Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Sabtu, 28 September 2013

Meringis Nangis dari Semenjak Bayi Untuk Kuat di Masa Dewasa

          No comments   
Mengenang kembali masa lalu di saat waktu hening, tengah merenung, mencari obat luka bekas goresan-goresan kenyataan yang berat untuk diterima, adalah salah satu bagian dari cara yang saya lalui untuk mempertimbangkan kembali kesimpulan pemaknaan terhadap kenyataan hidup, mau pun untuk mencari langkah yang selayaknya saya putuskan untuk dikerjakan kemudian.  Masa lalu bagi saya adalah coretan-coretan ilmu pasti yang sudah dibuktikan kebenarannya dalam rupa pengalaman. Maka sangatlah wajar apabila masa lalu itu sering kali saya jadikan sebagai salah satu bagian dari referensi untuk bahan pertimbangan.

Ketika rasa pesimis datang menghampiri, pikiran saya biasanya tengah terganggu oleh kenyataan hidup yang pahit. Oleh perbedaan dengan saudara-saudara sekandung saya, oleh perlakuan orang tua yang seringkali membedakan saya dengan mereka, oleh jalan hidup yang terlalu banyak warna melebihi garis kebiasaan hidup mereka, oleh... oleh... dan oleh... banyak hal lainnya yang seringkali tak sengaja datang bercucuran meracuni pikiran saya. Pikiran-pikiran itulah yang apabila tidak dicerna secara bijak, tatkala mengolah kesimpulan, biasanya menjadikan saya prustasi dan banyak menyalahkan orang lain.

Saya memang terlahir dengan kisah yang cukup berbeda bila dibandingkan dengan saudara-saudara kandung saya yang lain. Dari mulai masa detik-detik saya baru dilahirkan, masa ketika kedua orangtua saya harus memberikan keputusan penerapan nama bagi saya, masa perkembangan balita saya, hingga kisah-kisah yang saya lalui dengan penuh ingat dan kesadaran saya di kemudiannya.

Bukan ingin diketahui banyak orang tujuan utama saya menuliskan kisah hidup pribadi saya di blog ini. Saat menuliskan kisah ini saya masih dalam posisi manusia kecil yang kurang begitu memberikan pengaruh besar buat jalan kehidupan masyarakat mau pun keluarga besar saya. Ini hanya lah sebuah ikhtiar saya mendokumentasikan sejarah kehidupan pribadi agar tidak tergerus habis oleh sifat lupa seorang manusia. Andai pun di akhirnya menimbulkan manfaat buat yang membaca tulisan ini, maka tentu itu adalah nilai lebih yang tidak begitu jadi harapan hiperbola dari apa yang saya kerjakan.

Kisah Tentang Waktu Kelahiran dan Masa-masa Balita Saya

Memang saya lahir tidak dalam bentuk prematur, saya lahir dalam kondisi normal dan tanpa cesar. Waktu kelahiran saya, menurut ingatan ibu saya, adalah antara pukul 08-09 pagi. Karena tidak langsung dicatat waktunya maka patokan bagi ingatan ibu saya adalah dengan membandingkan waktu sekolahnya kakak perempuan tertua saya. Katanya saya lahir tidak begitu lama setelah kakak saya itu berangkat sekolah. "Ya kira-kira antara pukul 08 atau setengah sembilan pagi lah" begitu jawaban ibu saya ketika ditanya ketepatan waktu lahirnya saya. Harinya sendiri belum dapat saya pastikan apakah benar hari sabtu atau bukan. Di sini saya belum mencoba mencari kepastian dengan usaha menerapkan metode hisabnya ilmu falak yang mampu memutuskan waktu masa lalu secara pasti. Yang jelas tarikh penanggalannya adalah bertepatan dengan tanggal 01 bulan Januari tahun 1986.

Kisah tragis mulai terjadi beberapa bulan setelah masa kelahiran saya. Kira-kira baru menginjak umur dua atau tiga bulanan, menurut kabar dari ibu saya, tangan kanan saya pernah digigit oleh tikus ketika saya tengah tertidur pulas dan ditinggal keluar kamar olehnya. Tangan saya yang masih mungil dan unyu-unyu itu nyatanya terlihat sudah berlumuran darah ketika ibu saya hendak mengecek kondisi saya yang tidak terdengar apa-apa dalam waktu yang lumayan lama. 

Ibu saya menjerit histeris meminta tolong kepada ayah saya agar cepat menghampirinya dengan teriakan "Kang.. Akang.. cepat kesini... anak kita dipatuk ular...!". Kenapa kesimpulan ibu ketika melihat tangan saya berlumuran darah itu adalah akibat patukan ular? Nyatanya pandangan ibu saya pertama kalinya adalah bukan melihat tikus, melainkan kaget campur takut karena ular tengah diam melingkar di samping tempat saya terbaring tidur. Jenis ular sapi yang lumayan besar, sebesar pergelangan tangan orang dewasa, terlihat tengah melingkarkan tubuhnya dengan kepalanya memandang tajam ke arah tempat ibu saya berdiri. Tersentak kaget lalu timbul rasa keamanan hidupnya tengah terancam lah mungkin yang membuat si ulah itu malah cepat-cepat mengudarkan posisi lingkaran tubuhnya dan pergi ke bawah risbang dan menghilang, bukan tetap diam atau mendekat ke ibu saya.

Baru setelah ular itu dipastikan oleh ayah saya sudah tidak ada, ibu saya kemudian menggendong saya dan membawanya cepat-cepat ke luar kamar. Ayah saya kemudian mengobrak abrik isi kamar untuk memastikan sang ular benar-benar sudah tidak ada di wilayah kamar. Di waktu tengah mengobrak abrikan kamar itu lah ayah saya kemudian menemukan seekor tikus sudah mati dengan darah yang masih segar mengalir dari bagian tubuhnya akibat beberapa bekas cabikan gigi ular.

Hasil pemeriksaan dokter PUSKESMAS menyimpulkan bahwa luka di telapak tangan saya adalah bekas gigitan tikus, bukan ular. Pada akhirnya ternyata ular yang pada awalnya menjadi tersangka penjahat itu nyatanya justru adalah penyelamat saya. 

Meski luka bekas gigitan tikus itu langsung diobati, racunnya mungkin tidak bisa secara total diam di tubuh saya. Berbulan-bulan tubuh saya yang masih bayi itu kemudian sakit-sakitan terkena infeksi. Benjolan-benjolan semisal bisul menjalar di seluruh bagian kepala. Dan itu membuat rasa khawatir berat kian menjadi makanan sehari-hari yang menghantui ibu saya akan keberlangsungan nasib hidup saya.

Mungkin akibat banyak sakit-sakitanlah penyebab saya di kemudian harinya mengalami kelambatan dalam menjalani proses perkembangan hidup masa balita. Di umur dua tahun, yang dalam perkembangan anak-anak normal sudah mulai banyak belajar bicara, saya katanya malah belum melakukan itu sama sekali. Bahkan ibu saya sampai punya kecurigaan bahwa saya mengalami kebisuan.

Sebuah perjalanan hidup yang sangat tidak mudah memang. Namun perkembangan hidup masa bayi bukan hanya peran orang tua yang dominan menentukan. Allah sang Maha Pencipta sangat berperan besar dalam menentukan taqdir kehidupan di masa itu. Bagai mana si anak bisa berjuang untuk bertahan hidup sementara dianya sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melakukannya. Orang tua pun hanya bisa mengira dan menduga apa yang sedang dihadapi anaknya lewat tangisan dan senyum-tawanya saja.

Apa skenario yang akan terjadi di masa depan seorang anak yang dari awal masa hidupnya sudah mengalami kondisi sulit seberat itu? Orang tua tidak tahu menahu akan kepastiannya. Hanya do'a, harapan, dan usaha maksimal lah yang bisa mereka lakukan agar anak yang jadi harapan penerus hidupnya bisa bertahan dan tumbuh besar    ....Bersambung

Rabu, 19 Juni 2013

Antara Do'a dan Mantra (bagian 1)

     ,      No comments   

PENDAHULUAN

Ada cerita sedikit nih kawan-kawan. Suatu hari saya pernah diajak berbincang oleh seseorang yang sudah berumur menginjak tua. Dalam perbincangannya itu dia sedikit bercerita tentang pengalaman hidupnya. Kemudian sampailah ia pada titik dimana puncak emosional orang lanjut usia bermain. Ia memberi sedikit masukan kepada saya bahwasannya apabila saya menghadapi permasalahan hidup, seperti kesulitan jodoh, ekonomi, karir dan yang lainnya, bisalah saya menghubungi dia dan minta tolong padanya. Hal itu lantaran, menurut pengakuannya sendiri, dia adalah orang yang memiliki kelebihan ilmu dalam mengatasi persoalan itu. Gurunya yang sering dia tanyai, lanjutnya, sekarang usianya sudah seratus tahun lebih dan kehidupannya sangat shaleh. Dengan keshalehannya itulah sehingga do'a-doanya terkabul. Orang yang kena guna-guna bisa langsung sembuh, bahkan guna-gunanya bisa menyerang balik pada orang yang mengirimnya, dengan cukup mengambil tanah dari makam lalu diberi do'a oleh gurunya itu. Kelihatannya waktu itu dia habiskan untuk terus berusaha mencoba agar saya menjadi yakin akan kebenaran semua yang dikatakannya, sampai-sampai dia berulang-ulang memastikan saya bahwa ilmu yang dimilikinya itu bukan sihir, dia bukan dukun atau paranormal, sebab bacaan-bacaan yang dipakainya bukanlah jampe-jampe atau mantra melainkan adalah do'a-do'a yang diambil dari Al-Qur'an. Begitu isi singkat penjelasannya.

Setelah terlihat bahwa dia tengah menanti respon dari saya, saya pun kemudian mulai mengajaknya dialog. Sebagai pembukaan, saya mengajukan pertanyaan kepada beliau "Saya masih kurang paham sebenarnya apa yang membedakan antara do'a dan mantra/jampe-jampe pak, apakah bapak bisa menjelaskannya?". Mendapati pertanyaan semacam itu dia malah terlihat bingung. Raut muka dan tatapan matanya seakan melayang sejenak ke tempat lain. Mungkin ia tengah merenung sejenak, mencari cara bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu.

Setelah sedikit menunggu, dia kemudian menjawab: "Kalau masalah seperti itu sih tanyakan saja kepada orang yang sekolah dek, bukan ke saya, saya kan tidak pernah sekolah" jawabnya enteng. Saya kemudian menyusul jawabannya dengan sedikit mengingatkan kembali terhadap apa yang sudah dikatakannya. "Loh kok.. bukannya dari tadi bapak berusaha meyakinkan saya bahwa ilmu yang bapak miliki itu jalurnya adalah islam, bukan jalur setan, dengan alasan bacaan-bacaan yang dipakai bapak adalah do'a bukan mantra? kok bisa ya apa yang sama sekali tidak bapak pahami itu diyakini  dan dipastikan kebenarannya?" Tanggapannya kemudian malah tidak memecahkan permasalahan. Ia malah ngomong ke sana ke mari, ngelantur tak jelas arah. Dengan kelakuannya seperti itu saya menjadi yakin benar bahwa dia benar-benar tidak tahu perbedaan antara mantra dan do'a.

Semenjak dari kejadian itu dia terlihat seakan terus menghindari diri untuk masuk dalam dialog dengan saya, bahkan terlihat marah kepada saya yang sudah mengajukan pertanyaan, yang mungkin dirasanya telah memojokkan dirinya.

Kejadian itu terjadi kira-kira di pertengahan tahun 2012 kemarin. Dan saya menceritakan kembali kejadian itu hanya sebagai upaya penggambaran bahwa sebetulnya di luaran sana masih banyak orang yang belum paham betul perbedaan hakiki dari makna do'a dan mantra, sehingga banyak yang terjebak pada keadaan di mana keyakinannya mengatakan benar, sementara hakikat pastinya dia tengah terjerembab dalam kesalahan. Bahkan hal itu tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi agama islam saja, bahkan posisi jabatannya adalah sebagai dosen, kondisi itu masih menjerat mereka. Di  UIN Bandung, tempat saya dulu sempat belajar, tepatnya di Fakultas Dakwah jurusan Manajemen Dakwah, di sana ada mata kuliah "Epistimologi Do'a" dan jika dikaji secara teliti isi dari materi-materi yang dikupas dalam mata kuliah itu, justru seakan tidak ada perbedaan antara apa itu do'a dan apa itu mantra. Bahkan saya lebih cenderung menilai bahwa mata kuliah itu tidak layak dinamai "Epistimologi Do'a" tapi lebih cocoknya dinamai "Epistimologi Mantra", karena kajian yang diketengahkan selama perkuliahan berlangsung tidak sedikitpun menyentuh pokok-pokok rumusan do'a, malah tidak lebih dari upaya perasionalisasian aktivitas perdukunan semata. Upaya untuk menggali secara mendalam hakikat do'anya sendiri, jika pun tidak dikatan tidak ada, adalah sangat kurang sekali.

Kondisi-kondisi itu bisa terjadi, menurut kacamata pemahaman saya, jelas disebabkan oleh adanya kesimpangsiuran pemahaman yang masih mereka hadapi. Mereka mungkin sudah mengetahui bahwa di dalam ajaran Islam tidak ada mantra, bahkan Islam justru melarang keras penggunaan aktivitas itu. Namun untuk memahami secara benar perbedaan antara hakikat do'a yang diajarkan Islam dengan mantra yang dilarang oleh Islam, sepenuhnya belum bisa mereka pahami betul.

Meski saya insapi bahwa ilmu yang saya miliki untuk menjelaskan persoalan ini sangat jauh untuk dikatakan mapan, sehingga akan terbentur oleh banyaknya keterbatasan, namun melihat kondisi masyarakat semacam itu, saya merasa tertantang untuk mencoba mengetengahkan bahasan ini. Atas modal itulah lewat tulisan ini saya berusaha mengkaji persoalan ini.

Insya Allah bersambung.....

Sabtu, 01 Juni 2013

Ketika Ciri Hidup Adalah Gerakan

     ,      No comments   
Hari membuka matanya kembali
Malam temaram kini pergi perlahan hilang
Dan sepeda tua ini harus jua kukayuh kembali
Menembus putaran waktu
Mengenyam jarak lahan terbentang

Jika hidup ini berciri khas dengan geraknya,
Kinilah saatnya kuawali dan isi hidup itu dengan kehidupan, dengan gerakan
Dan cukupkan Allah Sang Maha Hidup menjadi saksinya
Dan kau, duhai sayangku,
Semoga kau menikmatinya....
 
Salam kehidupan
Salam berjuang...
***
 
Bandung, 23 February 2013

Ketika Cinta Tercitra Memaksa

     ,      No comments   
Adakah fikirmu sudah menyelam sedalam lautan
akan realita yang pernah kita alami
akan kejadian yang sempat kita hadapi
hingga kau temukan kilauan permata kesimpulan yang berharga?

Adakah fikirmu melambung tinggi ke angkasa makna?
tentang Apa sebetulnya yang pernah kulakukan?
Tentang apa yang pernah kuperbuat selain ucap?

Yang kurasa,
tak ada dalam niat dan gerak yang ada
dalam langkah dada dan ragaku
tergores makna wujud buat memaksa

Tapi entahlah apa yang kau lihat dan rasa
hingga kau kembali dan terus kembali menilai sebalinya

Bukan aku ingin mendapat penilaian baik di matamu
bukan pula ingin penilaianmu sama denganku
bukan pula rasaku berkata aku yang paling benar tentang semuanya
tentang asaku, niat dan tekat aku mencinta
tentang janjiku yang kini hanya bersisa setumpuk kotoran dosa yang tak tahu dengan apa kumembasuhnya
hanya kata maaf dan maaf yang baru bisa kubuat

Jika kesimpulan itu buah dari kedalaman logika mencerna
Dan jika pandangan itu buah dari ketinggian engkau melihatnya
Maka...
Maafkanlah aku yang tak bisa menggambarkan rasa cinta ini dengan sebenar-benar adanya
Maafkanlah aku yang selama ini sudah berwujud Sang Pemaksa di matamu
***

Bandung, 10 Januari 2013