Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Senin, 21 Oktober 2013

Keajaiban Daya Kerja Otak Manusia

     ,      No comments   
Seperti yang sering saya katakan dalam postingan-postingan terdahulu, kebiasaan saya dalam mengisi waktu ketika tidak terganggu dengan komunikasi bersama orang lain adalah mengisinya dengan berfikir mengenai hal-hal yang terlintas dalam pikiran dan patut untuk difikirkan lebih jauh. Dalam menjalani kebiasaan itu fikiran serta perasaan saya biasanya meracau saling bersautan. Seakan-akan mereka menjadi beberapa individu yang sedang melakukan dialog interaktif, berdebat, dan berdiskusi. Perasaan dan pikiran saya seakan tengah duduk dalam sebuah forum adu ketajaman analisa dalam mencermati sebuah persoalan. Hal itu akan berlangsung lebih segar lagi apabila saya tengah mandi di kamar mandi. Dan hal itu bukanlah kegiatan yang diagendakan. Semua berjalan begitu repleks, spontan, mengalir dengan sendirinya. Dan saya sendiri tidak tahu apakah hal itu bisa terjadi karena memang sudah menjadi kebiasaan saya semenjak kecil, atau karena memang itu adalah fitrah dasar manusia yang tentunya terjadi pada semua manusia.

Sebetulnya memikirkan tema tentang daya kerja otak manusia ini saya lakukan beberapa bulan yang lalu, bahkan bisa sampai satu tahun yang lalu. Sebagai patokannya, karena hal ini saya pikirkan ketika awal mula saya mulai mengamati kebiasaan yang tejadi di jalan raya, ketika saya mulai banyak menggunakan jalan raya sendirian dengan bersepeda saat pulang pergi ke tempat kerja. Dan pekerjaan itu saya awali di tahun 2012, tepatnya bulan mei awal. Namun tema ini baru bisa saya tuliskan sekarang karena sempat terlupakan dan baru teringat kembali setelah tadi siang saya berbincang dengan seorang teman kerja dan tak sengaja perbincangan tersebut menyinggung kembali tema pemikiran yang sudah lama saya pikirkan itu.

Pengamatan saya tertuju kepada kebiasaan orang-orang ketika mengendarai kendaraannya. Ketakjuban tejadi ketika pengamatan itu saya bandingkan dengan analisa matematika. Dalam ilmu matematika, untuk menghitung kecepatan rata-rata, serta luas sebuah ruangan, tentu membutuhkan rumus yang lumayan rumit dan apabila kita disuguhi soal tentang itu untuk megisinya mmbutuhkan waktu bermenit-menit. Namun apa yang terjadi ketika kita mengendarai kendaraan di jalan raya, yang di sana banyak kendaraan lain, dan kita dituntut untuk cermat mengambil keputusan apakah akan selamat apabila menyiap kendaraan lain di depan kita, atau tidak. Biasanya keputusan itu, apa lagi apabila dalam keadaan sedang ngebut,  bisa kita putuskan dala hitungan detik. Padahal, seperti saya katakan tadi, apabila keputuskan itu harus memakai kerangka berfikir rumus matematika tentu tidak bisa secepat itu.

Dari kondisi semacam itu saya bisa memastikan bahwa pada dasarnya, daya kerja otak kita untuk berfikir dan mencerna suatu persoalan itu sangat cepat kerjanya. Kita bisa memahami sebuah persoalan, kita bisa menganalisa sebuah kasus, serta kita bisa membuat kesimpulan yang tepat itu, bisa dalam waktu hitungan detik saja. Contoh kasusnya seperti tadi. Untuk menghitung jarak antara satu kendaraan dengan kendaraan lain hingga kita bisa memutuskan bahwa kendaraan yang kita bawa itu akan masuk ke sela-sela jarak yang ada, tentu harus pula kita mengukur besar kendaraan kita. Namun dengan kecermatan mata kita dalam melihat, serta kecepatan daya analisa otak kita, hal itu bisa kita kalkulasikan hingga menjadi sebuah kesimpulan yang bisa diambil dalam waktu singkat. Sebuah daya kerja yang sebetulnya belum bisa ditandingi oleh kemajuan teknologi apa pun.

Kesulitan yang kita hadapi selama ini saat mencerna pelajaran, saat mencari solusi, saat menghafal suatu hafalan, bukan disebabkan oleh rendahnya daya kerja otak kita. Tapi lebih dilantarankan oleh faktor kebiasaan kita dalam menggunakan otak kita sendiri, serta perasaan pesimistis yang mempengaruhi faktor kita dalam menperlakukannya.

Lalu apa gunanya langkah menyadarkan diri kita bahwa sebetulnya kita memiliki potensi brilian dalam daya kerja otak kita? Tentu hal ini akan merubah mineset kita dalam menyikapi diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri tentu hal ini akan lebih menumbuhkan rasa optimisme diri bahwa kita dengan potensi itu sebetulnya memiliki peluang besar untuk meningkatkan kualitas daya nalar dan daya intelektual. Sementara penyikapan terhadap orang lain, akan tumbuhnya rasa perlakuan hormat, sebab mereka pada hakikatnya memiliki potensi yang sama seperti kita.

Kita yang selama ini tenggelam dalam perasaan rendah diri, yang larut dalam perasaan pesimisme diri sendiri, sudah saatnya untuk sadar akan potensi yang sesungguhnya dimiliki. Kita bisa bangkit lebih kuat, kita bisa tumbuh lebih besar, dari kondisi sebelumnya. Dengan kita menyadari akan potensi yang kita miliki.
Semoga bermanfaat.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Memilih Hijrah ke Pesantren Cibegol

Di pertengahan tahun 2002 perjalanan sekolah saya di Pesantren Persatuan Islam 84 Ciganitri harus mulai saya akhiri. Selain konsentrasi belajar yang sudah semakin kacau balau, kondisi ekonomi yang saya hadapi pun memang sudah tidak memungkinkan lagi. Dari sejak tsanawiyyah orang tua memang sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikan saya untuk sekolah di Pesantren Persis Ciganitri. Itulah mengapa baru menginjak kelas 2 saja saya awalnya harus berhenti sekolah. Namun waktu itu al-Ustadz UA. Saefuddin, yang kebetulan jadi nadhir asrama, dengan sigap mencarikan solusi agar saya tetap bisa bertahan di sana. Berkat bantuan kerja keras beliau lah saya pada akhirnya mendapatkan dana bantuan dari jama'ah pengajian beliau di PLN Bandung, hingga saya bisa menyelesaikan pendidikan jenjang tsanawiyyah di Ciganitri. Beres tsnawiyyah saya melanjutkan ke tingkat Mu'allimin di pesantren  yang sama. Saya tidak punya harapan atau pun bayangan lain selain menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas di sana. Namun taqdir berkata lain. Baru satu semester saya menikmati bangku Mu'allimien Ciganitri, dana bantuan berhenti. Saya harus mencari celah lain untuk bisa bertahan sampai kenaikan kelas tiba.

Seperti dikatakan di awal, saya tidak punya bayangan sedikit pun untuk bisa melanjutkan ke sekolah lain. Kondisi ekonomi orang tua yang sudah angkat tangan dari semenjak tsanawiyyah membuat pikiran saya mentok bila harus memikirkan kemana saya harus melanjutkan sekolah. Apa lagi bila nyatanya al-Ustadz UA Saefuddin yang dulu siap membantu saya pun kini mengalami hal serupa. Beban berat bagi saya untuk menghadapi kondisi semacam ini.

Tidak ada orang yang bisa saya ajak sharing waktu itu selain teman dekat. Meski kakak saya masih di Ciganitri, karena melanjutkan kuliahnya di STAIPI, rasanya tidak mungkin untuk membagi beban berat ini dengannya. Melihat beban hidup dia waktu itu yang lebih berat dari saya, tidak mungkin apabila harus ditambah lagi dengan memikirkan beban saya. Maka hanya kepada teman lah pilihan satu-satunya buat saya curahkan beban ini. Teman yang sangat dekat kala itu adalah Angga Hidayat (Hidayat apa Hidayatullah ya, saya lupa lagi nama kepanjangannya..hehe). Di Ciganitri Angga juga memiliki kakak yang sekolahnya hanya beda dua tingkat dengan kami. Angga beserta kaka perempuannya merupakan santri pindahan dari Cibegol, dan masuk ke Ciganitri kelas 1 Mu'allimien.

Pada akhirnya Angga mengajak main ke rumahnya di Soreang. Harapannya semoga saja dengan diobrolkannya beban saya ke orang tuanya bisa ditemukan solusi yang terbaik. Berangkat lah saya mengunjungi keluarganya. Singkat cerita, hasil dari obrolan yang cukup panjang bersama kedua orang tuanya itu, sekolah saya bisa dibantu oleh mereka, dengan syarat saya harus bekerja di rumahnya. Dan syarat lainnya adalah saya harus pindah sekolah ke Pesantren Persatuan Islam no 34 Cibegol. Pertimbangannya sendiri, selain biaya sekolah di Cibegol lebih murah, letak sekolahnya yang lebih dekat dari Soreang Kota akan lebih memungkinkan saya untuk sekolah sambil kerja.


Cibegol...!! Saya tidak punya bayangan bisa sekolah di sana, terlintas dalam pikiran pun sama sekali tidak pernah. Mitos yang beredar di dunia pesantren Persis, minimalnya yang tertanam dalam benak saya kala itu, Cibegol adalah sekolah ketat dengan mutu pendidikan yang tinggi. Hanya orang-orang cerdas yang bisa sekolah di sana. Saya banyak mendengar hal itu dari obrolan bersama banyak alumni Cibegol yang pindah ke Ciganitri. Dengan mempertimbangkan kapasitas kemampuan diri saya sendiri, maka suguhan pilihan untuk pindah ke Cibegol kala itu adalah pilihan berat. Sekolah selama empat tahun di Ciganitri, dengan jumlah santri yang tidak pernah lebih dari 30 orang saja,  saya tidak termasuk santri yang berprestasi, gimana nantinya jika di Cibegol coba? Namun apa boleh buat, pada akhirnya memang hanya pilihan itu yang bisa saya ambil untuk menyelamatkan dunia sekolah saya. Meski pada awalnya berat apabila harus berpisah dengan kawan-kawan yang sudah empat tahun hidup bersama, harus pisah juga dengan kekasih hati yang baru beberapa bulan menjalin hubungan, saya harus bisa membulatkan tekat memilih untuk hijrah dengan meninggalkan semua kenangan lama dan beradaptasi dengan lingkungan baru.  

Sabtu, 28 September 2013

Saya Ingin Sekolah (Pase Kesatu)

          No comments   
Ketika mulai belajar bicara, untuk menyebutkannya saja saya sendiri tidak bisa. Nama saya ribet, sulit,dan mungkin juga berat untuk hanya sekedar dilafalkan lidah. Setidaknya begitulah yang saya alami ketika disuruh untuk menyebutkannya pertama kali. Yang bisa diikuti hanya mengulang-ulang kata depannya saja. "Pu...Pung... Pu..Pung.. Pupung.!" hanya kata itu yang bisa saya lantunkan ketika dituntun untuk menyebutkan "Purnawarman". Dan kata Pupung nyatanya lebih populer jadi panggilan saya ketimbang nama Purnawarman. Dari mulai Ua, Emang, Bibi, sepupu, para tetangga, teman-teman sekolah, hingga para guru saya, lebih mengenal saya dengan nama Pupung. Apabila anda menanyakan saya di kampung saya dengan nama Purnawarman, kecil kemungkinan bagi anda untuk menemukan saya. 

Ilustrasi
Saya sendiri sebetulnya tidak familiar dengan nama itu. Pernah suatu hari, pas pertama kali saya masuk sekolah dasar, saya diabsen oleh guru (kalau tidak salah bu Ida namanya) tapi saya tidak ngacung-ngacung. Teman-teman yang lain pun malah saling lirik antar satu dengan lainnya penuh kebingungan. Hingga sempat beberapa kali diteriakkan, baru ngeuh saya mendengarnya kalau ternyata panggilan itu ditujukan ke saya, itu nama saya. Setelah mengacungkan jari telunjuk ke arah langit setinggi-tingginya, teman-teman saya bersorak soray kegirangan. Mereka semua ricuh berteriak cengengesan, "Itu mah si Pupung Bu Guru, bukan Purnawarman" begitu teriak mereka. Memang saya sering kali asing juga dengan nama sendiri, terutama disebabkan jarangnya nama itu saya pakai di kehidupan sehari-hari.

Meski demikian, apa boleh buat, nama saya yang asli pemberian dari orang tua adalah Purnawarman. Hanya Purnawarman. Tidak ada nama depan atau belakanya. Dan lewat nama itu lah saya pertama kali bisa menulis dan membaca huruf latin. Ibu saya mengajarkan cara menulis dan membaca ketika saya berumur empat tahun, ketika saya merengek tiap hari ingin sekolah seperti kakak saya.

Saya dan kakak, berikut kedua saudara sepupu saya (anaknya Ua), dihitan berbarengan. Jika kedua sepupu saya hitanannya dirayakan dengan acara meriah, karena mereka termasuk keluarga cukup berada, maka saya beserta kakak hanya cukup dimeriahkan dengan dibuatkan wajit raksasa yang tidak habis dimakan dalam sebulan. Waktu itu saya juga teramat gembira karena berkesempatan makan beberapa hari dengan daging kerewedan sebagai lauk pauknya. Daging kerewedan itu adalah daging domba tapi serpihan-serpihan paling alot di antara jenis daging yang lainnya. Gigi kita sangat sulit untuk mengunyahnya hingga lembut. Meski jenis daging itu yang jadi santapan istimewa di hari perayaan hitanan kami, hal itu tidak lantas mengurangi rasa bahagia kami. Karena saya sudah paham bahwa memang hanya itu makanan paling istimewa yang bisa orang tua saya berikan.

Ilustrasi
Tidak berapa lama dari kesembuhan hitanan kami, kakak saya ternyata langsung didaftarkan masuk sekolah dasar. Waktu mengetahui hal itu saya juga ingin sekali ikut sekolah. Tiap pagi datang dan kakak saya siap-siap berangkat sekolah, saya selalu nangis ingin ikut sekolah. Sampai akhirnya ayah saya terpaksa mendadak belanja baju seragam SD buat saya.  

Sambil memakai seragam putih merah dengan tas gendong warna merah yang mengkilat, karena terbuat dari bahan plastik, saya di rumah, tepatnya ruang tengah, secara tekun terus berusaha melukis gambar-gambar huruf yang ibu saya contohkan sebelumnya. Saya bisa tekun menghabiskan waktu menuliskan huruf-huruf nama saya karena kata ibu saya baru bisa masuk sekolah kalau sudah bisa membaca dan menulis tulisankan nama saya sendiri. Sementara baju seragam dan tas gendong itu tidak mau saya lepaskan sampai tiba waktunya kakak saya datang pulang dari sekolahnya. Saya sangat gembira apabila melihat kakak saya baru pulang, karena waktu itu adalah waktu paling berharga bagi saya untuk mencari informasi suasana sekolah yang sangat ingin saya ketahui. Saya akan terus bertanya sampai kakak saya bosan menjawabnya, dan saya balik dimarahi olehnya karena teramat jengkelnya mungkin.

Kondisi serupa itu terus berulang setiap harinya hingga saya sendiri tidak tahu kapan akhirnya saya bisa berhenti melakukan itu. Yang jelas pada masa-masa itulah saya menanyakan secara serius tentang latar belakang saya kenapa sampai diberi nama "Purnawarman". Terjadi kira-kira di tahun 1989 akhir.


Meringis Nangis dari Semenjak Bayi Untuk Kuat di Masa Dewasa

          No comments   
Mengenang kembali masa lalu di saat waktu hening, tengah merenung, mencari obat luka bekas goresan-goresan kenyataan yang berat untuk diterima, adalah salah satu bagian dari cara yang saya lalui untuk mempertimbangkan kembali kesimpulan pemaknaan terhadap kenyataan hidup, mau pun untuk mencari langkah yang selayaknya saya putuskan untuk dikerjakan kemudian.  Masa lalu bagi saya adalah coretan-coretan ilmu pasti yang sudah dibuktikan kebenarannya dalam rupa pengalaman. Maka sangatlah wajar apabila masa lalu itu sering kali saya jadikan sebagai salah satu bagian dari referensi untuk bahan pertimbangan.

Ketika rasa pesimis datang menghampiri, pikiran saya biasanya tengah terganggu oleh kenyataan hidup yang pahit. Oleh perbedaan dengan saudara-saudara sekandung saya, oleh perlakuan orang tua yang seringkali membedakan saya dengan mereka, oleh jalan hidup yang terlalu banyak warna melebihi garis kebiasaan hidup mereka, oleh... oleh... dan oleh... banyak hal lainnya yang seringkali tak sengaja datang bercucuran meracuni pikiran saya. Pikiran-pikiran itulah yang apabila tidak dicerna secara bijak, tatkala mengolah kesimpulan, biasanya menjadikan saya prustasi dan banyak menyalahkan orang lain.

Saya memang terlahir dengan kisah yang cukup berbeda bila dibandingkan dengan saudara-saudara kandung saya yang lain. Dari mulai masa detik-detik saya baru dilahirkan, masa ketika kedua orangtua saya harus memberikan keputusan penerapan nama bagi saya, masa perkembangan balita saya, hingga kisah-kisah yang saya lalui dengan penuh ingat dan kesadaran saya di kemudiannya.

Bukan ingin diketahui banyak orang tujuan utama saya menuliskan kisah hidup pribadi saya di blog ini. Saat menuliskan kisah ini saya masih dalam posisi manusia kecil yang kurang begitu memberikan pengaruh besar buat jalan kehidupan masyarakat mau pun keluarga besar saya. Ini hanya lah sebuah ikhtiar saya mendokumentasikan sejarah kehidupan pribadi agar tidak tergerus habis oleh sifat lupa seorang manusia. Andai pun di akhirnya menimbulkan manfaat buat yang membaca tulisan ini, maka tentu itu adalah nilai lebih yang tidak begitu jadi harapan hiperbola dari apa yang saya kerjakan.

Kisah Tentang Waktu Kelahiran dan Masa-masa Balita Saya

Memang saya lahir tidak dalam bentuk prematur, saya lahir dalam kondisi normal dan tanpa cesar. Waktu kelahiran saya, menurut ingatan ibu saya, adalah antara pukul 08-09 pagi. Karena tidak langsung dicatat waktunya maka patokan bagi ingatan ibu saya adalah dengan membandingkan waktu sekolahnya kakak perempuan tertua saya. Katanya saya lahir tidak begitu lama setelah kakak saya itu berangkat sekolah. "Ya kira-kira antara pukul 08 atau setengah sembilan pagi lah" begitu jawaban ibu saya ketika ditanya ketepatan waktu lahirnya saya. Harinya sendiri belum dapat saya pastikan apakah benar hari sabtu atau bukan. Di sini saya belum mencoba mencari kepastian dengan usaha menerapkan metode hisabnya ilmu falak yang mampu memutuskan waktu masa lalu secara pasti. Yang jelas tarikh penanggalannya adalah bertepatan dengan tanggal 01 bulan Januari tahun 1986.

Kisah tragis mulai terjadi beberapa bulan setelah masa kelahiran saya. Kira-kira baru menginjak umur dua atau tiga bulanan, menurut kabar dari ibu saya, tangan kanan saya pernah digigit oleh tikus ketika saya tengah tertidur pulas dan ditinggal keluar kamar olehnya. Tangan saya yang masih mungil dan unyu-unyu itu nyatanya terlihat sudah berlumuran darah ketika ibu saya hendak mengecek kondisi saya yang tidak terdengar apa-apa dalam waktu yang lumayan lama. 

Ibu saya menjerit histeris meminta tolong kepada ayah saya agar cepat menghampirinya dengan teriakan "Kang.. Akang.. cepat kesini... anak kita dipatuk ular...!". Kenapa kesimpulan ibu ketika melihat tangan saya berlumuran darah itu adalah akibat patukan ular? Nyatanya pandangan ibu saya pertama kalinya adalah bukan melihat tikus, melainkan kaget campur takut karena ular tengah diam melingkar di samping tempat saya terbaring tidur. Jenis ular sapi yang lumayan besar, sebesar pergelangan tangan orang dewasa, terlihat tengah melingkarkan tubuhnya dengan kepalanya memandang tajam ke arah tempat ibu saya berdiri. Tersentak kaget lalu timbul rasa keamanan hidupnya tengah terancam lah mungkin yang membuat si ulah itu malah cepat-cepat mengudarkan posisi lingkaran tubuhnya dan pergi ke bawah risbang dan menghilang, bukan tetap diam atau mendekat ke ibu saya.

Baru setelah ular itu dipastikan oleh ayah saya sudah tidak ada, ibu saya kemudian menggendong saya dan membawanya cepat-cepat ke luar kamar. Ayah saya kemudian mengobrak abrik isi kamar untuk memastikan sang ular benar-benar sudah tidak ada di wilayah kamar. Di waktu tengah mengobrak abrikan kamar itu lah ayah saya kemudian menemukan seekor tikus sudah mati dengan darah yang masih segar mengalir dari bagian tubuhnya akibat beberapa bekas cabikan gigi ular.

Hasil pemeriksaan dokter PUSKESMAS menyimpulkan bahwa luka di telapak tangan saya adalah bekas gigitan tikus, bukan ular. Pada akhirnya ternyata ular yang pada awalnya menjadi tersangka penjahat itu nyatanya justru adalah penyelamat saya. 

Meski luka bekas gigitan tikus itu langsung diobati, racunnya mungkin tidak bisa secara total diam di tubuh saya. Berbulan-bulan tubuh saya yang masih bayi itu kemudian sakit-sakitan terkena infeksi. Benjolan-benjolan semisal bisul menjalar di seluruh bagian kepala. Dan itu membuat rasa khawatir berat kian menjadi makanan sehari-hari yang menghantui ibu saya akan keberlangsungan nasib hidup saya.

Mungkin akibat banyak sakit-sakitanlah penyebab saya di kemudian harinya mengalami kelambatan dalam menjalani proses perkembangan hidup masa balita. Di umur dua tahun, yang dalam perkembangan anak-anak normal sudah mulai banyak belajar bicara, saya katanya malah belum melakukan itu sama sekali. Bahkan ibu saya sampai punya kecurigaan bahwa saya mengalami kebisuan.

Sebuah perjalanan hidup yang sangat tidak mudah memang. Namun perkembangan hidup masa bayi bukan hanya peran orang tua yang dominan menentukan. Allah sang Maha Pencipta sangat berperan besar dalam menentukan taqdir kehidupan di masa itu. Bagai mana si anak bisa berjuang untuk bertahan hidup sementara dianya sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melakukannya. Orang tua pun hanya bisa mengira dan menduga apa yang sedang dihadapi anaknya lewat tangisan dan senyum-tawanya saja.

Apa skenario yang akan terjadi di masa depan seorang anak yang dari awal masa hidupnya sudah mengalami kondisi sulit seberat itu? Orang tua tidak tahu menahu akan kepastiannya. Hanya do'a, harapan, dan usaha maksimal lah yang bisa mereka lakukan agar anak yang jadi harapan penerus hidupnya bisa bertahan dan tumbuh besar    ....Bersambung

Rabu, 19 Juni 2013

Antara Do'a dan Mantra (bagian 1)

     ,      No comments   

PENDAHULUAN

Ada cerita sedikit nih kawan-kawan. Suatu hari saya pernah diajak berbincang oleh seseorang yang sudah berumur menginjak tua. Dalam perbincangannya itu dia sedikit bercerita tentang pengalaman hidupnya. Kemudian sampailah ia pada titik dimana puncak emosional orang lanjut usia bermain. Ia memberi sedikit masukan kepada saya bahwasannya apabila saya menghadapi permasalahan hidup, seperti kesulitan jodoh, ekonomi, karir dan yang lainnya, bisalah saya menghubungi dia dan minta tolong padanya. Hal itu lantaran, menurut pengakuannya sendiri, dia adalah orang yang memiliki kelebihan ilmu dalam mengatasi persoalan itu. Gurunya yang sering dia tanyai, lanjutnya, sekarang usianya sudah seratus tahun lebih dan kehidupannya sangat shaleh. Dengan keshalehannya itulah sehingga do'a-doanya terkabul. Orang yang kena guna-guna bisa langsung sembuh, bahkan guna-gunanya bisa menyerang balik pada orang yang mengirimnya, dengan cukup mengambil tanah dari makam lalu diberi do'a oleh gurunya itu. Kelihatannya waktu itu dia habiskan untuk terus berusaha mencoba agar saya menjadi yakin akan kebenaran semua yang dikatakannya, sampai-sampai dia berulang-ulang memastikan saya bahwa ilmu yang dimilikinya itu bukan sihir, dia bukan dukun atau paranormal, sebab bacaan-bacaan yang dipakainya bukanlah jampe-jampe atau mantra melainkan adalah do'a-do'a yang diambil dari Al-Qur'an. Begitu isi singkat penjelasannya.

Setelah terlihat bahwa dia tengah menanti respon dari saya, saya pun kemudian mulai mengajaknya dialog. Sebagai pembukaan, saya mengajukan pertanyaan kepada beliau "Saya masih kurang paham sebenarnya apa yang membedakan antara do'a dan mantra/jampe-jampe pak, apakah bapak bisa menjelaskannya?". Mendapati pertanyaan semacam itu dia malah terlihat bingung. Raut muka dan tatapan matanya seakan melayang sejenak ke tempat lain. Mungkin ia tengah merenung sejenak, mencari cara bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu.

Setelah sedikit menunggu, dia kemudian menjawab: "Kalau masalah seperti itu sih tanyakan saja kepada orang yang sekolah dek, bukan ke saya, saya kan tidak pernah sekolah" jawabnya enteng. Saya kemudian menyusul jawabannya dengan sedikit mengingatkan kembali terhadap apa yang sudah dikatakannya. "Loh kok.. bukannya dari tadi bapak berusaha meyakinkan saya bahwa ilmu yang bapak miliki itu jalurnya adalah islam, bukan jalur setan, dengan alasan bacaan-bacaan yang dipakai bapak adalah do'a bukan mantra? kok bisa ya apa yang sama sekali tidak bapak pahami itu diyakini  dan dipastikan kebenarannya?" Tanggapannya kemudian malah tidak memecahkan permasalahan. Ia malah ngomong ke sana ke mari, ngelantur tak jelas arah. Dengan kelakuannya seperti itu saya menjadi yakin benar bahwa dia benar-benar tidak tahu perbedaan antara mantra dan do'a.

Semenjak dari kejadian itu dia terlihat seakan terus menghindari diri untuk masuk dalam dialog dengan saya, bahkan terlihat marah kepada saya yang sudah mengajukan pertanyaan, yang mungkin dirasanya telah memojokkan dirinya.

Kejadian itu terjadi kira-kira di pertengahan tahun 2012 kemarin. Dan saya menceritakan kembali kejadian itu hanya sebagai upaya penggambaran bahwa sebetulnya di luaran sana masih banyak orang yang belum paham betul perbedaan hakiki dari makna do'a dan mantra, sehingga banyak yang terjebak pada keadaan di mana keyakinannya mengatakan benar, sementara hakikat pastinya dia tengah terjerembab dalam kesalahan. Bahkan hal itu tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi agama islam saja, bahkan posisi jabatannya adalah sebagai dosen, kondisi itu masih menjerat mereka. Di  UIN Bandung, tempat saya dulu sempat belajar, tepatnya di Fakultas Dakwah jurusan Manajemen Dakwah, di sana ada mata kuliah "Epistimologi Do'a" dan jika dikaji secara teliti isi dari materi-materi yang dikupas dalam mata kuliah itu, justru seakan tidak ada perbedaan antara apa itu do'a dan apa itu mantra. Bahkan saya lebih cenderung menilai bahwa mata kuliah itu tidak layak dinamai "Epistimologi Do'a" tapi lebih cocoknya dinamai "Epistimologi Mantra", karena kajian yang diketengahkan selama perkuliahan berlangsung tidak sedikitpun menyentuh pokok-pokok rumusan do'a, malah tidak lebih dari upaya perasionalisasian aktivitas perdukunan semata. Upaya untuk menggali secara mendalam hakikat do'anya sendiri, jika pun tidak dikatan tidak ada, adalah sangat kurang sekali.

Kondisi-kondisi itu bisa terjadi, menurut kacamata pemahaman saya, jelas disebabkan oleh adanya kesimpangsiuran pemahaman yang masih mereka hadapi. Mereka mungkin sudah mengetahui bahwa di dalam ajaran Islam tidak ada mantra, bahkan Islam justru melarang keras penggunaan aktivitas itu. Namun untuk memahami secara benar perbedaan antara hakikat do'a yang diajarkan Islam dengan mantra yang dilarang oleh Islam, sepenuhnya belum bisa mereka pahami betul.

Meski saya insapi bahwa ilmu yang saya miliki untuk menjelaskan persoalan ini sangat jauh untuk dikatakan mapan, sehingga akan terbentur oleh banyaknya keterbatasan, namun melihat kondisi masyarakat semacam itu, saya merasa tertantang untuk mencoba mengetengahkan bahasan ini. Atas modal itulah lewat tulisan ini saya berusaha mengkaji persoalan ini.

Insya Allah bersambung.....