Followers

Popular Posts

Search

Ketik kata yg ingin dicari, kemudian tekan enter

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Jumat, 01 Februari 2013

IBN KHALDUN: Hukum dan Pendidikan Bisa Melemahkan Kekuatan Jiwa Keagamaan Seseorang

  • Saya sangat terkejut tatkala membaca sebuah tema pembahasan yang diangkat dalam bukunya Ibn Khaldun terkait orang-orang Badui (Bab Kedua), terutama di bagian poin bahasan yang ke-6. Dalam poin pembahasan itu Ibn Khaldun memberi tema pembahasannya dengan judul "Kepercayaan Penduduk Tetap Terhadap Hukum Merusak Keteguhan Jiwa dan Kemampuan Mengadakan Perlawanan yang Ada pada Diri Mereka". Berikut kutipan langsung dari isi pembahasan poin tersebut:

    "Tak seorang pun menguasai urusan-urusan pribadinya. Para pemimpin dan amir yang menguasai urusan manusia sedikit dibandingkan dengan yang lain-lainnya. Biasanya, dan bahkan seharusnya, manusia itu berada di bawah kekuasaan lainnya. Apabila kekuasaan itu ramah-tamah dan adil, dan orang-orang yang ada di bawahnya tidak merasa tertekan oleh hukum dan pembatasan, mereka akan terpimpin oleh keberanian yang ada dalam diri mereka. Mereka puas dengan tidak adanya kekuatan apa pun yang membatasi. Kepercayaan dri, menjadi suatu sifat bagi mereka. Mereka tidak kenal yang lain-lainnya."

    "Dan apabila kekuasaan dengan hukum-hukumnya merupakan suatu kekuatan yang dipaksakan dan intimidasi, maka kekuasaan itu akan merusak kepecayaan dan menghilangkan kemampuan bertahan yang ada dalam diri sebagai akibat dari kemalasan yang ada dalam jiwa yang tertekan, seperti yang telah kita terangkan. Hal seperti ini pernah dialami Zuhrah dalam perang Qadisyah. Ketika itu Umar melarang Sa'ad --Semoga Allah meridhai mereka-- untuk bertindak keras. Zuhrah waktu itu mengambil harta rampasan yang harganya tujuh puluh lima ribu dinar emas, dari Galinus, setelah sebelumnya ia kerja dan dia bunuh dalam Perang Qadisiyah. Sa'ad mengambil harta rampasan itu dari tangan Zuhrah, seraya berkata: 'Kau tidak menunggu komando dariku?' Langsung setelah itu dia menulis surat kepada Umar, meminta izin untuk mengambil rampasan tersebut. Dari Umar dia menerima surat: 'Engkau juga bertindak seperti Zuhrah. Dia mendapat tindakan keras. Kini tinggallah perang yang masih berkecamuk, sedangkan kau hancurkan hikmahnya dan kau rusak hatinya.' Dan ,Umar pun memberikan rampasan tersebut kepada Zuhrah."

    "Dan apabila hukum-hukum itu dipaksakan bersama penyiksaan-penyiksaan, maka ia akan menghapus keteguhan jiwa itu sama sekali. Sebab penyiksaan yang dilakukan terhadap seseorang yang tidak dapat empertahankan diri, dia akan merasa dihina, dan tak dapat diragukan lagi keteguhan jiwanya akan hancur."

    "Dan apabila hukum tu dilaksanakan menurut tujuan pendidikan dan pengajaran, dan diterapkan sejak kecil, lambat laun akan timbul beberapa effek yang sama, sebab orang itu tumbuh dan berkembang dalam ketakutan, tunduk dan patuh, dan tentu dia tidak akan percaya kepada keteguhan jiwanya."

    "Oleh karena itulah, kita dapatkan orang Badui Arab liar lebih teguh jiwanya dibandingkan dengan orang yang diatur oleh hukum-hukum. Dan kita dapatkan pula orang yang patuh kepada hukum dan kekuasaannya dari setiap permulaan pendidikan dan pengajaran, di dalam masalah keahlian, ilmu pengetahuan dan agama, keteguhan jiwanya banyak yang rusak. Mereka pun hampir tidak berusaha mempertahankan diri dari segala tindakan yang menantang, dengan cara apa pun. Demikian pula ihwal para pelajar yang menggatungkan diri kepada para syeihk (guru) dan pemuka agama, dalam hal membaca dan memperoleh ilmu, dan yang secara terus-menerus memperoleh pendidikan dan pengajaran di dalam pertemuan-pertemuan yang anggun dan berwibawa. Situasi dan kenyataan ini merusak kemampuan mempertahankan diri dan keteguhan jiwa, yang perlu mereka ketahui."

    "Ini bukan alasan untuk menolaknya, yaitu bahwa para shahabat yang menerapkan hukum-hukum agama dan syari'at, tapi sedikit pun keteguhan jiwa mereka tidak berkurang, dan bahkan bertambah kokoh.Kenyataan ini tidak dapat dijadikan alasan menolak pernyataan di atas, sebab ketika kaum muslimin menerima agama dan nabi Muhammad --semoga shalawat tercurah kepadanya--, kesadaran tumbuh dari dalam diri mereka sendiri. Kesadaran itu tumbuh bukan sebagai hasil dari pendidikan yang sengaja diadakan atau dari pengajaran ilmiah. Tapi itulah hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang mereka terima secara lisan, dan dengan akidah-akidah keimanan serta pengakuan akan kebenaran yang tertancap dalam diri mereka, menyebabkan mereka mau mengadakan observasi. Keteguhan jiwa yang ada dalam diri mereka tetap kokoh seperti semula dan belum dirusak oleh cakar-cakar pengajaran dan kekuasaan. 'Umar berkata: 'Barang siapa belum merasa diatur oleh syari'at agama, maka dia tidak mendapat pengajaran dari Allah.' 'Umar mengingnkan agar dalam diri tiap orang terdapat kesadaran, dan meyakini bahwa Muhammad lebih mengetahui apa yang baik bagi manusia"

    "Dan ketika kesadaran beragama menurun di kalangan manusia, dan mereka mempergunakan hukum-hukum yang menjadi penengah, kemudian syariat agama menjadi cabang dari ilmu dan keahlian, maka agama pun diperoleh melalui pendidikan dan pengajaran. Orang-orang kembali hidup terikat pada suatu tempat dan sifat tunduk patuh kembali pada hukum. Hal ini mengakibatkan keteguhan jiwa mereka berkurang."

    "Dengan demikian, jelas bahwa hukum-hukum pemerintahan dan pendidikan merusak keteguhan jiwa, sebab kesadaran merupakan sesuatu yang datang dari luar. Lain dari agama, tidak merusak keteguhan jiwa, sebab kesadaran untuk itu tumbuh dari sesautu yang inherent. Itulah sebabnya, hukum-hukum pemerintahan dan pendidikan berengaruh dikalangan orang-orang kota(penduduk tetap), dalam kelemahan jiwa dan berkuragnya stamina mereka, karena mereka membiarkan keduanya sebagai anak dan orang tua." (Ibn Khaldun [2011]. Muqaddimah, terj. Ahmadie Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta, hlm. 147-149)

    Ini merupakan pemikiran buah dari pengkajian Ibn Khaldun terhadap sejarah-sejarah yang telah terjai di masanya yang tentu saja patut kita kaji dan fikirkan kembali Sehingga tidak sampai terjadi sebuah institusi pendidikan melahirkan generasi-generasi yang memiliki jiwa yang lemah sehingga lembaga pendidikan menjadi tidak perlu dan tidak boleh berlaku lagi...

Senin, 21 Januari 2013

Cerita Kecil Bersama AVA #1

Ketika pertama kali aku harus pisah jauh dari kehidupannya, di pojok kota kecil Cimahi Utara, air mataku selalu saja menetes deras tatkala kenangan indah akan kasih-sayang yang dicurahkannya sewaktu hidup bersama terlintas kembali dalam bayang-bayang ingatan menghiasi waktu-waktu menjelang tidur malamku. Isak tangis biasanya tak henti-hentinya aku lalui hingga kesadaranku hilang dan masuk dalam dunia mimpi. Masa-masa itulah yang telah menyadarkanku akan besarnya jasa Ava, tentang dalamnya kasih dan sayangnya. Pengorbanan dan perjuangannya untuk sebisa mungkin memberikan sesuatu yang terbaik buatku tidaklah bisa kuurai dengan mudah lewat ungkapan ucap lisanku ini.

Kenyamanan diam dalam gendongan hangatnya saat aku sakit hngga mulai sembuh, kecupan sayang yang selalu diberikan berkali-kali di kala aku mulai terbaring dan memjamkan mata di setiap malam, tangan kekarnya yang memberikan rasa aman ketika memapah jalanku menyebrangi keramaian jalan raya atau pun jembatan sungai yang curam penuh bahaya, beserta kenangan-kenangan indah lainnya, itulah yang kuingat dan membuat aku semakin merindukan kehadirnnya. Aku yang kala itu baru merasakan namanya dilecehkan orang, aku yang kala itu baru merasakan bagaimana pedihnya perjuangan hidup yang harus ditempuh oleh seorang makhluk yang bernama MANUSIA dalam hidupnya, dan aku yang waktu itu baru mengalami secara  nyata bagaimana rasanya bila hidup terpisah jauh darinya, sungguh kenangan indah bersamanya membuat aku semakin ingin meratap tangis, menjerit histeris, teriak keras memintanya datang dan menjemputku kembali pulang ke pangkuannya.

Di masa kecilku, Ava hanyalah seorang pekerja buruh kasar yang sepenuhnya mengandalkan kekuatan otot demi mendapatkan sekeping upah yang hanya cukup buat memenuhi kebutuhan pokok hidup kami sehari-hari. Namun anehnya, di setiap kali pulang dari tempat kerjanya, Ava selalu membawakan oleh-oleh roti buatku. Oleh-oleh yang amat istimewa buatku kala itu. Oleh-oleh yang menumbuhkan rasa bangga dalam diriku akan sosoknya. 

Di kampungku, roti waktu itu merupakan makanan elit orang-orang kaya yang cukup mahal harganya, dan tidak mungkin terbeli oleh anak dari keluarga miskin seperti kami. Namun makanan itu selalu Ava jadikan oleh-oleh kebahagiaanku. Sebab dengan itu temanku menghargaiku. Dengan oleh-oleh itu, teman-temanku yang tidak tahu pekerjaan Ava yang sebenarnya, memandang Avaku sebagai pekerja sukses. Dan aku hidup serasa anak kaya dikala oleh-oleh itu ada digenggamanku. Sayangnya, hingga keberangkatanku ke Cimahi, aku belum pernah memikirkan dari mana Ava mendapatkan ROTI yang istimewa itu.

Oktober 1998 aku pulang dari Cimahi. Bisa sekolah di Cimahi secara geratis adalah usaha keras Ava juga dalam memenuhi permintaanku yang merengek terus-terusan ingin melanjukan sekolah. Namun nyatanya aku menyia-nyiakan usaha beratnya itu. Setelah empat bulan lamanya sekolah di sana, aku menyerah dan mengakhirinya. Aku keluar dari sekolah itu. 

Selang beberapa saat dari kepulanganku, sebagai hukuman dari sikap aku yang telah menyia-nyiakan kesempatan emas bersekolah secara geratis itu, Ava mengharuskanku membatu pekerjaannya. Tidak disangka-sangka, ternyata momen kebersamaan itu nyatanya telah membuka mata sadarku untuk lebih menengok perjuangan kerasnya. Dari momen itulah aku kini mengetahui bahwa roti yang selalu jadi oleh-oleh kebanggaanku, roti yang jadi makanan istimewa yang bisa kucicipi itu, nyatanya adalah jatah dia yang diberikan oleh bosnya diwaktu istirahat kerja. Ternyata selama kerja ia tidak suka memakan jatah roti itu. Ia mengumpulkan jatah makannya itu untuk dijadikannya oleh-oleh kebanggaan anak-anaknya. Dan aku kala melihat kenyataan itu hanya menumpahkan rasa haru yang menyesak di dada dengan tetesan air mata juga. Aku kala itu bebenar-benar merasakan penyesalan teramat dalam telah menyia-nyiakan pengorbanan dan perjuangan besarnya.

Ava adalah panggilanku terhadap ayah yang mendidik, membesarkan, dan menjaga aku dari mulai aku lahir ke dunia hingga dewasa ini. Dia adalah salah satu cerminan dari sikap para orang tua yang senantiasa berusaha semaksimal mungkin mampu memberikan sesuatu yang terbaik buat anak-anaknya. Dan tentu ini adalah secuil kecil dari potret kerja keras sosok ayah yang sudah seharusnya tidak kita pandang rendah dan sia-siakan.

Semoga Aku dan saudara-saudara sekalian yang memang telah merasakan banyaknya curahan kasih dan cnta dari para orang tua kita, bisa tumbuh dan besar melanjutkan cita-cita mereka, membanggakan dan membahagiakan hidup mereka di sisa usia senjanya kini...... 

Ava.... semoga do'a-do'amu yang berisikan permohonan aku tumbuh menjadi anak shaleh secepatnya terkabulakan... Amiin

Salam rindu dari manusia yang selalu menerima limpahan kasih cintamu
Dari aku, Anakmu....!

Selasa, 01 Januari 2013

Hey Tuhan....

     No comments   
Hey Tuhan... Engkau Maha Tahu bahwa aku kini tengah berada di awal tahun 2013. Bahwa aku kini mulai merajut kembali usia baru hidupku di dunia ini. Hidup yang selalu kucoba isi dengan beragam gerak dan corak harapan dan usaha.

Engkau pasti tahu dan mendengar bahwa di ujung tenggang waktu yang kemarin itu aku sempat habiskan putaran waktu dengan mengeluh dan terus mengeluh pada-Mu. Tentang harapan yang tidak terwujudkan. Tentang perasaan cinta yang berbunga namun belum bisa kuhalalkan. Hingga beragam langkah yang belum sempat terselesaikan itu harus aku teruskan di sisa usia yang entah kapan menemui ajalnya. Duka lara hadapi semuanya sempat merangsang titik kecewa menjadi buah besar yang amat berat kurasakan. Maafkanlah aku yang pernah menghujat-Mu. Pernah mengabaikan kebijakan bijak buat hidupku.

Di tengah detik-detik akhir bulatan usia yang kau anugerahkan, aku kembali menjadi perenung ulung yang berusaha mencari hikmah agung dari setiap peristiwa yang sempat aku hadapi dan lalui. Aku tak ingin apa yang telah kulalui itu hanya menjadi beban hidup yang melelahkan harapan dan menggusur kedewasaan. Aku tidak mau satu dua keinginan yang tidak bisa terwujudkan itu menjadi media yang mengantarkan aku pada kondisi kebutaan dalam melihat berjuta-juta anugerah ni’mat yang telah Engkau curahkan. Maka maafkan aku jika kini aku sejenak diam dan berhenti dalam putaran waktu yang tidak lelah berhenti.

Di atas lembaran nominal usia yang masih putih bersih ini, aku mengantongi beragam hikmah yang kan kujadikan bekal untuk langkah ke depan. Semoga ini semua menjadi modal berharga bagi gerak hidupku mengisi usia yang masih Kau amanahkan untuk kuisi dengan lukisan terindah hingga menjadi umur yang mampu kupetik buahnya penuh kebanggaan di akhir nanti.

Agenda besar, harapan besar, dan usaha besar telah kurajut di tahun yang baru saja kulewati perhitungannya malam tadi. Hingga banyak kenangan indah yang bertabur hikmah, juga rasa kecewa yang sempat hinggap lalu pergi ke tempat yang tidak kuketahui letaknya. Bangga dan bahagia, sedih dan lelah, telah lah aku rasakan begitu dalam hingga warna-warna ceria berlabur senyum dan tawa sering menyertainya dan butiran butiran air mata yang tidak bisa terbendung saat menderainya pun kadang kala menyapa juga. Warna-warni kisah kehidupan yang indah dengan sedih dan gembira, riang dan sepi, lapang dan susah, terus bergantian datang dan pergi telah menyapaku di tahun dan usia yang lalu.

 Hanya harapan dan rencana yang kini baru bisa kususun dan kembangkan. Semoga tahun dan usia yang baru kuisi ini akan menjadi sejarah yang bisa kubanggakan di tahun dan kehidupan berikutnya... aamien!

Kamis, 29 November 2012

Dan Aku Masih Berjiwa MAHASiswa

          No comments   
Pukul empat shubuh aku sudah harus mulai menata tempat kerja, menjajakan beragam barang dagangan kepada para pelanggan yang sudah mulai berdatangan. Dan di kala jam tua yang selalu bersandar di ruang keluarga dengan bandul besar yang senantiasa berayunan di sepanjang waktu itu sudah meneriakan suara dentangan sebanyak tujuh kali, pertanda aku pun harus bersiap diri memulai aktivitas lain, aku harus mulai berangkat kuliah. Sementara bila aktivitas kuliah sudah selesai, aku pun bergegas pulang menuju tempat kerja yang tadi sempat aku tinggalkan. Dua tahun lamanya dua aktivitas itu aku gulirkan. Tanpa ada istilah tongkrongan bersama teman, tanpa ada aksi bersama aktivis-aktivis kampus, dan tanpa ada kamus cinta yang menderetkan segudang kata-kata romansa seperti yang tergambar di film-film atau sinetron. Bagiku kala itu kuliah dan kerja adalah dua prioritas utama yang tidak boleh dilalaikan oleh yang lainnya.

Tak ada beban atau kejenuhan menimpaku. Meski otot dan otak terus kuperas seharian. Meski hangatnya canda dan tawa kebersamaan bersama teman-teman harus kurasakan sebatas cicipan tanpa kenyang. Semua tetap aku nikmati dalam porsi seorang Mahasiswa dan Pekerja. Semua kujalani tanpa diakhiri sesal atau kecewa sebab di waktu dan ruang lain, aku juga masih banyak teman setia yang memberi masukan ilmu dalam lintasan dunia tanpa batas. Buku dan buku adalah teman setia yang menyertaiku di kala toko sepi sedikit pembeli. Dan segudang pemikiran serta wacana keilmun masih bisa kucurahkan pada mereka-mereka yang ingin ikut berbagi indahnya dunia pergulatan keilmuan. Dalam waktu senggang menunggu dosen datang, atau dalam iringan langkah kaki tatkala pergi meninggalkan kampus, adalah waktu-waktu aku berdiskusi hebat mengasah ketajaman pemikiran, juga memantau beragam perkembangan situasi aksi mereka para teman-teman yang juga aktivis.

Waktu pergulatan itu kini sudahlah usai. Perang keilmuan sudah sampai pada samudera wisuda. Mereka para pejuang yang telah mendapat gelar itu sudah kembali pulang. Pulang ke kampung halaman dengan senyum lebar siratkan kebanggaan atas tersematnya gelar. Sementara aku yang cidera di masa pertempuran masih tergeletak sendirian, tertinggal di medan pertempuran oleh teman satu pasukan. Dan aku yang masih bisa menyaksikan medan juang pasca pertempuran itu kini tengah menatap puing-puing sisa pertempuran yang masih berserakan. Menatap sisa-sisa kobaran api semangat yang sudah mulai meredup ditinggal oleh mereka para pemangku gelar. Dunia kampus sudah tidak kulihat lagi dan jiwa MAHAsiswa sudah samar kudengar, sebab dunia MAHAsiswa sudah bukan dunianya mereka lagi.

Aku pulang sendirian dengan langkah berat penuh luka kepiluan. Kulihat mata-mata para penonton iringi langkah beratku dengan pandangan penuh cibiran merendahkan. Sorak sorai hinaan berbulan-bulan meneriakiku sebagai pecundang. Aku kala itu bagai pasukan Muslim yang pertama kali dipimpin Khalid yang meski selamat dari kekalahan tapi penonton menganggapnya kalah bertempur hingga teriakan-teriakan penonton itu membuat mereka malu dan minder keluar rumah.

Bagiku yang belum sempat merasakan kemenangan, aksi perjuangan tentulah belum terasa usai. Semangat menenteng senjata keilmuan masih perlu aku lakukan, dan panji-panji perjuangan masih harus aku kibarkan. Alat perkakas keilmuan masih perlu aku gunakan agar di luar medan pertempuran keilmuan (kampus atau sekolah) ini aku masih bisa memetik segudang nikmat ilmu yang mencerahkan. Aku harus tetap menenteng metodologi keilmuan, Hingga jiwa-jiwa semangatku semasa masih di medan kampus itu tetap ada, dan aku harus masih Berjiwa Mahasiswa yang haus akan ilmu dan belajar tanpa batas luasnya bangku dan ruang kelas yang pengap. Alam raya tempat aku berpijak menjalani hidup ini adalah medan ilmu yang masih menyimpan banyak berserakan ilmu. Dan ilmu yang masih banyak berserakan itu tiada bisa kurengkuh tanpa jiwa-jiwa MAHAsiswa yang bisa belajar tanpa batas teritorial ruang dan waktu.

Semoga dengan jiwa MAHAsiswa itu Aku semakin dewasa dalam menyikapi hidup dan kehidupan yang sedang dan akan kujelang....

Maaf Bila Do'aku Sudah Memberatkanmu

          2 comments   
Setelah sekian lama hati ini membeku dalam kehidupan tanpa warna, kucoba tengok suasana sekitar pagi saat awal aku bangkit kembali torehkan makna hidup. Dan tersempat kulihat butiran bening tersapa cahaya tengah memantulkan beragam warna indah berkilauan. Apakah keindahan yang menumbuhkan ketakjuban itu hanya butiran embun sesaat lalu memudar seusai panasnya siang menjatuhkannya, ataukah itu butiran intan yang malah tambah berkilauan disaat cahaya semakin kuat menyapa? Entahlah. Yang kulakukan kala itu hanya diam sambil mengamati perkembangan yang mungkin akan merubah keadaan. Dan aku berucap do'a dalam sujud harapku agar hati ini teranugerahi keindahan warna pelangi yang bukan sekedar biasan kebeningan embun pagi, tapi butiran intan permata yang bisa berkilau sepanjang masa. Kupintakan keindahan cinta yang bisa hidupkan kembali hati ini hingga beragam warna dan kekuatannya bisa ada kembali hiasi hari-hari yang kulewati. Cinta yang bukan hanya sekedar menanamkan birahi dan keindahan duniawi, tapi cinta yang juga mampu menghantarkanku pada samudera iman yang mencurahkan kenikmatannya.

            Waktu terus berlalu di tengah aku diam terpaku dalam usaha mengamati penuh pertimbangan dan penghayatan. Tak terasa sudah setahun lebih aku hanyut dalam suasana pertimbangan itu. Dan sedikit demi sedikit sebutir indah itu bisa kupahami lebih kuat keadaannya bila dibanding daya tahan butiran embun. Zatiyah sosoknya dan ketakjuban yang dipancarkannya malah semakin kuat terbentang dalam suasana hidupnya kembali hatiku. Maka, kenapa tidak jika kutetapkan saja keyakinanku padanya, bahwa ia benar-benar anugerah yang kupintakan.

            Dalam yakin yang telah kuukirkan di atas luasan singgasana tempat iman dan nurani bersemayam, aku mulai coba tanamkan keberanian. Namun sayang, masa silam yang telah menorehkan beragam kisah memalukan akibat kelemahanku menerima tantangan yang dihadapkan untuk membuktikan kekuatanku menghalalkan cinta yang diucapkan kepadanya itu pada akhirnya telah membuat keberanian itu tak kunjung tumbuh berkembang. Ketakutanku akan terulanginya kembali kondisi masa lalu itu layaknya telah menjadi hama-hama paling bahaya bagi hidupannya keberanian.

            Tiada jalan lain yang bisa kuusahakan lagi selain meminta pertolongan kembali pada Zat Yang Maha Menguasai gerak langkahnya hati manusia. Kupanjatkan doa agar semoga Ia berkenan mencurahkan rasa keberanian kepadaku dengan memberikan aku sebuah pekerjaan yang bisa menghasilkan sejumlah materi yang bisa kujadikan pengikat mengkhitbahnya. Dan tanpa kusangka jawaban do'a itu sangat cepat kudapat. Dalam jangka waktu kurang dari seminggu, tawaran kerja datang kepadaku meski aku tidak mencarinya, meski aku memberi syarat mutlak yang tidak bisa diganggu-gugat kepadanya.

            Meski teman dekatku telah mengusulkan agar aku kembali mempertimbangkan tafsir lain akan kejadian yang tengah kualami ini dengan "bisa jadi itu belum tentu benar bila ditafsirkan sebagai jawaban do'aku yang lalu itu" tapi aku hingga kini tidak punya tafsiran lain yang bisa memalingkan tafsirku yang sekarang itu. Hingga kini aku tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa itu adalah bukan jawaban atas do'aku. Maka aku, meski berat juga untuk mengawali dan menjalaninya, pada akhirnya membulatkan tekat dan keberanian untuk mewujudkan niatku mengkhitbahmu, sesuai janjiku kepada_Nya yang terucap dalam doa lalu itu.

            Jika kau selama ini merasa heran denganku yang secara tiba-tiba menyodorkan tekatku mengkhitbahmu, maka alasan utama selain karena adanya rasa cinta aku kepadamu, alasan lain yang menguatkannya adalah adanya ikatan janji aku pada Tuhanku.

Engkau bagiku adalah jawaban dari do'a-do'aku, dan maafkan aku jika pada akhirnya do'a-do'aku itu sudah terasa berat untuk kau terima...!