Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Rabu, 08 Januari 2014

RESIGN: Antara Prinsip, Akad, dan Mekanisme Kerja (2)

     ,      No comments   
Kali ini saya akan membahas mengenai prinsip kerja yang saya pegang, hingga (mudah-mudahan dengan dipaparkannya persoalan ini bisa difahami) alasan kenapa saya memilih untuk resign. Tapi sebelum membahas persoalan pokok itu, supaya saya dan pembaca sekalian tidak terjadi beda sudut pandang dalam memahami istilah "prinsip" yang saya maksudkan dalam tulisan ini, alangkah baiknya apabila saya memaparkan terlebih dahulu pengertian istilah "prinsip" itu sendiri.

Dalam catatan yang tersedia di Wikipedia Indonesia, kata "Prinsip" bermakna: "Suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan oleh seseorang/ kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak". Lebih lanjutnya artikel itu menjelaskan bahwasannya "Sebuah prinsip merupakan roh dari sebuah perkembangan ataupun perubahan, dan merupakan akumulasi dari pengalaman ataupun pemaknaan oleh sebuah obyek atau subyek tertentu". Kurang lebihnya itulah makna kata yang saya pahami dan pegang ketika memakai istilah prinsip dalam tulisan ini.
Lalu apa prinsip saya dalam bekerja? Bagi saya bekerja adalah upaya perpindahan hak milik seseorang menjadi milik kita. Dengan kata lain, bekerja bagi saya tidak ubahnya dengan upaya jual beli. Kenapa demikian? Karena dalam bekerja, upah yang kita terima pada awalnya adalah hak milik orang lain, yang kemudian upah tersebut dipindah-tangankan hak miliknya kepada kita lantaran pekerjaan yang telah kita lakoni. Dengan pandangan mendasar seperti itulah, di luar persoalan modal dan pengambilan keuntungan, saya menilai usaha "bekerja" tidak bedanya dengan usaha jual beli.

Dengan pandangan dan pemaknaan kerja semacam itu, maka posisi akad (nota kesepakatan) yang dibangun antara pekerja dan pemegang usaha (tempat kita bekerja) serta proses kerja yang kita jalankan selama bekerja di sana adalah menjadi kunci halal atau haramnya upah (hasil) yang kita terima nantinya. Kita akan menjadi orang yang amanah jika selama menjalani pekerjaan senantiasa memegang akad yang telah disepakati, dan akan menjadi sosok pengkhianat jika dalam bekerja tidak berusaha memenuhi akad.

Potret sejarah yang dilalui Rasulullah saat menjalankan kesepakatan dalam "Piagam Madinah" serta "Perjanjian Hudaibiyah" kiranya sudah cukup menjadi tauladan bagi kita untuk senantiasa memegang teguh isi perjanjian dan kesepakatan yang telah dibangun. Apakah pada akhirnya di kemudian hari ternyata perjanjian itu menguntungkan atau merugikan, jangan menjadi alasan untuk taat atau khianat. Sepanjang perjanjian itu dibatalkan atau sampai pada akhir masa berlakunya, kewajiban kita adalah menta'atinya. Dengan keta'atan itulah Allah menjanjikan keberkahan.

Rabu, 01 Januari 2014

RESIGN: Antara Prinsip, Akad, dan Mekanisme Kerja (1)

     No comments   
Sore tadi (Selasa, 31 Desember 2013) saya resmi mengundurkan diri dari perusahaan brownies kukus Mu2FiN. Di sana saya bisa bertahan sampai satu setengah tahun. Al-Hamdu lillah


Pengunduran diri saya bukan lantaran dilandasi persoalan materi, bukan juga masalah jenis pekerjaannya. Bagi saya pribadi, selama bekerja di pabrik brownies kukus "Mu2Fin", hal itu tidak ada yang patut untuk dipersoalkan. Semuanya damai, cukup dan wajar. Yang jadi ganjalan hingga saya memutuskan untuk resign (mengundurkan diri) adalah persoalan yang menyangkut prinsip saya pribadi dalam menjalankan akad yang sebelumnya telah dibangun antara saya dan atasan, serta persoalan implementasinya dalam mekanisme kerja yang diterapkannya selama saya bekerja di sana.

Bagi sebagian (atau bisa jadi kebanyakan) orang, boleh jadi persoalan demikian bukanlah persoalan berarti, apalagi bila sampai harus mengundurkan diri. Tapi bagi saya justru persoalan-persoalan ini lebih besar nilainya melebihi besarnya persoalan-persoalan materi. 

Semasa saya berusaha menyelesaikan sekolah Mu'allimin (Jenjang sekolah setingkat SMA di Pesantren Persatuan Islam) tahun 2002-2005, saya menjalani sekolah dengan sambil bekerja untuk bisa membiayainya. Jam kerjanya sendiri adalah seluruh waktu selama di luar jam sekolah saya. Maklum, pekerjaan saya waktu itu adalah menjadi satpam di rumah salah seorang teman saya. Dan anda tau berapa upah saya? Upah saya waktu itu hanya jaminan biaya sekolah (biaya SPP bulanan Rp 15.000/bln, ongkos sekolah 3000/hari, dan jaminan peralatan sekolah), serta jaminan makan sehari-hari. Saya lalui kerja itu sampai dua tahun, dan enam bulan berikutnya (karena sekolah sudah beres) saya mendapat upah 250 ribu/bulan. Tidak pernah sedikit pun saya mengeluh atau merasa keberatan. Sebab apa yag berlangsung selama itu adalah sesuai benar dengan apa yang telah disepakati bersama, antara saya dan atasan dalam akad awal kerja. Jadi secara selintas saja, dengan melihat latar belakang saya seperti itu, anda seharusnya bisa mendapatkan gambaran bagaimana sikap saya dalam memaknai posisi materi di persoalan kerja ini.
(Berseri....)

Senin, 21 Oktober 2013

Keajaiban Daya Kerja Otak Manusia

     ,      No comments   
Seperti yang sering saya katakan dalam postingan-postingan terdahulu, kebiasaan saya dalam mengisi waktu ketika tidak terganggu dengan komunikasi bersama orang lain adalah mengisinya dengan berfikir mengenai hal-hal yang terlintas dalam pikiran dan patut untuk difikirkan lebih jauh. Dalam menjalani kebiasaan itu fikiran serta perasaan saya biasanya meracau saling bersautan. Seakan-akan mereka menjadi beberapa individu yang sedang melakukan dialog interaktif, berdebat, dan berdiskusi. Perasaan dan pikiran saya seakan tengah duduk dalam sebuah forum adu ketajaman analisa dalam mencermati sebuah persoalan. Hal itu akan berlangsung lebih segar lagi apabila saya tengah mandi di kamar mandi. Dan hal itu bukanlah kegiatan yang diagendakan. Semua berjalan begitu repleks, spontan, mengalir dengan sendirinya. Dan saya sendiri tidak tahu apakah hal itu bisa terjadi karena memang sudah menjadi kebiasaan saya semenjak kecil, atau karena memang itu adalah fitrah dasar manusia yang tentunya terjadi pada semua manusia.

Sebetulnya memikirkan tema tentang daya kerja otak manusia ini saya lakukan beberapa bulan yang lalu, bahkan bisa sampai satu tahun yang lalu. Sebagai patokannya, karena hal ini saya pikirkan ketika awal mula saya mulai mengamati kebiasaan yang tejadi di jalan raya, ketika saya mulai banyak menggunakan jalan raya sendirian dengan bersepeda saat pulang pergi ke tempat kerja. Dan pekerjaan itu saya awali di tahun 2012, tepatnya bulan mei awal. Namun tema ini baru bisa saya tuliskan sekarang karena sempat terlupakan dan baru teringat kembali setelah tadi siang saya berbincang dengan seorang teman kerja dan tak sengaja perbincangan tersebut menyinggung kembali tema pemikiran yang sudah lama saya pikirkan itu.

Pengamatan saya tertuju kepada kebiasaan orang-orang ketika mengendarai kendaraannya. Ketakjuban tejadi ketika pengamatan itu saya bandingkan dengan analisa matematika. Dalam ilmu matematika, untuk menghitung kecepatan rata-rata, serta luas sebuah ruangan, tentu membutuhkan rumus yang lumayan rumit dan apabila kita disuguhi soal tentang itu untuk megisinya mmbutuhkan waktu bermenit-menit. Namun apa yang terjadi ketika kita mengendarai kendaraan di jalan raya, yang di sana banyak kendaraan lain, dan kita dituntut untuk cermat mengambil keputusan apakah akan selamat apabila menyiap kendaraan lain di depan kita, atau tidak. Biasanya keputusan itu, apa lagi apabila dalam keadaan sedang ngebut,  bisa kita putuskan dala hitungan detik. Padahal, seperti saya katakan tadi, apabila keputuskan itu harus memakai kerangka berfikir rumus matematika tentu tidak bisa secepat itu.

Dari kondisi semacam itu saya bisa memastikan bahwa pada dasarnya, daya kerja otak kita untuk berfikir dan mencerna suatu persoalan itu sangat cepat kerjanya. Kita bisa memahami sebuah persoalan, kita bisa menganalisa sebuah kasus, serta kita bisa membuat kesimpulan yang tepat itu, bisa dalam waktu hitungan detik saja. Contoh kasusnya seperti tadi. Untuk menghitung jarak antara satu kendaraan dengan kendaraan lain hingga kita bisa memutuskan bahwa kendaraan yang kita bawa itu akan masuk ke sela-sela jarak yang ada, tentu harus pula kita mengukur besar kendaraan kita. Namun dengan kecermatan mata kita dalam melihat, serta kecepatan daya analisa otak kita, hal itu bisa kita kalkulasikan hingga menjadi sebuah kesimpulan yang bisa diambil dalam waktu singkat. Sebuah daya kerja yang sebetulnya belum bisa ditandingi oleh kemajuan teknologi apa pun.

Kesulitan yang kita hadapi selama ini saat mencerna pelajaran, saat mencari solusi, saat menghafal suatu hafalan, bukan disebabkan oleh rendahnya daya kerja otak kita. Tapi lebih dilantarankan oleh faktor kebiasaan kita dalam menggunakan otak kita sendiri, serta perasaan pesimistis yang mempengaruhi faktor kita dalam menperlakukannya.

Lalu apa gunanya langkah menyadarkan diri kita bahwa sebetulnya kita memiliki potensi brilian dalam daya kerja otak kita? Tentu hal ini akan merubah mineset kita dalam menyikapi diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri tentu hal ini akan lebih menumbuhkan rasa optimisme diri bahwa kita dengan potensi itu sebetulnya memiliki peluang besar untuk meningkatkan kualitas daya nalar dan daya intelektual. Sementara penyikapan terhadap orang lain, akan tumbuhnya rasa perlakuan hormat, sebab mereka pada hakikatnya memiliki potensi yang sama seperti kita.

Kita yang selama ini tenggelam dalam perasaan rendah diri, yang larut dalam perasaan pesimisme diri sendiri, sudah saatnya untuk sadar akan potensi yang sesungguhnya dimiliki. Kita bisa bangkit lebih kuat, kita bisa tumbuh lebih besar, dari kondisi sebelumnya. Dengan kita menyadari akan potensi yang kita miliki.
Semoga bermanfaat.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Memilih Hijrah ke Pesantren Cibegol

Di pertengahan tahun 2002 perjalanan sekolah saya di Pesantren Persatuan Islam 84 Ciganitri harus mulai saya akhiri. Selain konsentrasi belajar yang sudah semakin kacau balau, kondisi ekonomi yang saya hadapi pun memang sudah tidak memungkinkan lagi. Dari sejak tsanawiyyah orang tua memang sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikan saya untuk sekolah di Pesantren Persis Ciganitri. Itulah mengapa baru menginjak kelas 2 saja saya awalnya harus berhenti sekolah. Namun waktu itu al-Ustadz UA. Saefuddin, yang kebetulan jadi nadhir asrama, dengan sigap mencarikan solusi agar saya tetap bisa bertahan di sana. Berkat bantuan kerja keras beliau lah saya pada akhirnya mendapatkan dana bantuan dari jama'ah pengajian beliau di PLN Bandung, hingga saya bisa menyelesaikan pendidikan jenjang tsanawiyyah di Ciganitri. Beres tsnawiyyah saya melanjutkan ke tingkat Mu'allimin di pesantren  yang sama. Saya tidak punya harapan atau pun bayangan lain selain menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas di sana. Namun taqdir berkata lain. Baru satu semester saya menikmati bangku Mu'allimien Ciganitri, dana bantuan berhenti. Saya harus mencari celah lain untuk bisa bertahan sampai kenaikan kelas tiba.

Seperti dikatakan di awal, saya tidak punya bayangan sedikit pun untuk bisa melanjutkan ke sekolah lain. Kondisi ekonomi orang tua yang sudah angkat tangan dari semenjak tsanawiyyah membuat pikiran saya mentok bila harus memikirkan kemana saya harus melanjutkan sekolah. Apa lagi bila nyatanya al-Ustadz UA Saefuddin yang dulu siap membantu saya pun kini mengalami hal serupa. Beban berat bagi saya untuk menghadapi kondisi semacam ini.

Tidak ada orang yang bisa saya ajak sharing waktu itu selain teman dekat. Meski kakak saya masih di Ciganitri, karena melanjutkan kuliahnya di STAIPI, rasanya tidak mungkin untuk membagi beban berat ini dengannya. Melihat beban hidup dia waktu itu yang lebih berat dari saya, tidak mungkin apabila harus ditambah lagi dengan memikirkan beban saya. Maka hanya kepada teman lah pilihan satu-satunya buat saya curahkan beban ini. Teman yang sangat dekat kala itu adalah Angga Hidayat (Hidayat apa Hidayatullah ya, saya lupa lagi nama kepanjangannya..hehe). Di Ciganitri Angga juga memiliki kakak yang sekolahnya hanya beda dua tingkat dengan kami. Angga beserta kaka perempuannya merupakan santri pindahan dari Cibegol, dan masuk ke Ciganitri kelas 1 Mu'allimien.

Pada akhirnya Angga mengajak main ke rumahnya di Soreang. Harapannya semoga saja dengan diobrolkannya beban saya ke orang tuanya bisa ditemukan solusi yang terbaik. Berangkat lah saya mengunjungi keluarganya. Singkat cerita, hasil dari obrolan yang cukup panjang bersama kedua orang tuanya itu, sekolah saya bisa dibantu oleh mereka, dengan syarat saya harus bekerja di rumahnya. Dan syarat lainnya adalah saya harus pindah sekolah ke Pesantren Persatuan Islam no 34 Cibegol. Pertimbangannya sendiri, selain biaya sekolah di Cibegol lebih murah, letak sekolahnya yang lebih dekat dari Soreang Kota akan lebih memungkinkan saya untuk sekolah sambil kerja.


Cibegol...!! Saya tidak punya bayangan bisa sekolah di sana, terlintas dalam pikiran pun sama sekali tidak pernah. Mitos yang beredar di dunia pesantren Persis, minimalnya yang tertanam dalam benak saya kala itu, Cibegol adalah sekolah ketat dengan mutu pendidikan yang tinggi. Hanya orang-orang cerdas yang bisa sekolah di sana. Saya banyak mendengar hal itu dari obrolan bersama banyak alumni Cibegol yang pindah ke Ciganitri. Dengan mempertimbangkan kapasitas kemampuan diri saya sendiri, maka suguhan pilihan untuk pindah ke Cibegol kala itu adalah pilihan berat. Sekolah selama empat tahun di Ciganitri, dengan jumlah santri yang tidak pernah lebih dari 30 orang saja,  saya tidak termasuk santri yang berprestasi, gimana nantinya jika di Cibegol coba? Namun apa boleh buat, pada akhirnya memang hanya pilihan itu yang bisa saya ambil untuk menyelamatkan dunia sekolah saya. Meski pada awalnya berat apabila harus berpisah dengan kawan-kawan yang sudah empat tahun hidup bersama, harus pisah juga dengan kekasih hati yang baru beberapa bulan menjalin hubungan, saya harus bisa membulatkan tekat memilih untuk hijrah dengan meninggalkan semua kenangan lama dan beradaptasi dengan lingkungan baru.  

Sabtu, 28 September 2013

Saya Ingin Sekolah (Pase Kesatu)

          No comments   
Ketika mulai belajar bicara, untuk menyebutkannya saja saya sendiri tidak bisa. Nama saya ribet, sulit,dan mungkin juga berat untuk hanya sekedar dilafalkan lidah. Setidaknya begitulah yang saya alami ketika disuruh untuk menyebutkannya pertama kali. Yang bisa diikuti hanya mengulang-ulang kata depannya saja. "Pu...Pung... Pu..Pung.. Pupung.!" hanya kata itu yang bisa saya lantunkan ketika dituntun untuk menyebutkan "Purnawarman". Dan kata Pupung nyatanya lebih populer jadi panggilan saya ketimbang nama Purnawarman. Dari mulai Ua, Emang, Bibi, sepupu, para tetangga, teman-teman sekolah, hingga para guru saya, lebih mengenal saya dengan nama Pupung. Apabila anda menanyakan saya di kampung saya dengan nama Purnawarman, kecil kemungkinan bagi anda untuk menemukan saya. 

Ilustrasi
Saya sendiri sebetulnya tidak familiar dengan nama itu. Pernah suatu hari, pas pertama kali saya masuk sekolah dasar, saya diabsen oleh guru (kalau tidak salah bu Ida namanya) tapi saya tidak ngacung-ngacung. Teman-teman yang lain pun malah saling lirik antar satu dengan lainnya penuh kebingungan. Hingga sempat beberapa kali diteriakkan, baru ngeuh saya mendengarnya kalau ternyata panggilan itu ditujukan ke saya, itu nama saya. Setelah mengacungkan jari telunjuk ke arah langit setinggi-tingginya, teman-teman saya bersorak soray kegirangan. Mereka semua ricuh berteriak cengengesan, "Itu mah si Pupung Bu Guru, bukan Purnawarman" begitu teriak mereka. Memang saya sering kali asing juga dengan nama sendiri, terutama disebabkan jarangnya nama itu saya pakai di kehidupan sehari-hari.

Meski demikian, apa boleh buat, nama saya yang asli pemberian dari orang tua adalah Purnawarman. Hanya Purnawarman. Tidak ada nama depan atau belakanya. Dan lewat nama itu lah saya pertama kali bisa menulis dan membaca huruf latin. Ibu saya mengajarkan cara menulis dan membaca ketika saya berumur empat tahun, ketika saya merengek tiap hari ingin sekolah seperti kakak saya.

Saya dan kakak, berikut kedua saudara sepupu saya (anaknya Ua), dihitan berbarengan. Jika kedua sepupu saya hitanannya dirayakan dengan acara meriah, karena mereka termasuk keluarga cukup berada, maka saya beserta kakak hanya cukup dimeriahkan dengan dibuatkan wajit raksasa yang tidak habis dimakan dalam sebulan. Waktu itu saya juga teramat gembira karena berkesempatan makan beberapa hari dengan daging kerewedan sebagai lauk pauknya. Daging kerewedan itu adalah daging domba tapi serpihan-serpihan paling alot di antara jenis daging yang lainnya. Gigi kita sangat sulit untuk mengunyahnya hingga lembut. Meski jenis daging itu yang jadi santapan istimewa di hari perayaan hitanan kami, hal itu tidak lantas mengurangi rasa bahagia kami. Karena saya sudah paham bahwa memang hanya itu makanan paling istimewa yang bisa orang tua saya berikan.

Ilustrasi
Tidak berapa lama dari kesembuhan hitanan kami, kakak saya ternyata langsung didaftarkan masuk sekolah dasar. Waktu mengetahui hal itu saya juga ingin sekali ikut sekolah. Tiap pagi datang dan kakak saya siap-siap berangkat sekolah, saya selalu nangis ingin ikut sekolah. Sampai akhirnya ayah saya terpaksa mendadak belanja baju seragam SD buat saya.  

Sambil memakai seragam putih merah dengan tas gendong warna merah yang mengkilat, karena terbuat dari bahan plastik, saya di rumah, tepatnya ruang tengah, secara tekun terus berusaha melukis gambar-gambar huruf yang ibu saya contohkan sebelumnya. Saya bisa tekun menghabiskan waktu menuliskan huruf-huruf nama saya karena kata ibu saya baru bisa masuk sekolah kalau sudah bisa membaca dan menulis tulisankan nama saya sendiri. Sementara baju seragam dan tas gendong itu tidak mau saya lepaskan sampai tiba waktunya kakak saya datang pulang dari sekolahnya. Saya sangat gembira apabila melihat kakak saya baru pulang, karena waktu itu adalah waktu paling berharga bagi saya untuk mencari informasi suasana sekolah yang sangat ingin saya ketahui. Saya akan terus bertanya sampai kakak saya bosan menjawabnya, dan saya balik dimarahi olehnya karena teramat jengkelnya mungkin.

Kondisi serupa itu terus berulang setiap harinya hingga saya sendiri tidak tahu kapan akhirnya saya bisa berhenti melakukan itu. Yang jelas pada masa-masa itulah saya menanyakan secara serius tentang latar belakang saya kenapa sampai diberi nama "Purnawarman". Terjadi kira-kira di tahun 1989 akhir.