Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Juni 2013

Antara Do'a dan Mantra (bagian 1)

     ,      No comments   

PENDAHULUAN

Ada cerita sedikit nih kawan-kawan. Suatu hari saya pernah diajak berbincang oleh seseorang yang sudah berumur menginjak tua. Dalam perbincangannya itu dia sedikit bercerita tentang pengalaman hidupnya. Kemudian sampailah ia pada titik dimana puncak emosional orang lanjut usia bermain. Ia memberi sedikit masukan kepada saya bahwasannya apabila saya menghadapi permasalahan hidup, seperti kesulitan jodoh, ekonomi, karir dan yang lainnya, bisalah saya menghubungi dia dan minta tolong padanya. Hal itu lantaran, menurut pengakuannya sendiri, dia adalah orang yang memiliki kelebihan ilmu dalam mengatasi persoalan itu. Gurunya yang sering dia tanyai, lanjutnya, sekarang usianya sudah seratus tahun lebih dan kehidupannya sangat shaleh. Dengan keshalehannya itulah sehingga do'a-doanya terkabul. Orang yang kena guna-guna bisa langsung sembuh, bahkan guna-gunanya bisa menyerang balik pada orang yang mengirimnya, dengan cukup mengambil tanah dari makam lalu diberi do'a oleh gurunya itu. Kelihatannya waktu itu dia habiskan untuk terus berusaha mencoba agar saya menjadi yakin akan kebenaran semua yang dikatakannya, sampai-sampai dia berulang-ulang memastikan saya bahwa ilmu yang dimilikinya itu bukan sihir, dia bukan dukun atau paranormal, sebab bacaan-bacaan yang dipakainya bukanlah jampe-jampe atau mantra melainkan adalah do'a-do'a yang diambil dari Al-Qur'an. Begitu isi singkat penjelasannya.

Setelah terlihat bahwa dia tengah menanti respon dari saya, saya pun kemudian mulai mengajaknya dialog. Sebagai pembukaan, saya mengajukan pertanyaan kepada beliau "Saya masih kurang paham sebenarnya apa yang membedakan antara do'a dan mantra/jampe-jampe pak, apakah bapak bisa menjelaskannya?". Mendapati pertanyaan semacam itu dia malah terlihat bingung. Raut muka dan tatapan matanya seakan melayang sejenak ke tempat lain. Mungkin ia tengah merenung sejenak, mencari cara bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu.

Setelah sedikit menunggu, dia kemudian menjawab: "Kalau masalah seperti itu sih tanyakan saja kepada orang yang sekolah dek, bukan ke saya, saya kan tidak pernah sekolah" jawabnya enteng. Saya kemudian menyusul jawabannya dengan sedikit mengingatkan kembali terhadap apa yang sudah dikatakannya. "Loh kok.. bukannya dari tadi bapak berusaha meyakinkan saya bahwa ilmu yang bapak miliki itu jalurnya adalah islam, bukan jalur setan, dengan alasan bacaan-bacaan yang dipakai bapak adalah do'a bukan mantra? kok bisa ya apa yang sama sekali tidak bapak pahami itu diyakini  dan dipastikan kebenarannya?" Tanggapannya kemudian malah tidak memecahkan permasalahan. Ia malah ngomong ke sana ke mari, ngelantur tak jelas arah. Dengan kelakuannya seperti itu saya menjadi yakin benar bahwa dia benar-benar tidak tahu perbedaan antara mantra dan do'a.

Semenjak dari kejadian itu dia terlihat seakan terus menghindari diri untuk masuk dalam dialog dengan saya, bahkan terlihat marah kepada saya yang sudah mengajukan pertanyaan, yang mungkin dirasanya telah memojokkan dirinya.

Kejadian itu terjadi kira-kira di pertengahan tahun 2012 kemarin. Dan saya menceritakan kembali kejadian itu hanya sebagai upaya penggambaran bahwa sebetulnya di luaran sana masih banyak orang yang belum paham betul perbedaan hakiki dari makna do'a dan mantra, sehingga banyak yang terjebak pada keadaan di mana keyakinannya mengatakan benar, sementara hakikat pastinya dia tengah terjerembab dalam kesalahan. Bahkan hal itu tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi agama islam saja, bahkan posisi jabatannya adalah sebagai dosen, kondisi itu masih menjerat mereka. Di  UIN Bandung, tempat saya dulu sempat belajar, tepatnya di Fakultas Dakwah jurusan Manajemen Dakwah, di sana ada mata kuliah "Epistimologi Do'a" dan jika dikaji secara teliti isi dari materi-materi yang dikupas dalam mata kuliah itu, justru seakan tidak ada perbedaan antara apa itu do'a dan apa itu mantra. Bahkan saya lebih cenderung menilai bahwa mata kuliah itu tidak layak dinamai "Epistimologi Do'a" tapi lebih cocoknya dinamai "Epistimologi Mantra", karena kajian yang diketengahkan selama perkuliahan berlangsung tidak sedikitpun menyentuh pokok-pokok rumusan do'a, malah tidak lebih dari upaya perasionalisasian aktivitas perdukunan semata. Upaya untuk menggali secara mendalam hakikat do'anya sendiri, jika pun tidak dikatan tidak ada, adalah sangat kurang sekali.

Kondisi-kondisi itu bisa terjadi, menurut kacamata pemahaman saya, jelas disebabkan oleh adanya kesimpangsiuran pemahaman yang masih mereka hadapi. Mereka mungkin sudah mengetahui bahwa di dalam ajaran Islam tidak ada mantra, bahkan Islam justru melarang keras penggunaan aktivitas itu. Namun untuk memahami secara benar perbedaan antara hakikat do'a yang diajarkan Islam dengan mantra yang dilarang oleh Islam, sepenuhnya belum bisa mereka pahami betul.

Meski saya insapi bahwa ilmu yang saya miliki untuk menjelaskan persoalan ini sangat jauh untuk dikatakan mapan, sehingga akan terbentur oleh banyaknya keterbatasan, namun melihat kondisi masyarakat semacam itu, saya merasa tertantang untuk mencoba mengetengahkan bahasan ini. Atas modal itulah lewat tulisan ini saya berusaha mengkaji persoalan ini.

Insya Allah bersambung.....

Senin, 05 September 2011

Memahami Kembali Talafudz biNiyat (melafalkan Niyat) Hingga Dibilang Bid'ah

     ,      No comments   
Sadar ataupun tidak, acuh maupun tak acuh, masih senang ataupun sudah muak, memandangnya seriuas ataupun sepele, Apa mau dikata, persoalan-persoalan ibadah pada akhirnya tetap menjadi persoalan yang jadi bahan perbincangan dan pengkajian. Meskipun banyak dari kalangan awam yang penulis temui dan mengutarakan kegerahannya apabila dilihatnya antar sesama Muslim bersilang pendapat dipersoalan-persoalan furu'iyah dan mereka berambisi untuk menghindari silang pendapat tersebut, pada akhirnya mereka tetap akan menemukan juga orang-orang yang membahasnya. Hal ini disebabkan oleh beragamnya sudut pandang, orientasi, pemaknaan dan penghayatan yang dimiliki oleh manusia secara umum. Bagi orang yang menganggap persoalan-persoalan furu'iyah sebagai persoalan sepele, mungkin memperbincangkan persoalan tersebut memuakkan atau dipandang tidak banyak manfaatnya. Namun lain halnya dengan orang-orang yang mendudukan persoalan ibadah sebagai persoalan penting, meskipun orang katakan itu adalah persoalan-persoalan furuiyah (cabang), kalau hal itu termasuk pada persoalan ibadah maka tentu saja persoalan itu dibenak mereka akan menempati persoalan penting. Oleh sebab itu, dalam koridor pemaknaan seperti ini, sepanjang manusia memiliki sudut pandang, pemaknaan, penghayatan dan penempatan yang berbeda, penulis lebih meyakini bahwa sampai kapanpun persoalan-persoalan silang pendapat dan pengkajian terhadap persoalan-persoalan furu'iyah ini akan selalu ada dalam wacana pengkajian ummat Islam. Secara otomatis, memandang bahwa langkah menghindar dari pengkajian dan penyamaan persepsi (dalam bentuk diskusi, dlsb) terhadap persoalan-persoalan yang ada bukanlah metode jitu menyelesaikan persoalan. Sebab yang namanya menghindari bukanlah menyelesaikan, tapi membiarkan persoalan itu tetap mengambang dan hidup tanpa terselesaikan.
Berangkat dari landasan berfikir seperti itulah tulisan ini kami awali, dengan harapan semoga dengan kita sama-sama menyamakan sudut pandang dan persepsi di antara kita, persolan-persoalan yang tumbuh ditengah kita menemui titik temu dan difahami secara benar.
Salah satu persoalan yang di satu pihak selalu dihindari pembahasannya, dan di pihak lain suka dibahas duduk persoalannya adalah masalah talafudz niyyat (melafalkan bacaan niyat).

Awal mula polemik masalah niyat dibaca atau pun cukup dalam hati adalah berangkat dari hadits shahih "innamal -a'malu bin-niyyaat wa innama likullim-ri'in maa nawaa... alhadits". Para ulama dalam memahami hadits ini sepakat bahwa hadits ini menunjukkan kedudukan niyyat itu penting dan menjadi landasan pokok setiap persoalan yang kita lakukan. Dan terjadinya silang pendapat mengenai harus bagaimana kita berniyat muncul akibat dari tidak adanya nash yang menjelaskan secara terperinci. Dalam bidang ini para ulama masuk dalam ranah ijtihad. Ijtihad itu boleh, dan boleh jadi hukumnya wajib, di saat kita menghadapi persoalan yang butuh diputuskan sementara persolan yang diputuskan itu belum atau tidak ada tuntunannya. Dalam persoalan ijtihad, keputusan akhir yang diputuskannya tidak ada yang bisa dipersalahkan atau dibenarkan. Kita semua hanya bisa memilih dan menilai hasil mana yang lebih mendekati kebenaran, dan mana hasil yang bila melihat argumen-argumen dan landasannya lemah sehingga mendekati kekeliruan. Dengan demikian, dalam koridor ijtihad tidak ada hasil akhir yang merujuk pada benar atau salah, melainkan baik atau buruk.

Persoalan kenapa kemudian banyak ulama kontemporer yang membid'ahkan (menyalahkan atau menyesatkan) masalah talafudz biniyat adalah dikarenakan talafudz biniyah yang asalnya ada dalam ranah ijtihadi itu kemudian bergeser menjadi persoalan ibadah mahdhah (ibadah ritual yang tatacara dan waktu atau tempatnya terikat, hanya bisa ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya), padahal tidak ada satupun nash yang menerangkan bahwa waktu talafudz biniyat itu harus seperti yang sekarang dilakukan. Bacaan niyatnya pun tidak ada satupun dalil yang memerintahkan harus seperti demikian. sementara yang terjadi sekarang antara waktu atau tempanya dan bacaan dan tatacaranya ditetapkan seolah-olah, dan mau tidak mau harus dikatakan, sebagai ibadah mahdhah yang sudah ditetapkan dan tidak bisa dilanggar.

Dengan demikian, jika kita jeli membandingkan antara realita sejarah dengan realita sekarang, persoalan masuknya talafudz biniyyat kepada ranah bid'ah sebetulnya bukan murni lantaran talafudz biniyatnya tapi dikarenakan talafudz biniyatnya itu sendiri sudah keluar dari koridor ijtihad menuju persoalan ibadah mahdhah yang baru (bid'ah), sementara ibadah mahdah sudah ditetapkan dan kita tidak boleh mengurangi atau melebihkannya (haram dilakukan).

Semoga usaha saya memahami persoalan kekusutan yang terjadi ditubuh ummah dan mencoba mengurainya melalui tulisan ini bisa bermanfaat, dan sampai pada apa yang saya niyatkan.
Allahu ya'khudzu bi aidinaa ilaa maa fiehi khairun lil islam wal muslimien...!!