudera wisuda. Mereka para pejuang yang telah mendapat gelar itu sudah kembali pulang. Pulang ke kampung halaman dengan senyum lebar siratkan kebanggaan atas tersematnya gelar. Sementara aku yang cidera di masa pertempuran masih tergeletak sendirian, tertinggal di medan pertempuran oleh teman satu pasukan. Dan aku yang masih bisa menyaksikan medan juang pasca pertempuran itu kini tengah menatap puing-puing sisa pertempuran yang masih berserakan. Menatap sisa-sisa kobaran api semangat yang sudah mulai meredup ditinggal oleh mereka para pemangku gelar. Dunia kampus sudah tidak kulihat lagi dan jiwa MAHAsiswa sudah samar kudengar, sebab dunia MAHAsiswa sudah bukan dunianya mereka lagi.

Aku pulang sendirian dengan langkah berat penuh luka kepiluan. Kulihat mata-mata para penonton iringi langkah beratku dengan pandangan penuh cibiran merendahkan. Sorak sorai hinaan berbulan-bulan meneriakiku sebagai pecundang. Aku kala itu bagai pasukan Muslim yang pertama kali dipimpin Khalid yang meski selamat dari kekalahan tapi penonton menganggapnya kalah bertempur hingga teriakan-teriakan penonton itu membuat mereka malu dan minder keluar rumah.

Bagiku yang belum sempat merasakan kemenangan, aksi perjuangan tentulah belum terasa usai. Semangat menenteng senjata keilmuan masih perlu aku lakukan, dan panji-panji perjuangan masih harus aku kibarkan. Alat perkakas keilmuan masih perlu aku gunakan agar di luar medan pertempuran keilmuan (kampus atau sekolah) ini aku masih bisa memetik segudang nikmat ilmu yang mencerahkan. Aku harus tetap menenteng metodologi keilmuan, Hingga jiwa-jiwa semangatku semasa masih di medan kampus itu tetap ada, dan aku harus masih Berjiwa Mahasiswa yang haus akan ilmu dan belajar tanpa batas luasnya bangku dan ruang kelas yang pengap. Alam raya tempat aku berpijak menjalani hidup ini adalah medan ilmu yang masih menyimpan banyak berserakan ilmu. Dan ilmu yang masih banyak berserakan itu tiada bisa kurengkuh tanpa jiwa-jiwa MAHAsiswa yang bisa belajar tanpa batas teritorial ruang dan waktu.

Semoga dengan jiwa MAHAsiswa itu Aku semakin dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan yang sedang dan akan kujelang....

Maaf Bila Do'aku Sudah Memberatkanmu

          2 comments   
Setelah sekian lama hati ini membeku dalam kehidupan tanpa warna, kucoba tengok suasana sekitar pagi saat awal aku bangkit kembali torehkan makna hidup. Dan tersempat kulihat butiran bening tersapa cahaya tengah memantulkan beragam warna indah berkilauan. Apakah keindahan yang menumbuhkan ketakjuban itu hanya butiran embun sesaat lalu memudar seusai panasnya siang menjatuhkannya, ataukah itu butiran intan yang malah tambah berkilauan disaat cahaya semakin kuat menyapa? Entahlah. Yang kulakukan kala itu hanya diam sambil mengamati perkembangan yang mungkin akan merubah keadaan. Dan aku berucap do'a dalam sujud harapku agar hati ini teranugerahi keindahan warna pelangi yang bukan sekedar biasan kebeningan embun pagi, tapi butiran intan permata yang bisa berkilau sepanjang masa. Kupintakan keindahan cinta yang bisa hidupkan kembali hati ini hingga beragam warna dan kekuatannya bisa ada kembali hiasi hari-hari yang kulewati. Cinta yang bukan hanya sekedar menanamkan birahi dan keindahan duniawi, tapi cinta yang juga mampu menghantarkanku pada samudera iman yang mencurahkan kenikmatannya.

            Waktu terus berlalu di tengah aku diam terpaku dalam usaha mengamati penuh pertimbangan dan penghayatan. Tak terasa sudah setahun lebih aku hanyut dalam suasana pertimbangan itu. Dan sedikit demi sedikit sebutir indah itu bisa kupahami lebih kuat keadaannya bila dibanding daya tahan butiran embun. Zatiyah sosoknya dan ketakjuban yang dipancarkannya malah semakin kuat terbentang dalam suasana hidupnya kembali hatiku. Maka, kenapa tidak jika kutetapkan saja keyakinanku padanya, bahwa ia benar-benar anugerah yang kupintakan.

            Dalam yakin yang telah kuukirkan di atas luasan singgasana tempat iman dan nurani bersemayam, aku mulai coba tanamkan keberanian. Namun sayang, masa silam yang telah menorehkan beragam kisah memalukan akibat kelemahanku menerima tantangan yang dihadapkan untuk membuktikan kekuatanku menghalalkan cinta yang diucapkan kepadanya itu pada akhirnya telah membuat keberanian itu tak kunjung tumbuh berkembang. Ketakutanku akan terulanginya kembali kondisi masa lalu itu layaknya telah menjadi hama-hama paling bahaya bagi hidupannya keberanian.

            Tiada jalan lain yang bisa kuusahakan lagi selain meminta pertolongan kembali pada Zat Yang Maha Menguasai gerak langkahnya hati manusia. Kupanjatkan doa agar semoga Ia berkenan mencurahkan rasa keberanian kepadaku dengan memberikan aku sebuah pekerjaan yang bisa menghasilkan sejumlah materi yang bisa kujadikan pengikat mengkhitbahnya. Dan tanpa kusangka jawaban do'a itu sangat cepat kudapat. Dalam jangka waktu kurang dari seminggu, tawaran kerja datang kepadaku meski aku tidak mencarinya, meski aku memberi syarat mutlak yang tidak bisa diganggu-gugat kepadanya.

            Meski teman dekatku telah mengusulkan agar aku kembali mempertimbangkan tafsir lain akan kejadian yang tengah kualami ini dengan "bisa jadi itu belum tentu benar bila ditafsirkan sebagai jawaban do'aku yang lalu itu" tapi aku hingga kini tidak punya tafsiran lain yang bisa memalingkan tafsirku yang sekarang itu. Hingga kini aku tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa itu adalah bukan jawaban atas do'aku. Maka aku, meski berat juga untuk mengawali dan menjalaninya, pada akhirnya membulatkan tekat dan keberanian untuk mewujudkan niatku mengkhitbahmu, sesuai janjiku kepada_Nya yang terucap dalam doa lalu itu.

            Jika kau selama ini merasa heran denganku yang secara tiba-tiba menyodorkan tekatku mengkhitbahmu, maka alasan utama selain karena adanya rasa cinta aku kepadamu, alasan lain yang menguatkannya adalah adanya ikatan janji aku pada Tuhanku.

Engkau bagiku adalah jawaban dari do'a-do'aku, dan maafkan aku jika pada akhirnya do'a-do'aku itu sudah terasa berat untuk kau terima...!